Martin
L | 4 Mei 2017
Saya pernah memprotes Tirto ID karena memelintir isi tulisan saya tentang Amir Sjarifuddin dari Islam Bergerak.
Pada tanggal 27 April barusan, Tirto.Id lewat reporter Iswara.
N. Raditya memuat tulisan berjudul: “Amir Sjarifoeddin: Perdana Menteri, Kiri,
dan Dihukum Mati.” Tampaknya tulisan ini dibuat dalam momentum tanggal
kelahiran Amir yang selama ini dianggap baku.
Ada beberapa hal yang mau saya tanggapi terkait tulisan
ini.
Pertama, Tirto.Id menulis bahwa pada malam tanggal 19 Desember 1948 menjelang pergantian hari, di area pemakaman di pedalaman Desa Ngaliyan, Karanganyar, belasan kilometer arah timur Surakarta, Amir dan 10 orang lainnya bersiap menjalani eksekusi mati.
Pertama, Tirto.Id menulis bahwa pada malam tanggal 19 Desember 1948 menjelang pergantian hari, di area pemakaman di pedalaman Desa Ngaliyan, Karanganyar, belasan kilometer arah timur Surakarta, Amir dan 10 orang lainnya bersiap menjalani eksekusi mati.
Amir dan kawan-kawan bukan dieksekusi di area pemakaman.
Mereka dieksekusi dibawah sebatang pohon asam Jawa di sebuah lahan kosong
ditengah persawahan. Mereka dikuburkan dalam lubang yang sama, ditempat mereka
dieksekusi. Belakangan area tersebut berubah menjadi pemakaman.
Ada sejarahnya mengapa area tersebut berubah menjadi
pemakaman. Pada tanggal 19 Nopember 1950, atas perintah Presiden Soekarno,
diatas kuburan massal Amir dan kawan-kawan, dibangun deretan 11 makam, lengkap
dengan nisan masing-masing. Sampai bulan Oktober 1965 makam-makam tersebut
utuh. Tidak ada makam lain disekitarnya. Tidak lama sesudah meletusnya
Peristiwa 65, bersamaan dengan masa-masa teror baret merah ke Karanganyar, sekelompok
pemuda berbaju putih mendatangi makam Amir dan kawan-kawan. Dengan penuh amarah
disertai teriakan “Allahuakbar”, mereka menghancurkan makam Amir dan
kawan-kawan, lantas menutupi sisa makam-makam tersebut dengan potongan rel
kereta api, lalu dicor dengan semen. Belakangan, setiap sisi makam Amir dan
kawan-kawan dijadikan tempat untuk memakamkan warga yang meninggal. Tujuannya,
supaya pihak keluarga tidak bisa membongkar dan memindahkan kerangka Amir dan
kawan-kawan, untuk dipindahkan ke kampung halaman masing-masing. Sejak itulah
area tersebut berubah menjadi pemakaman.
Yang kedua, Tirto.Id menuliskan Amir lahir di Medan pada tanggal 27 April 1907. Disisi lain, dalam tulisan berjudul Amir Sjarifoeddin Harahap, Tirto.Id malah menulis Amir lahir di Surakarta pada tanggal 20 April 1907. Tempat dan tanggal kelahiran Amir dalam dua tulisan ini malah berbeda. Sepertinya, tanggal lahir Amir diatas dikutip dari Wikipedia atau tulisan Jacques Leclerc berjudul antara Negara dan Revolusi, yang menyebut bahwa Amir lahir pada tanggal 27 April 1907. Menurut catatan keluarga, Amir lahir di Medan pada tanggal 27 Mei 1907. Sumber yang lebih tua dari Wikipedia dan tulisan Leclerc bisa juga dilihat di Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 13 November 1945 yang menyebutkan bahwa Amir lahir di Medan pada tanggal 27 Mei 1907. Berdasarkan keinginan putri-putri dan salah seorang adik perempuan Amir pula, maka pada tanggal 22 Agustus 2008, tanggal kelahiran 27 Mei 1907 dipasang di batu nisan Amir.
