Written By Teman Sejarah Friday, May 5, 2017
Dari Kiri ke Kanan: Lukman, Aidit, Njoto. Foto: Arsip Majalah
Life/katarsisalamalika
Revolusi memakan anak sendiri. Sebelas pemimpin PKI
tewas. Muso, Amir Sjarifuddin, dan Maruto Darusman ditembak mati di Desa
Ngalihan, Solo. Partai limbung ini, tercerai-berai. Tiba-tiba muncul tiga anak
muda, Aidit, Njoto, dan Lukman, bagaikan The Three Musketeers, mereka
muncul menjadi tulang punggung partai.
Ketiganya menghidupkan partai dan bisa membuat lebih
besar. Mereka kemudian dikenal sebagai trisula PKI: Sekretaris Jenderal, Wakil
Sekjen I, dan Wakil Sekjen II. Kisah persahabatan dan konflik tiga sahabat itu
menarik dikenang.
Dipa Nusantara Aidit pertama kali bertemu dengan Mohamad
Hakim Lukman pada 1943 di Menteng 31, Jakarta. Bekas Hotel Schomper itu
terkenal sebagai sarang para pemuda aktivis kemerdekaan. Mereka bergabung
dengan Gerakan Indonesia Merdeka. Aidit tiga tahun lebih muda daripada Lukman,
yang ketika itu baru 23 tahun. Aidit kemudian menjadi Ketua Dewan Politik
Gerakan Indonesia Merdeka, dan Lukman anggota.
Sejak itu, Aidit dan Lukman menjadi akrab dan seolah
ditakdirkan melakoni sejarah hidup yang sama. Keduanya pada 1944 terpilih masuk
Barisan Pelopor Indonesia, kumpulan 100 pejuang paling setia kepada Bung Karno.
Keduanya pernah dijebloskan ke penjara Jatinegara oleh
Polisi Militer Jepang karena ikut menggerakkan demonstrasi di Lapangan Ikada
pada 19 September 1945. Keduanya juga pernah ditangkap dan ditawan di Pulau
Onrust, Jakarta Utara, selama tujuh bulan.
Keduanya bersama memilih jalan komunis dan berguru ke
tokoh-tokoh komunis senior. Saat menjadi penghuni Menteng, mereka misalnya
menjalin kontak dengan Widarta, penanggung jawab organisasi bawah tanah PKI
Jakarta. Widarta adalah kawan akrab Wikana, pemimpin PKI Jawa Barat yang
terkenal cerdas. Aidit dan Lukman terkesan pada Wikana.
Setelah bebas dari Onrust, mereka mencari Wikana di
Yogyakarta. Di Yogya saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru saja
memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran,
Yogyakarta. Aidit dan Lukman kemudian tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan
majalah dwibulanan Bintang Merah. Di sinilah keduanya lalu bertemu Njoto. Njoto
saat itu 19 tahun. Pemuda berkacamata tebal itu adalah wakil PKI Banyuwangi
dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Sejak itulah terjalin persahabatan antara Aidit, Njoto,
dan Lukman. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih
menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, dan
Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI di awal 1948, yang tugasnya
menerjemahkan Manifesto Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich
Engels.
Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama-sama menjadi
anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus agraria, Lukman di sekretariat
agitasi dan propaganda, sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan-badan
perwakilan. Hingga pecahlah geger Madiun….
Keduanya bersama memilih jalan komunis dan berguru ke
tokoh-tokoh komunis senior. Saat menjadi penghuni Menteng, mereka misalnya
menjalin kontak dengan Widarta, penanggung jawab organisasi bawah tanah PKI
Jakarta. Widarta adalah kawan akrab Wikana, pemimpin PKI Jawa Barat yang
terkenal cerdas. Aidit dan Lukman terkesan pada Wikana.
Setelah bebas dari Onrust, mereka mencari Wikana di
Yogyakarta. Di Yogya saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru saja
memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta.
Aidit dan Lukman kemudian tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah
dwibulanan Bintang Merah. Di sinilah keduanya lalu bertemu Njoto. Njoto saat
itu 19 tahun. Pemuda berkacamata tebal itu adalah wakil PKI Banyuwangi dalam
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Sejak itulah terjalin persahabatan antara Aidit, Njoto,
dan Lukman. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih
menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, dan
Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI di awal 1948, yang tugasnya
menerjemahkan Manifesto Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich
Engels.
Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama-sama menjadi
anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus agraria, Lukman di sekretariat agitasi
dan propaganda, sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan.
Hingga pecahlah geger Madiun….
Aidit sempat tertangkap, tapi dibebaskan karena tak ada
yang mengenalnya. Ibarruri Putri Alam, putri sulung Aidit, melukiskan, ayahnya
bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar menjadi pedagang Cina. ”Rambutnya
digundul habis, Papa ikut iring-iringan konvoi barang.” Njoto dan Lukman,
kemudian menyusul Aidit ke Jakarta. Di Jakarta, trio Aidit-Lukman-Njoto
ditempa.
