Perjuangan Rakyat Kurdi: Wawancara dengan Dilar Dirik
Dilar Dirik berasal dari Kurdistan Utara (Turki). Dia adalah aktivis gerakan perempuan Kurdi dan menulis tentang perjuangan kemerdekaan Kurdi untuk masyarakat internasional. Dia saat ini sedang menyelesaikan gelar PhD di Jurusan Sosiologi Universitas Cambridge
Pembunuhan tiga aktivis perempuan Kurdi
George Souvlis: Sebagai pengantar, bisakah Anda menjelaskan pengalaman pribadi apa yang sangat mempengaruhi Anda, secara politis dan akademis?
Dilar Dirik: Sebagai seorang Kurdi, Anda tidak akan pernah bisa lari dari identitas Anda, karena identitas Anda pada dasarnya bersifat politis dan tingkat kesadaran politik Anda mengekspresikan pembelaan diri sebagai satu-satunya cara untuk menjamin kelangsungan hidup dan eksistensi Anda. Itulah sebabnya mengapa desakan untuk kebebasan ekspresi dari identitas diri Anda digambarkan sebagai kontroversi politik, nasionalisme, atau terorisme oleh sistem negara kapitalis.
Sebagai perempuan Alevi-Kurdi, yang menjadi pengungsi saat kecil, dan tumbuh sebagai orang Timur Tengah di Eropa, kisah pribadi saya sama sekali tidak spesial atau unik saat dimasukkan ke dalam konteks sejarah Kurdi modern. Seperti banyak orang lainnya, saya berasal dari keluarga sayap kiri yang sangat aktif dan politis. Berada di antara mantan tahanan politik atau mereka yang masih menjadi tahanan politik, di antara para militan, yang tumbuh bersama aksi-aksi demonstrasi dan protes adalah bagian dari masa kecil saya, yang merupakan kasus bagi jutaan rakyat Kurdi. Tumbuh dalam lingkungan politik seperti itu, di mana perempuan-perempuan Kurdi memimpin di garis depan demonstrasi-demonstrasi di jantung modernitas kapitalis, di kota-kota seperti Frankfurt, London, Paris. Menyaksikan keteguhan sikap mereka , pertempuran-pertempuran mereka, kebulatan tekad, jelas memiliki dampak pendidikan yang membuat sesorang teradikalisir.
Tapi jika saya harus menunjukkan satu titik balik yang paling spesifik secara pribadi, adalah saat terjadi pembunuhan terhadap tiga aktivis perempuan Kurdi; Sakine Cansiz (Sara), Fidan Dogan (Rojbîn), dan Leyla Saylemez (Ronahî) pada tanggal 9 Januari 2013 di jantung kota Paris. Saya mengenal perempuan-perempuan ini secara pribadi dan sejak pembunuhan mereka, seperti ribuan perempuan Kurdi lainnya, kami menuntut jawaban atas pertanyaan ini: "Apa yang sangat berbahaya dari perempuan-perempuan ini sehingga sistem itu harus menghilangkannya?"
Sakine Cansiz adalah salah satu pendiri PKK (Partiya Karkerên Kurdistanê-Partai Buruh Kurdinistan) dan memainkan peran bersejarah dalam pemberontakan di penjara Diyarbakir pada awal tahun 1980an. Keterlibatan dinas rahasia Turki dalam pembunuhan ketiga perempuan merdeka ini sudah menjadi rahasia umum. Tapi jelas bahwa serangan yang menargetkan perempuan-perempuan revolusioner semacam itu merupakan tanda kelemahan sistem, mengekspos ketakutan terbesarnya: yaitu perempuan yang terorganisir, berjuang dan merdeka. Itulah sebabnya gerakan perempuan yang otonom dan radikal akan menjadi kekuatan pelopor untuk membangun kehidupan yang lebih indah dan bebas.
Khusus untuk perempuan Kurdi, slogan "Resistance is Life (Melawan artinya Hidup)" mempunyai makna secara historis, mengingat serangan empat negara fasis, kolonialisme kapitalis barat, dan kelompok anti perempuan baru-baru ini seperti ISIS, yang melakukan kekerasan atas dasar konsep kehormatan yang sesat.