Yang ketiga, Tirto.Id mengutip tulisan Deliar Noer yang
menyatakan bahwa sesuai aturan adat, ibu Amir pun memeluk Islam. Menurut versi
keluarga, ayah Amir yang bernama Baginda Soripada, semula beragama Kristen
Protestan. Baginda Soripada memilih menjadi seorang Muslim karena menikah
dengan Basunu Siregar, putri seorang haji asal Sipirok.
Yang keempat, Tirto.Id menulis, “… Meskipun memilih
beraliran kiri, bukan berarti Amir tidak mengenal Tuhan.” Ini sangat penting
untuk diluruskan. Seolah-olah menjadi kiri lantas tidak mengenal Tuhan. Seolah-olah
pula kiri itu hanya komunis, yang sudah diberi label oleh penguasa sebagai kaum
anti Tuhan. Secara ringkas; kiri adalah anti terhadap segala bentuk penindasan
dan penghisapan terhadap sesama manusia. Anti terhadap feodalisme,
kolonialisme, imperialisme. Komunis adalah bagian dari golongan yang melawan
penindasan dan penghisapan itu sendiri. Golongan anti feodalisme, kolonialisme
dan imperialisme. Persoalan ada tidaknya Tuhan itu diserahkan kepada
masing-masing pribadi.
Yang kelima, Tirto.Id menulis bahwa Amir adalah pahlawan
sebelum blunder pada tahun 1948 itu terjadi. Ini menciptakan kesan bahwa
kepahlawanan Amir menjadi hilang setelah terjadinya blunder pada tahun 1948.
Lantas, blunder yang dimaksud apa? Apakah blunder yang dimaksud adalah keterlibatan
Amir dalam pemberontakan yang dilakukan oleh sayap kiri seperti yang ditulis
pada bagian awal penulisan tersebut?
Disisi lain, Tirto.Id tidak jelas menggambarkan posisi
Amir dalam Peristiwa Madiun. Pada bagian awal, Tirto.Id dengan serta-merta
menyimpulkan Amir dieksekusi mati karena terlibat pemberontakan PKI di Madiun
1948. Namun pada bagian akhir, Tirto.Id menulis bahwa tanpa melalui pengadilan,
sang mantan perdana menteri tersebut dinyatakan bersalah dan divonis mati.
Artinya, Tirto.Id terlebih dahulu menyimpulkan Amir dieksekusi mati karena
terlibat pemberontakan PKI di Madiun, lalu menyatakan ketidak-jelasan
keterlibatan Amir dalam pemberontakan tersebut pada bagian akhir, karena
menulis “… Amir dieksekusi tanpa proses pengadilan.”
Yang keenam, Tirto.Id menulis dari kutipan tulisan saya
yang dimuat oleh Islam Bergerak pada tanggal 29 Agustus 2016, yang menyatakan
bahwa Amir sempat bergabung dengan PNI yang dibentuk oleh Sukarno. Saya tidak
pernah menulis bahwa Amir pernah bergabung dengan PNI yang dibentuk oleh
Sukarno.
Yang ketujuh, Tirto.Id menulis rangkaian pernyataan :“
Jepang hengkang, Amir bebas, Indonesia pun merdeka.” Ini rangkaian pernyataan
yang tidak berurutan. Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus
1945 (ada yang menyebutkan pada tengah malam tanggal 14 Agustus 1945).
Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Amir
membebaskan diri dari Penjara Lowokwaru – Malang pada tanggal 2 Oktober 1945.
Jepang hengkang (dalam pemahaman saya meninggalkan Indonesia) melalui proses
penyerahan tawanan perang lewat Panitya Oeroesan Pengangkoetan Djepang sampai
tanggal 29 Mei 1947.
Yang ketujuh, Tirto.Id menulis bahwa Amir pernah menjadi
orang nomor dua di Republik Indonesia saat mengemban jabatan sebagai Perdana Menteri.
Jika bicara tentang urutan dalam pemerintahan, ya jelas Amir berada di urutan
pertama. Barangkali Tirto.Id beranggapan bahwa Presiden Soekarno menduduki
urutan nomor satu. Padahal, posisi Soekarno saat itu sebagai kepala negara,
bukan kepala pemerintahan.
Source: Broer Martin
0 komentar:
Posting Komentar