Reporter: Petrik Matanasi | 09 Mei, 2017
Henk Sneevliet. tirto.id/Sabit
Sejarah komunis di Indonesia tak lepas dari Sneevliet yang mendirikan ISDV pada 9 Mei 1914 di Surabaya.
tirto.id - Ketua serikat buruh kereta api Belanda atau Nederlandse Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel (NVSTP) bernama Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet itu kehilangan pekerjaan pada 1912. Henk Sneevliet, nama pendeknya, menganggur setelah keluar dari partai buruh sosial demokrat, Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
Setahun kemudian, Sneevliet berlayar ke Hindia Belanda. Sneevliet “tiba di Hindia pada Februari 1913 pada usia 30 tahun. Dia bergabung sebagai staf editor Soerabaiaasch Handelsblad lalu pindah ke ke Semarang pada Mei 1913 untuk menggantikan D.M.G. Koch sebagai sekretaris Semarang Handelsvereeniging,” seperti dicatat Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1917 (1997).
Menurut Parakirti Simbolon dalam Menjadi Indonesia (2006) dan Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme di Indonesia (2009), Koch juga seorang sosialis. Dalam pergaulannya, Sneevliet, seperti di negeri asalnya, bergaul lagi dengan kalangan buruh kereta api. Para buruh ini bergabung dalam Vereniging van Spoor-en Tramweg Personeel (VSTP), yang berdiri sejak 1908.
Sneevliet pun seperti punya karakter ganda. Selain aktif di kalangan VSTP, dia juga menjadi sekretaris lembaga kapitalis: Kamar Dagang Semarang. Menurut Soe Hok Gie dalam Dibawah Lentera Merah (2005), gaji Sneevliet di Kamar Dagang mencapai 1.000 gulden. Namun, Sneevliet tak bertahan lama dengan pekerjaan yang gajinya besar itu.
Semangat kiri mereka menghebat lagi di tahun 1914. Pada 9 Mei di tahun tersebut, Sneevliet dan kawan-kawan sosialisnya berkumpul di Marine Gebouw, Surabaya. Orang Belanda sosialis selain Sneevliet di antaranya adalah J.A. Brendsteder, H.W. Dekker, dan Piet Bergsma. Mereka kemudian mendirikan perkumpulan sosialis demokrat Hindia Belanda dan menamainya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV).
Menurut Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (2008), ISDV di tahun berikutnya merilis surat kabar kiri mereka: Het Vrije Woord (Suara Kebebasan). Sneevliet, Bergsma, dan Adolf Baars menjadi pengasuhnya. Menurut buku babon sejarah Indonesia itu pula, “Sneevliet dan kawan-kawannya merasa bahwa ISDV tidak dapat berkembang karena tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia.”
Awalnya “ISDV masih merupakan klub debat kaum sosialis Belanda yang kecil. Sneevliet yang ingin mencari jalan untuk mempengaruhi bumiputra mengambil inisiatif memprotes hukuman terhadap Mas Marco Kartodikromo dan peraturan pers Hindia,” tulis Takashi Shiraishi.
Setahun kemudian, Sneevliet berlayar ke Hindia Belanda. Sneevliet “tiba di Hindia pada Februari 1913 pada usia 30 tahun. Dia bergabung sebagai staf editor Soerabaiaasch Handelsblad lalu pindah ke ke Semarang pada Mei 1913 untuk menggantikan D.M.G. Koch sebagai sekretaris Semarang Handelsvereeniging,” seperti dicatat Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1917 (1997).
Menurut Parakirti Simbolon dalam Menjadi Indonesia (2006) dan Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme di Indonesia (2009), Koch juga seorang sosialis. Dalam pergaulannya, Sneevliet, seperti di negeri asalnya, bergaul lagi dengan kalangan buruh kereta api. Para buruh ini bergabung dalam Vereniging van Spoor-en Tramweg Personeel (VSTP), yang berdiri sejak 1908.
Sneevliet pun seperti punya karakter ganda. Selain aktif di kalangan VSTP, dia juga menjadi sekretaris lembaga kapitalis: Kamar Dagang Semarang. Menurut Soe Hok Gie dalam Dibawah Lentera Merah (2005), gaji Sneevliet di Kamar Dagang mencapai 1.000 gulden. Namun, Sneevliet tak bertahan lama dengan pekerjaan yang gajinya besar itu.