Oleh karena itu, saya percaya bahwa satu-satunya cara untuk menemukan jawaban yang berarti dan memuaskan atas pertanyaan tentang makna hidup, keadilan, kebebasan, dan untuk memahami diri sendiri dalam kaitannya dengan dunia adalah dengan mencintai komunitas. Dan cara terbaik untuk mengekspresikan cinta ini adalah terlibat dalam perjuangan.
Rojava
Mari kita berdiskusi sedikit tentang Rojava. Bagaimana situasinya sehingga secara de facto bisa menjadi daerah otonom? Pada tanggal 17 Maret sebuah sidang Majelis Konstituante, "Sistem Federal Demokratik Rojava / Northern Syria" berlangsung. Bisakah Anda berbicara sedikit tentang perkembangan politik ini? Mungkinkah memiliki rezim demokratis tanpa sebuah negara? Apa kerangka intelektual, organisasi dan politik yang menjadi dasar sistem federal yang baru? Mungkinkah model ini diekspor ke dunia 'Barat'?
Revolusi Rojava memiliki sejarah panjang dan berakar dalam perjuangan Kurdi. Untuk waktu yang lama, Rojava hanya dilihat sebagai perpanjangan tangan dari Bakur (Kurdistan Utara / Turki) atau Bashur (Kurdistan Selatan / Irak). Banyak pemimpin politik dan organisasi dari bagian lain mundur ke Rojava untuk mendapatkan kembali kekuatan mereka dan memobilisasi perlawanan. Rojava adalah bagian yang terkecil dari Kurdistan dan satu-satunya yang tidak pernah memimpin sebuah perjuangan bersenjata melawan negara. Meskipun sekarang ini menjadi salah satu pusat perhatian di Kurdistan, tapi sebenarnya yang paling tidak aktif sampai saat ini.
Di zaman Ottoman, dan juga di awal dekade negara-bangsa Suriah di bawah mandat Perancis dan segera sesudahnya, bagian pertama abad ke-20, yang selalu berkonflik dengan pemerintah pusat, wilayah Kurdi di Suriah menikmati otonomi dan kebebasan relatif dari waktu ke waktu. Hal ini sering terjadi karena kekuasaan politik yang tidak stabil pada periode awal pembangunan negara di Suriah, yang ditandai dengan kudeta militers dan kerusuhan Hal ini secara radikal berubah seiring dengan bangkitnya partai Baath di tahun 1960an. Untuk mencegah pemberontakan Kurdi, negara memberlakukan kebijakan demografi rasis terutama di wilayah Cizire dan dinas rahasia secara aktif menghasut konflik antara suku Kurdi dan beberapa suku Arab. Negara juga memahami seni mengadu kelompok politik dan suku Kurdi satu sama lain untuk melemahkan hak kolektif Kurdi. Metode ini untuk menciptakan kolaborator kelas untuk menghadapi perlawanan Kurdi, telah menjadi kebijakan keempat negara di mana kaum Kurdistan berada.
Namun, dasar-dasar revolusi yang bisa kita lihat hari ini, harus dirunut kembali pada tahun 1979, saat kedatangan PKK dan Abdullah Öcalan di Suriah. Kader PKK tidak hanya menggorganisir perlawanan di Turki, tapi juga mengorganisir penduduk Kurdi setempat. Öcalan secara pribadi memberikan pendidikan kepada ratusan anggota masyarakat biasa. Yang terpenting, era ini menandai dimulainya keterlibatan perempuan secara aktif dalam politik untuk pertama kalinya di Rojava. Saat itu, ratusan perempuan bergabung dalam gerilyawan dari Rojava. Pengalaman dengan budaya revolusioner yang diperkenalkan PKK di Rojava pada saat itu meletakkan dasar bagi revolusi di Rojava, namun juga secara dialektik mempengaruhi lebih banyak pandangan PKK sendiri mengenai komunalistik.
Pada tahun 2004, setahun setelah PYD didirikan, ada upaya untuk melakukan sebuah pemberontakan di Qamishlo, namun secara brutal diberantas oleh negara. Para aktivis yang tak terhitung jumlahnya menjadi target penyiksaan, penghilangan, pemenjaraan, intimidasi, dan pembunuhan oleh partai Baath.
The Arab Spring, yang dimulai pada tahun 2011, merupakan momen yang sangat kuat dan radikal di Timur Tengah, memberikan harapan besar untuk adanya perubahan dan kebebasan bagi rakyat. Namun, segera, kekuatan lokal dan internasional mengerti bagaimana memanipulasi unsur-unsur dari situasi revolusioner ini demi kepentingan mereka sendiri. Salah satu hasil yang paling menghancurkan dari manipulasi kejam ini adalah perang yang sedang berlangsung di Suriah, yang menyebabkan jutaan orang mengungsi, ratusan ribu orang terbunuh, dan beberapa situs paling kuno dan habitat alami hancur total dan hilang selamanya.
Kita harus menghormati tekad dan dedikasi para aktivis di seluruh Suriah, yang menentang kurangnya kesadaran masyarakat internasional dalam pekerjaan mereka diantara debu dan abu. Tetapi juga penting untuk dicatat bahwa secara umum tidak ada rencana politik yang dipikirkan dari sisi gerakan demokratis ini, di samping pembunuhan massal yang menyebabkan tercerai-berai dan melemahkan kekuatan mereka dan bangkitnya kekuatan jihadis.
Pada tanggal 19 Juli 2012, orang Kurdi di Rojava memanfaatkan kesempatan tersebut dan mengusir pasukan rezim keluar dari daerah mereka. Tidak ada perang yang aktif di wilayah tersebut pada waktu itu, karena rezim lebih memprioritaskan pertempuran dengan pemberontak di bagian lain Syria. Organisasi dewan-bawah tanah awalnya sudah dimulai pada tahun 2011, namun baru setelah 2012, untuk pertama kalinya, orang Kurdi Rojava dapat bebas secara politik. Foto-foto ini benar-benar bersejarah – dulu bendera Kurdi dilarang , sebagaimana bahasa Kurdi yang sekarang digunakan secara resmi. Perempuan termasuk yang pertama menjatuhkan rezim dan mengangkat senjata untuk melindungi wilayah mereka. Unit pertahanan diri di Rojava sudah ada sejak 2011. Namun YPG (Unit Pertahanan Rakyat) baru dibentuk secara resmi pada tahun 2012, sementara para perempuan di YPJ (Unit Pertahanan Perempuan) kemudian membentuk struktur otonom mereka, pada bulan Januari 2013.
Namun kemudian, dalam waktu singkat, terutama karena kepentingan politik Turki, gelombang terorisme Islam mulai menyerang Rojava. Ada banyak bukti yang menunjukkan kolaborasi antara negara Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan dan kelompok-kelompok seperti Jabhat al Nusra dan juga kemudian dengan ISIS. Serekaniye (Ras al Ayn) adalah medan pertempuran yang luas dengan kekuatan jihad ini terutama pada tahun 2013.
Pada waktu itu, masyarakat internasional tengah mempersiapkan konferensi Jenewa yang kedua untuk mencari solusi damai bagi perang. Namun, jelas bahwa "oposisi" Suriah yang terlibat dalam konferensi tersebut, justru yang dilindungi oleh negara Turki, dan tidak mewakili orang-orang Suriah. Konferensi tersebut mengecualikan Kurdi, meskipun mereka merupakan bagian penting dari masyarakat Suriah. Dengan demikian, pada musim gugur tahun 2013, sistem otonom demokratik diumumkan secara terbuka di Rojava, sebagai tindakan untuk menentang tatanan sistem kekuasaan internasional yang dengan sengaja membungkam mereka. Pada minggu yang sama dengan konferensi Jenewa II, pada bulan Januari 2014, tiga wilayah juga mendeklarasikan diri – yaitu: Afrin, Kobane, dan Cizire. Kontrak sosial wilayah Rojava dipublikasikan saat itu.
Tahun 2014 juga menandai tahun ketika ISIS memasuki panggung dunia, meskipun rakyat di Rojava telah lama melawan mereka. Terutama pembantaian pada bulan Agustus di Ezidis di Sinjar (Shengal di Kurdi) yang memperlihatkan metode pemerkosaan yang brutal dan menjijikkan dari kelompok pembunuh ini. Namun, ketika ISIS menyerang Kobane pada bulan September 2014, ia bertemu dengan musuh yang sangat berbeda. Di sini, rakyat Kobane menunjukkan kepada dunia bahwa komunitas politik yang terorganisir dan sanggup memobilisasi diri, tidak dapat dikalahkan. Kobane menjadi garis pertahanan pertama perjuangan kemanusiaan melawan fasisme. Para perempuan membebaskan Kobane dari pemerkosa ISIS. Kejadian ini bergema diantara orang-orang yang berjuang di seluruh dunia.
Ketika mencoba memahami apa karakter "revolusioner" dari Rojava, pertama-tama penting untuk menekankan kondisi di mana orang-orang mencoba untuk membangun sebuah alternatif – sebuah populasi yang terdiri dari jutaan orang yang tertindas, miskin, terjajah, dan sengit berperang melawan pemerkosa jihadis, berperang melawansebuah rezim yang haus darah, negara-negara yang bermusuhan seperti Turki, perilaku reaksioner di komunitas mereka sendiri, di mana semua orang menderita karena embargo politik dan ekonomi, dan berada di jantung perang dunia ketiga, di antara cakar kekuatan imperialis lama yang masih sama.
Dalam konteks ini, rakyat Rojava memutuskan untuk mengatakan tidak pada sistem negara-bangsa dan menolak dua opsi yang diberikan kepada orang-orang di Suriah oleh sistem (status quo yang diwujudkan oleh kediktatoran Assad atau sebuah perubahan rezim yang didikte oleh asing atau dengan karakter jihad) dan rakyat Rojava memutuskan untuk memperjuangkan "jalan ketiga". Semua usulan sebagai jalan keluar bagi Rojava, menekankan untuk menolak mentalitas irrasional "memilih yang terbaik dari yang terburuk" dan bertumpu pada kekuatan sendiri. Ini diilustrasikan dalam sistem federalis dan kontrak sosialnya, serta kekuatan pertahanan multikultural yang membebaskan wilayah ini dari ISIS dan mendorong pembentukan dewan rakyat di daerah bebas.
Orang terkadang lupa bahwa sebelum perang di Kobane, semua kekuatan imperialis merasa senang melihat orang Kurdi di Suriah dibantai. Jika hari ini, tentara mereka yang kuat membantu Kurdi di lapangan, itu karena yang rakyat Kurdi telah menunjukkan kemampuan mereka dalam pertempuran. Intervensi di Kobane adalah kesempatan bagi Obama untuk menunjukkan bahwa konsep anti-ISIS-nya bekerja, setelah semua kegagalannya. Namun kenyataannya, komunitas Kobane, termasuk perempuan-perempuan yang berusia 60an telah menunjukan komitmen perjuangan hidup atau mati dengan mempersenjatai diri untuk melindungi rumah mereka, bahkan beberapa bulan sebelum koalisi terbentuk. Kekuatan mereka tidak terletak pada peralatan militer mereka, tapi kesadaran politik, organisasi, dan komitmen mereka untuk membela diri dan komunitas mereka.
Kerjasama militer taktis dengan beberapa negara dalam situasi hidup atau matia, tanpa pilihan lain untuk bertahan hidup adalah hal yang berbeda dengan kolaborasi politik strategis yang didasarkan pada kepentingan bersama. Banyak diantara kaum kiri yang sangat dogmatis mengenai masalah ini. Sebagai warisan historis kolonialisme Barat di Kurdistan, Kurdi akan bunuh diri jika mempercayai kekuatan yang sama untuk masa depan mereka. Tidak banyak pilihan mewah yang tersedia dalam perang melawan ISIS. Yang penting adalah melindungi revolusi dari rongrongan dan kooptasi oleh imperialisme dan kapitalisme. Inilah saatnya di mana solidaritas internasional masuk.
Percobaan besar membangun sosialisme justru telah menghasilkan institusi pembunuhan massal, penyensoran, dan penindasan yang sangat hirarkis. Mereka mengkhianati cita-cita sosialisme dan pemulihan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat menjanjikan seperti solidaritas, keadilan dan kebebasan. Pada saat yang sama, kaum kiri radikal, lebih tepatnya, kaum anarkis sering ingin menghindari pertanyaan tentang kekuasaan seperti menghindari kentang panas. Atas nama menentang otoritarianisme dan hierarki, beberapa kaum anarkis menolak untuk mengkoordinasikan kekuasaan sama sekali, yang malah justru menghasilkan jalan bagi makhluk individualis, apolitis dan anti-sosial.
Di Rojava—jika anda mau, kita bisa melihat usaha yang jelas untuk menjawab pertanyaan tentang kekuasaan, bukan dengan cara menghancurkannya, tapi mengkomunalkannya. Tidak ada gunanya menyangkal bahwa kekuasaan itu ada, sama seperti tidak ada gunanya membicarakan kesetaraan jender, tanpa mengakui warisan patriarki yang sudah berusia 5000 tahun. Oleh karena itu, komune, dewan, koperasi, akademi, unit pertahanan, kotamadya, dan organisasi baru lainnya dan monumen perlawanan adalah metode untuk menemukan kembali kekuasaan, dengan menyebarkannya, mendesentralisasikannya, dan akhirnya mendemokratisasikannya.
Sementara komune adalah monumen demokrasi langsung untuk mempraktikkan kewarganegaraan anda melalui partisipasi aktif dalam masalah kehidupan sehari-hari yang menyangkut keberadaan anda, meluai delegasi ke dewan di tingkat desa, kecamatan, kota, regional, wilayah yang lebih luas (canton), dan sekarang federal, disanalah ada rencana aksi dibuat dan mengkoordinasikan kebijakan yang diadopsi dalam struktur demokrasi langsung.
Di akademi, orang-orang, tanpa batas usia, belajar tentang sistem yang baru, mendiskusikannya, mengkritiknya, mengubah, dan mengujinya. Dalam koperasi , mereka menjalankan bentuk ekonomi komunal, dengan fokus pada isu-isu ekologis, dengan menciptakan situasi mereka secara mandiri, berdasarkan solidaritas, penghargaan terhadap tenaga kerja, dan nilai-nilai bersama. Sebuah masyarakat madani yang dinamis, sebuah seni budaya baru, sebuah kebangkitan dalam karya budaya, yang sekarang mendekorasi kehidupan di Rojava.
Jika kita memikirkan tentang swakelola secara politis dari warga negara yang aktif, bebas, dan rasional dalam asosiasi sukarela dengan nilai-nilai pembebasan didalamnya dan sumber daya yang dipelihara secara umum, semacam "mempertahankan diri sendiri", kita dapat membantu mengatasi keragu-raguan kalangan kiri untuk berurusan dengan kekuasaan.
Untuk menghapuskan negara dengan meminimalkan relevansinya, untuk mendesentralisasi kekuasaan sedemikian rupa sehingga tidak lagi mampu membangun hierarki, untuk meradikalisasi demokrasi sedemikian rupa sehingga beralih dari politik klasik—perwakilan dan voting-- menjadi budaya sosial, ini harus menjadi tempat di mana pemahaman kita tentang revolusi harus berbasis pada tatanan ekonomi kapitalis global saat ini, yang dilegitimasi oleh negara-bangsa dan yang menopang patriarki.
Tapi tidak ada solusi yang sama persis saat kita melihat kemungkinan adanya penerapan otonomi demokratis di luar Kurdistan dan Timur Tengah. Misalnya, otonomi demokratis di Rojava bekerja secara berbeda dari Bakur (Kurdistan Utara / Turki). Setiap wilayah di Rojava memiliki struktur yang berbeda. Tidak ada komune yang sama. Inti otonomi demokratis adalah bahwa ada konteks yang berbeda-beda untuk mengetahui kondisi, kebutuhan, keinginan, masalah, dan solusinya yang terbaik.
Oleh karena itu, tidak mungkin ada buku manual tentang masalah ini. Standardisasi masyarakat adalah konsep yang muncul dari negara-bangsa. Jadi, gagasan bahwa otonomi demokrasi sebagaimana diimplementasikan di Rojava dapat diterapkan dengan cara yang persis sama di tempat lain seperti misalnya disebuah metropolitan di Eropa bertentangan dengan gagasan tentang otonomi demokratis, karena itu akan menolak lembaga masyarakat yang bersangkutan dengan semua kompleksnya. , dengan keunikannya sendiri, dan dimensi tertentu yang membutuhkan solusi kreatif dan fleksibel.
Prinsip-prinsip otonomi demokratis memang memiliki daya tarik universal, namun penerapannya memerlukan usulan, adaptasi, dan tindakan lokal.
[bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar