Fadrik Aziz Firdausi - 25 Mei 2017
Dahulu berita hoax menjadi alat legitimasi kekuasaan
Soeharto. Kini hoax menjadi cara merongrong rezim.
Ignatius Haryanto (Dosen
Komunikasi UMN) mengemukakan pendapat dalam acara "Diskusi dan Ngopi
Bareng Historia: Dari Breidel sampai Hoax, Mengenang Masa Kelam Kebebasan Pers
Era Soeharto" di Jakarta, Rabu 24 Mei 2017. Foto: Nugroho Sejati
Orde Baru Soeharto dibangun dari hoax. Hari-hari awal
pasca-G30S adalah periode krusial hoax sejarah diciptakan. Pada periode krusial
itulah narasi tentang para jenderal yang dimutilasi oleh Gerwani berkembang.
Hasil visum dokter yang mengotopsi jenazah para jenderal yang dibuka kemudian
membuktikan bahwa itu hoax.
Kenyataannya sebagian besar jenderal itu tewas ditembak
sebelum dikubur di Lubang Buaya. Tapi, masyarakat saat itu terlanjur termakan
hoax yang diciptakan klik Soeharto. Menurut peneliti senior Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan Ignatius Haryanto, surat kabar menjadi media utama tersebarnya
hoax itu. Selama 1-6 Oktober 1965 Angkatan Darat melarang penerbitan semua
surat kabar, kecuali Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.
Keduanya lalu memonopoli pemberitaan terkait G30S.
“Dari koran-koran itulah dimulai propaganda negatif yang terkait dengan Gerwani. Hoax di masa Orde Baru diproduksi dalam rangka mendukung rezim. Hoax itu menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto yang baru terbentuk,” lanjut pria yang juga dosen di Universitas Multimedia Nusantara itu dalam diskusi publik bertajuk “Dari Breidel Sampai Hoax: Mengenang Masa Kelam Kebebasan Pers Era Soeharto”, Rabu (24/5/2017).
Propaganda negatif itu beruratakar sangat dalam di benak
masyarakat semasa rezim Soeharto. Hampir-hampir semua hal yang bersangkutpaut
dengan komunisme menjadi tabu dan terlarang. Dari hoax itulah Orde Baru
kemudian membuat aturan-aturan yang diskriminatif dan represif terhadap
orang-orang yang dianggap terlibat PKI.
“Itulah luar biasanya kekuasaan Soeharto saat itu (dalam) menciptakan bayangan hantu komunisme. Saya sendiri dulu sangat takut dan benci dengan hal-hal berbau PKI,” ungkap Nezar Patria, anggota Dewan Pers, yang turut menjadi narasumber.
Hoax Orde Baru itu berkelindan pula dengan pengekangan
kebebasan pers. Hegemoni media ala Orde Baru itu tumbang seiring bergulirnya
Reformasi pada 1998. Kebebasan pers berkembang, namun hoax tetap menjadi
persoalan.
Bedanya, jika hoax dimanfaatkan rezim Soeharto untuk
mendukung kekuasaannya, yang terjadi kini justru sebaliknya. Sekarang, dengan
memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, masyarakat bisa dengan mudah
membuat dan menyebarkan informasi. Karenanya, hoax dewasa ini cenderung
digunakan untuk merongrong rezim.
“Salah satu dari banyak hoax yang digunakan untuk menjatuhkan pemerintah Joko Widodo adalah isu pekerja imigran dari Tiongkok. Muncul seruan ‘pengangguran tambah banyak, tenaga kerja Cina malah didatangkan’ yang disebarkan dengan tagar #cabutmandatjokowi,” terang dosen komunikasi Unika Atmajaya Andina Dwifatma.
Seruan itu, lanjut Andina, dibumbui dengan hoax soal
masuknya 10 juta tenaga kerja Tiongkok ke Indonesia. Ironisnya, masyarakat
dengan mudah percaya pada hoax tersebut. Padahal, validitas data itu tidak bisa
dipertanggungjawabkan.
Andina melanjutkan, sebagian besar berita hoax disebarkan
melalui media sosial dan melalui aplikasi chatting. Umumnya berita hoax
mudah dipercaya dan disebar karena kontennya secara emosional dan praktis
dibuat berelasi dengan preferensi pribadi pembaca. Dia mencontohkan bagaimana
isu SARA digunakan untuk mematahkan kampanye Basuki Tjahaya Purnama dalam
Pilkada Jakarta lalu.
“Semua pencapaian riil Ahok-Djarot dimentahkan dengan seruan ‘kalau pilih Ahok masuk neraka’ atau ‘Ahok penista agama’, karena isu agama adalah pemantik yang efektif dalam memancing emosi masyarakat muslim,” kata perempuan berkacamata itu.
Andina menengarai, penggunaan isu SARA dan komunisme akan
terus dipakai untuk kampanye-kampanye negatif. Kedua isu tersebut terbukti
tetap efektif hingga kini. Karenanya, edukasi terkait literasi media yang baik
agar masyarakat tidak semakin termakan hoax sangat perlu digiatkan.
“Masyarakat harus diingatkan untuk selalu kritis terhadap kredibilitas sumber berita. Di balik suatu media, terdapat kepentingan.
Karena itu kita tidak bisa hanya kritis terhadap media arus utama, tetapi juga harus kritis kepada media non-arus utama,” pungkas Andina.
0 komentar:
Posting Komentar