”Mereka menggodok orientasi partai,” kata Sumaun Utomo, kini 85 tahun, bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI, mengenang.
Terbunuhnya banyak kader dalam Peristiwa Madiun membuat
mereka harus mandiri.
”Mereka jadi independen karena tak punya lagi tempat bertanya,” kata Murad Aidit dalam bukunya, Aidit Sang Legenda. Mereka diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan.
Adapun organisasi dijalankan lewat sistem komisariat di
Comite Central. Situasinya sulit karena setiap kabinet alergi komunisme.
Sampai-sampai itu membuat trio Aidit-Lukman-Njoto harus
bersembunyi dengan menyamar. Aidit dan Lukman bahkan pernah disiarkan pergi ke
Cina pada 1949.
Padahal itu hanya bualan belaka untuk mengecoh
pengejaran. Ada yang bilang sesungguhnya mereka ke Medan. Ada yang bilang ke
Jakarta.
”Mereka sering menginap di rumah seorang kawan di Kemayoran,” tulis sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit dan Partai Pada Tahun 1950.
Dalam situasi serba repot itu, Aidit dan Lukman justru
nekat kembali menerbitkan Bintang Merah pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali
mereka meluncurkan stensilan Suara Rakjat, embrio Harian Rakjat yang menjadi
koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari.
Njoto bergabung di redaksi pada Januari 1951. Dua tahun
kemudian, tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit
menjadi sekretaris jenderal, Lukman wakil sekjen I, dan Njoto wakil sekjen II
jabatan ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959). Sebagai ketua,
Aidit memelototi politik secara umum. Lukman, yang jago main sepak bola,
memimpin Front Persatuan. Urusan agitasi dan propaganda kini diemban Njoto. Tak
cuma berorganisasi, untuk meluaskan jaringan, mereka mendirikan sekolah, dari
tingkat dasar sampai universitas.
Usaha itu berbuah. Pada Pemilihan Umum 1955, PKI menclok
di urutan keempat. Hasil itu membuat Aidit optimistis partainya bisa meraih
posisi nomor satu sebelum 1975.
”Asalkan keadaan berjalan normal,” kata Murad mengutip ucapan kakaknya.
Kenyataannya, cita-cita itu terempas. Tragedi 1965
menguak cerita bahwa tiga sekawan itu, meski di luar tampak guyub, ternyata
tidak melulu solid. Aidit dan Njoto, misalnya, amat berbeda pendapat soal teori
revolusi. Aidit percaya kup yang didukung sedikitnya 30 persen tentara bisa
bermutasi menjadi revolusi. Aidit saat itu, menurut Manai Sophiaan (almarhum)
dalam sebuah tulisannya, terinspirasi oleh kudeta di Aljazair pada Juni 1965.
Saat itu Kolonel Houri Boumedienne mengambil alih kekuasaan dari tangan
Presiden Ben Bella.
Sebaliknya, Njoto justru mempertanyakan kesahihan teori
itu. Bahkan, dalam wawancaranya dengan koresponden Asahi Shimbun di Jakarta
pada 2 Desember 1965, dua pekan sebelum ia dinyatakan ”hilang,” ia tak yakin
Gerakan 30 September dapat dikategorikan sebagai kudeta yang bisa menjadi
revolusi.
”Revolusi siapa melawan siapa?” kata Njoto.
Ia bahkan menyangsikan
premis Letnan Kolonel Untung soal Dewan Jenderal bisa membenarkan kup.
Soetarni, bekas istri Njoto kini 79 tahun ingat, sesungguhnya menjelang petaka
1965 suaminya yang pandai main musik dan dandy sudah disingkirkan Aidit.
Masalahnya adalah kedekatan Njoto dengan Soekarno. Njoto
kerap menulis naskah pidato si Bung. Soekarno pernah menyebut Njoto sebagai
Marhaen sejati. Aidit malah melihat Njoto ”dipakai” Soekarno.
”Di mata Soekarno, Njoto pertama-tama adalah nasionalis, itu baru komunis,” kata Aidit saat itu.
Tapi, menurut Semaun, Njoto tersingkir karena punya pacar
orang Rusia. Namanya Rita. Gara-gara itulah seluruh posisi dipreteli oleh
Aidit. Tidak etis, menurut Aidit, seorang pentolan partai yang sudah
berkeluarga memiliki pacar.
Sumber: Catatan Tempo. Aidit, Lukman, dan
Njoto bahu-membahu membesarkan partai. Karena perempuan, Njoto tersisih.
Madiun, 19 September 1948
0 komentar:
Posting Komentar