Semangat kiri mereka menghebat lagi di tahun 1914. Pada 9 Mei di tahun tersebut, Sneevliet dan kawan-kawan sosialisnya berkumpul di Marine Gebouw, Surabaya. Orang Belanda sosialis selain Sneevliet di antaranya adalah J.A. Brendsteder, H.W. Dekker, dan Piet Bergsma. Mereka kemudian mendirikan perkumpulan sosialis demokrat Hindia Belanda dan menamainya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV).
Menurut Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (2008), ISDV di tahun berikutnya merilis surat kabar kiri mereka: Het Vrije Woord (Suara Kebebasan). Sneevliet, Bergsma, dan Adolf Baars menjadi pengasuhnya. Menurut buku babon sejarah Indonesia itu pula, “Sneevliet dan kawan-kawannya merasa bahwa ISDV tidak dapat berkembang karena tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia.”
Awalnya “ISDV masih merupakan klub debat kaum sosialis Belanda yang kecil. Sneevliet yang ingin mencari jalan untuk mempengaruhi bumiputra mengambil inisiatif memprotes hukuman terhadap Mas Marco Kartodikromo dan peraturan pers Hindia,” tulis Takashi Shiraishi.
Sneevliet tidak sendiri. Dokter Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat ikut serta membela Marco. Di tahun 1915 itu juga, Sneevliet berkenalan dengan seorang pemuda belasan yang bersar namanya dalam gerakan kiri Indonesia: Semaoen.
“Ia [Semaoen] bertemu Sneevliet di Surabaya dan terkesan dengan sikap manusiawi dan tulis Sneevliet yang sama sekali bebas dari mentalitas kolonial Belanda,” tulis Takashi.
Setelah pertemuan mereka, Semaoen belajar banyak. “Ia bukan hanya belajar membaca, tapi juga belajar menulis dan berbicara bahasa Belanda, dan segera menjadi sekretaris ISDV di Surabaya yang didominasi orang Belanda, sekaligus menjadi pemimpin VSTP Surabaya.” Di mata Mas Marco, Semaoen yang jauh lebih muda usia darinya itu begitu dekat dengan Sneevliet.
Pengikut Sneevliet penting lainnya kemudian adalah Darsono. Dia mulai ikut sejak 1917 ketika Sneevliet diadili.
Soe Hok Gie mencatat nama itu dalam Dibawah Lentera Merah: “Pada suatu hari ia (Darsono) mengikuti sidang Sneevliet dan ia sangat terkesan pada adanya orang Belanda yang memihak rakyat (pribumi yang terjajah). Pada mula ia ragu. Tapi setelah ia ketahui bagaimana Sneevliet karirnya di kantor dagang yang bergaji 1.000 gulden kemudian aktif membela rakyat, hormatnya pun bertambah-tambah.”
Menurut Gie, angkatan muda selain Semaoen dan Darsono adalah Alimin dan Musso. Keduanya terpelajar seperti Darsono. Mereka sempat bergabung di Sarekat Islam juga. Setelah Sneevliet terusir dari Indonesia pada 1918 dan harus bertahan di Kanton dengan nama Maring, angkatan muda itu terus bertambah.
Menurut catatan Soewarsono dalam Berbareng bergerak: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen (2000), Semaoen dan Darsono terlibat pendirian Partai Komunis Indonesia di Semarang pada 23 Mei 1920.
“Pendirian PKI berlangsung pada Kongres VII ISDV 23 Mei 1920 di Gedung SI Semarang. Dengan tetap menggunakan statuten lama ISDV.” Semaoen terpilih sebagai Ketua, Darsono Wakil Ketua, Piet Bergsma sebagai Sekretaris, dan H.W. Dekker sebagai Bendahara. Adolf Baars, J. Stam, Dengah, C. Kraan, dan Soegono menjadi komisaris partai.
Setelahnya, “SI dan PKI terlibat pertikaian terbuka dan tak terdamaikan,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008). Surat kabar PKI bahkan mengeluarkan kecaman terhadap Pan Islamisme dan Pan Asianisme.
“SI kini makin dipengaruhi Haji Agus Salim dan orang-orang yang mendukung Pan Islam.” SI pun akhirnya jauh dari kesan merakyat dan radikal seperti ketika Semaoen, Darsono, dan lainnya masih bergabung. Tentu saja, bagi kaum anti-PKI, Sneevliet adalah segala biang keroknya.
Meski Sneevliet sudah dibuang dari Indonesia sejak 1918, ia adalah salah satu nama besar dalam sejarah komunis di Indonesia. Ialah guru dari para pemula di PKI: Darsono, Semaoen, Musso, dan Alimin—juga Aliarcham, Tan Malaka, Sardjono, Thomas Najoan, dan lainnya.
Tentu, publik mengingat nama-nama besar macam Haji Misbach dan Mas Marco Kartodikromo pada PKI angkatan 1926. Di angkatan-angkatan berikutnya lagi, setelah Semaoen, Darsono, Alimin tersingkir, ada lagi generasi baru seperti Tan Ling Jie, Setiadjid, Abdulmadjid, Maroeto Daroesman, atau Amir Sjarifoedin pada PKI angkatan 1948. Setelah 1950, muncul generasi M.H. Lukman, Nyono, Nyoto, dan D.N. Aidit.
Generasi mana pun yang berkuasa di PKI, Sneevliet—dan Semaoen—adalah legendanya.
Pengikut Sneevliet penting lainnya kemudian adalah Darsono. Dia mulai ikut sejak 1917 ketika Sneevliet diadili.
Soe Hok Gie mencatat nama itu dalam Dibawah Lentera Merah: “Pada suatu hari ia (Darsono) mengikuti sidang Sneevliet dan ia sangat terkesan pada adanya orang Belanda yang memihak rakyat (pribumi yang terjajah). Pada mula ia ragu. Tapi setelah ia ketahui bagaimana Sneevliet karirnya di kantor dagang yang bergaji 1.000 gulden kemudian aktif membela rakyat, hormatnya pun bertambah-tambah.”
Menurut Gie, angkatan muda selain Semaoen dan Darsono adalah Alimin dan Musso. Keduanya terpelajar seperti Darsono. Mereka sempat bergabung di Sarekat Islam juga. Setelah Sneevliet terusir dari Indonesia pada 1918 dan harus bertahan di Kanton dengan nama Maring, angkatan muda itu terus bertambah.
Menurut catatan Soewarsono dalam Berbareng bergerak: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen (2000), Semaoen dan Darsono terlibat pendirian Partai Komunis Indonesia di Semarang pada 23 Mei 1920.
“Pendirian PKI berlangsung pada Kongres VII ISDV 23 Mei 1920 di Gedung SI Semarang. Dengan tetap menggunakan statuten lama ISDV.” Semaoen terpilih sebagai Ketua, Darsono Wakil Ketua, Piet Bergsma sebagai Sekretaris, dan H.W. Dekker sebagai Bendahara. Adolf Baars, J. Stam, Dengah, C. Kraan, dan Soegono menjadi komisaris partai.
Setelahnya, “SI dan PKI terlibat pertikaian terbuka dan tak terdamaikan,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008). Surat kabar PKI bahkan mengeluarkan kecaman terhadap Pan Islamisme dan Pan Asianisme.
“SI kini makin dipengaruhi Haji Agus Salim dan orang-orang yang mendukung Pan Islam.” SI pun akhirnya jauh dari kesan merakyat dan radikal seperti ketika Semaoen, Darsono, dan lainnya masih bergabung. Tentu saja, bagi kaum anti-PKI, Sneevliet adalah segala biang keroknya.
Meski Sneevliet sudah dibuang dari Indonesia sejak 1918, ia adalah salah satu nama besar dalam sejarah komunis di Indonesia. Ialah guru dari para pemula di PKI: Darsono, Semaoen, Musso, dan Alimin—juga Aliarcham, Tan Malaka, Sardjono, Thomas Najoan, dan lainnya.
Tentu, publik mengingat nama-nama besar macam Haji Misbach dan Mas Marco Kartodikromo pada PKI angkatan 1926. Di angkatan-angkatan berikutnya lagi, setelah Semaoen, Darsono, Alimin tersingkir, ada lagi generasi baru seperti Tan Ling Jie, Setiadjid, Abdulmadjid, Maroeto Daroesman, atau Amir Sjarifoedin pada PKI angkatan 1948. Setelah 1950, muncul generasi M.H. Lukman, Nyono, Nyoto, dan D.N. Aidit.
Generasi mana pun yang berkuasa di PKI, Sneevliet—dan Semaoen—adalah legendanya.
(tirto.id - pet/msh)
https://tirto.id/henk-sneevliet-mahaguru-pendiri-pki-cokh
0 komentar:
Posting Komentar