Reporter: Petrik Matanasi | 02 Mei, 2017
Papan tulis di ruang kelas
- PKI dulu banyak membangun lembaga pendidikan tinggi untuk mendidik kader-kadernya
- Setelah tragedi 1965, kampus-kampus itu dilenyapkan atau warna komunisnya sama sekali dihilangkan
PKI tampil sebagai partai besar yang mendirikan beberapa kampus. Tentu saja, banyak di antaranya yang menghilang tanpa jejak.
Setelah 1965, apa pun yang berbau Partai Komunis Indonesia (PKI) harus enyah dari Indonesia. Anggota partai yang paling frontal terhadap pemerintah kolonial Belanda ini dibui, bahkan dihilangkan nyawanya. Yang tak kalah penting, sekolah-sekolahnya juga dilenyapkan. Sekolah-sekolah itu dicap bisa meracuni orang Indonesia.
Sagimun MD dalam buku Katamso (1982) mencatat, “Di bidang pendidikan PKI berhasil mendirikan sekolah-sekolah dari Taman Kanak-Kanak (Taman Kanak- Kanak Melati) sampai kepada Perguruan Tinggi atau Universitas: Aliarcham, Bahtaruddin, Egom (Pertanian), Harjono (Buruh) dan Ikip Kudjang di Bandung.”
Menurut Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (2003), lembaga-lembaga itu adalah Akademi Ilmu Politik Bacharudin, Akademi Technik Ir. Anwari, Akademi Djurnalistik Dr. Rivai, Akademi Sastra Multatuli, Akademi Ilmu Ekonomi Dr. Ratulangi, Akademi Ilmu Sedjarah Ronggowarsito, Universitas Rakyat Indonesia, Universitas Res Publica, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, dan Sekolah Pertanian Egom.
Pihak Angkatan Darat (AD) menyebut Sekolah Pertanian—yang namanya diambil dari tokoh petani Sunda yang terlibat Pemberontakan PKI 1926—sebagai Universitas Pertanian Egom. Kampus ini tentu saja dikaitkan dengan Barisan Tani Indonesia (BTI), yang berafiliasi dengan PKI.
“Universitas Pertanian Egom untuk membentuk kader-kader BTI yang terdidik,” tulis pihak AD dalam buku Fakta2 Persoalan Sekitar "Gerakan 30 September" (1965). Hilmar Farid mencatat dalam catatan kaki tulisannya Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008), “awal 1960an kekuatan kiri membentuk sejumlah akademi untuk mendidik kader-kader mereka.”
Di luar catatan Daniel Dhakidae dan Sagimun MD, seorang eks tapol bercerita dalam buku Antonius Sumarwan, Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol '65 dan Upaya Rekonsiliasi (2007), bahwa seorang tapol memperkenalkan diri sebagai dosen. “Di Yogya aku mengajar di IKIP Dr Tjipto Mangunkusumo yang terkenal sebagai IKIP merah.” Nama kampus itu tak terdengar lagi di Yogyakarta. Yang kini dikenal di Yogyakarta hanya IKIP PGRI Sonosewu, IKIP Negeri Yogyakarta, dan IKIP Sanata Dharma.
Menurut Daniel Dhakidae, lembaga-lembaga pendidikan yang terkait dengan PKI itu ditutup oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Brigadir Jenderal Dr. Sjarif Thajeb, berdasar Surat Keputusan Menteri PTIP No.01/dar tahun 1965.
Pembersihan kampus yang terkait PKI tak jarang diramaikan dengan penyerangan dari kelompok anti-komunis. Menurut Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003) Akademi Ilmu Sosial Aliarcham juga mengalami penyerangan. Trikoyo Ramidjo, mantan wartawan Harian Rakjat, menyebut sekolah ini sekarang sudah jadi Masjid Baiturahman, Tebet. Tak jauh dari bekas lahan kampus kiri tersebut, terdapat koperasi Angkatan Darat.
Nama akademi ilmu sosial itu diambil dari nama tokoh PKI berpengaruh bernama Aliarcham. Ketika dibuang ke Boven Digoel, pedalaman Papua, dia meninggal karena sakit paru-paru. Demi mengenang kegigihan Aliarcham, akademi tersebut pernah merilis buku tipis soal perjuangan Aliarcham: Aliarcham Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya (1964). Selain buku tersebut, setidaknya buku Ketua CC PKI DN Aidit Tentang Marxisme (1963) juga diterbitkan di sini.
Dalam bukunya, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Kospirasi (2005), Victor M. Fic mencatat di akademi tersebut para kader PKI itu “sedang dilatih dalam administrasi pemerintahan sebagai persiapan untuk menjalankan pemerintahan setelah PKI merebut kekuasaan.”
Menurut buku rilisan AD, Fakta2 Persoalan Sekitar "Gerakan 30 September" (1965): “Para lulusannja akan merupakan guru-guru partai jang selandjutnja.”
Ada kampus, tentu saja ada pengajar. Nama besar dari luar yang mengajar di kampus ini, menurut Victor M. Fic, adalah pakar Asia Tenggara Ruth McVey.
“Dr. Ruth T. McVey yang telah bercerita pada saya di Manila bagaimana kegembiraannya mengajar di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham milik PKI di Jakarta,” tulis Victor M. Fic.
Selain McVey, Hasan Raid, tokoh komunis yang rajin salat lima waktu, juga mengajar disini. “Aku yang bekerja pada Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA), termasuk kader dalam kategori pertama. AISA ini didirikan pada tahun l961. Nama Aliarcham digunakan untuk akademi ini,” tulis Hasan Raid dalam bukunya Pergulatan Muslim Komunis: Otobiografi Hasan Raid (2001).
Tokoh terkemuka lain yang mengajar di kampus-kampus PKI itu tentu saja Pramoedya Ananta Toer. Menurut Hilmar Farid, “Pram ikut mengajar di Akademi Jurnalistik Abdul Rivai dan Akademi Sejarah Ranggawasita,walaupun yang belakangan tidak begitu aktif.” Pramoedya juga mengajar di Universitas Res Publica, yang belakangan menjadi Trisakti. Tentu, sudah tak ada lagi jejak komunis di kampus itu.
Sagimun MD dalam buku Katamso (1982) mencatat, “Di bidang pendidikan PKI berhasil mendirikan sekolah-sekolah dari Taman Kanak-Kanak (Taman Kanak- Kanak Melati) sampai kepada Perguruan Tinggi atau Universitas: Aliarcham, Bahtaruddin, Egom (Pertanian), Harjono (Buruh) dan Ikip Kudjang di Bandung.”
Menurut Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (2003), lembaga-lembaga itu adalah Akademi Ilmu Politik Bacharudin, Akademi Technik Ir. Anwari, Akademi Djurnalistik Dr. Rivai, Akademi Sastra Multatuli, Akademi Ilmu Ekonomi Dr. Ratulangi, Akademi Ilmu Sedjarah Ronggowarsito, Universitas Rakyat Indonesia, Universitas Res Publica, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, dan Sekolah Pertanian Egom.
Pihak Angkatan Darat (AD) menyebut Sekolah Pertanian—yang namanya diambil dari tokoh petani Sunda yang terlibat Pemberontakan PKI 1926—sebagai Universitas Pertanian Egom. Kampus ini tentu saja dikaitkan dengan Barisan Tani Indonesia (BTI), yang berafiliasi dengan PKI.
“Universitas Pertanian Egom untuk membentuk kader-kader BTI yang terdidik,” tulis pihak AD dalam buku Fakta2 Persoalan Sekitar "Gerakan 30 September" (1965). Hilmar Farid mencatat dalam catatan kaki tulisannya Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008), “awal 1960an kekuatan kiri membentuk sejumlah akademi untuk mendidik kader-kader mereka.”
Di luar catatan Daniel Dhakidae dan Sagimun MD, seorang eks tapol bercerita dalam buku Antonius Sumarwan, Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol '65 dan Upaya Rekonsiliasi (2007), bahwa seorang tapol memperkenalkan diri sebagai dosen. “Di Yogya aku mengajar di IKIP Dr Tjipto Mangunkusumo yang terkenal sebagai IKIP merah.” Nama kampus itu tak terdengar lagi di Yogyakarta. Yang kini dikenal di Yogyakarta hanya IKIP PGRI Sonosewu, IKIP Negeri Yogyakarta, dan IKIP Sanata Dharma.
Menurut Daniel Dhakidae, lembaga-lembaga pendidikan yang terkait dengan PKI itu ditutup oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Brigadir Jenderal Dr. Sjarif Thajeb, berdasar Surat Keputusan Menteri PTIP No.01/dar tahun 1965.
Pembersihan kampus yang terkait PKI tak jarang diramaikan dengan penyerangan dari kelompok anti-komunis. Menurut Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003) Akademi Ilmu Sosial Aliarcham juga mengalami penyerangan. Trikoyo Ramidjo, mantan wartawan Harian Rakjat, menyebut sekolah ini sekarang sudah jadi Masjid Baiturahman, Tebet. Tak jauh dari bekas lahan kampus kiri tersebut, terdapat koperasi Angkatan Darat.
Nama akademi ilmu sosial itu diambil dari nama tokoh PKI berpengaruh bernama Aliarcham. Ketika dibuang ke Boven Digoel, pedalaman Papua, dia meninggal karena sakit paru-paru. Demi mengenang kegigihan Aliarcham, akademi tersebut pernah merilis buku tipis soal perjuangan Aliarcham: Aliarcham Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya (1964). Selain buku tersebut, setidaknya buku Ketua CC PKI DN Aidit Tentang Marxisme (1963) juga diterbitkan di sini.
Dalam bukunya, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Kospirasi (2005), Victor M. Fic mencatat di akademi tersebut para kader PKI itu “sedang dilatih dalam administrasi pemerintahan sebagai persiapan untuk menjalankan pemerintahan setelah PKI merebut kekuasaan.”
Menurut buku rilisan AD, Fakta2 Persoalan Sekitar "Gerakan 30 September" (1965): “Para lulusannja akan merupakan guru-guru partai jang selandjutnja.”
Ada kampus, tentu saja ada pengajar. Nama besar dari luar yang mengajar di kampus ini, menurut Victor M. Fic, adalah pakar Asia Tenggara Ruth McVey.
“Dr. Ruth T. McVey yang telah bercerita pada saya di Manila bagaimana kegembiraannya mengajar di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham milik PKI di Jakarta,” tulis Victor M. Fic.
Selain McVey, Hasan Raid, tokoh komunis yang rajin salat lima waktu, juga mengajar disini. “Aku yang bekerja pada Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA), termasuk kader dalam kategori pertama. AISA ini didirikan pada tahun l961. Nama Aliarcham digunakan untuk akademi ini,” tulis Hasan Raid dalam bukunya Pergulatan Muslim Komunis: Otobiografi Hasan Raid (2001).
Tokoh terkemuka lain yang mengajar di kampus-kampus PKI itu tentu saja Pramoedya Ananta Toer. Menurut Hilmar Farid, “Pram ikut mengajar di Akademi Jurnalistik Abdul Rivai dan Akademi Sejarah Ranggawasita,walaupun yang belakangan tidak begitu aktif.” Pramoedya juga mengajar di Universitas Res Publica, yang belakangan menjadi Trisakti. Tentu, sudah tak ada lagi jejak komunis di kampus itu.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar