Yus Ariyanto - 01 Okt 2017,
12:52 WIB
Presiden Sukarno dan Mayjen Soeharto (AFP PHOTO)
Jumat, 1 Oktober 1965 sekitar pukul 06.45. Rombongan
Presiden Sukarno melintas di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat, ketika
Kolonel CPM Maulwi Saelan menerima informasi kehadiran pasukan tak dikenal di
luar Istana Merdeka.
Resimen Tjakrabirawa adalah pasukan pengawal presiden dan
keluarganya. Kini namanya Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Maulwi saat
itu adalah Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa,
"Segera putar arah ke Grogol. Saya menunggu di sana," kata Maulwi via radio.
Grogol yang dimaksud adalah rumah Haryati, salah seorang
istri Bung Karno. Pada 30 September malam, Bung Karno menginap di rumah Dewi,
istrinya yang lain, di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala) di Jl Gatot
Subroto.
Sebelumnya, usai salat Subuh di rumah, Maulwi menerima
kabar ada penembakan di rumah Wakil Perdana Menteri II, Johannes Leimena dan
rumah Menhankam/Kasab, Jenderal AH Nasution. Maulwi segera bergerak mencari
Bung Karno. Komandan Tjakrabirawa, Brigjen Sabur, sedang di Bandung.
Sekitar pukul 07.00, Bung Karno bersama pengawal tiba di
Grogol. Saelan lalu melaporkan informasi yang dia terima. Mendengar ada
penembakan di rumah para jenderal, Bung Karno terkejut.
“Wah, Ik ben overrompeld. Wat wil je met me doen? (Aku diserbu. Apa yang kamu mau aku lakukan?)” tanya Bung Karno
“Sementara kita di sini dulu, Pak. Kami mau mencari keterangan dan kontak dengan Panglima Angkatan dan Kodam Jaya, serta menanyakan situasinya,” jawab Saelan.
Kelak, diketahui bahwa pasukan tak dikenal di
sekitar Istana adalah mereka yang mendukung G30S.
Bung Karno akhirnya memutuskan pergi ke Pangkalan AU
Halim Perdanakusuma. Sekitar pukul 08.30, Sang Proklamator dan rombongan
berangkat menuju Halim dan tiba setengah jam kemudian.
Maulwi menerangkan, dikutip dari Maulwi Saelan:
Penjaga Terakhir Soekarno, sesuai SOP Tjakrabirawa, ada dua pilihan tempat
evakuasi Bung Karno dari Istana dalam keadaan darurat. Pertama, Halim karena di
sana ada pesawat kepresidenan Jetstar C-140. Kedua, dibawa ke Tanjungpriok,
tempat kapal kepresidenan Varuna I-II bersandar.
Lubang Buaya
Bagian dari Halim?
Di Markas Komando Operasi (Koops) Halim Perdanakusuma
telah menunggu Men/Pangau, Laksmana Madya Omar Dhani, dan Panglima Koops,
Komodor Leo Wattimena. Omar Dani kemudian melaporkan situasi yang terjadi.
Sekitar pukul 10.00 Wakil Komandan G30S, Brigjen
Supardjo, tiba di Halim.
Dia meminta Bung Karno mendukung aksi penculikan dan
penembakan terhadap sejumlah jenderal yang dilakukan tadi malam. Bung Karno
menolak, malah meminta Supardjo menghentikan aksi.
"Ketika Brigjen Supardjo meninggalkan Koops, wajahnya lesu dan tampak kecewa sekali," kenang Saelan dalam buku yang ditulis Bonnie Triyana dkk itu.
Belakangan, muncul tudingan Bung Karno ada di Halim
karena mendukung G30S.
Halim memang dekat dengan Lubang Buaya, tempat jenazah
korban G30S ditaruh. Jarak Markas Koops dengan sumur tua di Lubang Buaya, jika
ditarik garis lurus, hanya 3,5 km. Namun, Lubang Buaya bukan bagian dari
kawasan militer AURI tersebut.
Menurut Humaidi dalam tesisnya di Pascasarjana UI, Pangkostrad Mayjen Soeharto sedari awal menyebut Lubang Buaya merupakan bagian dari Halim. Pada pidato saat penemuan jenazah, 4 Oktober 1965, Soeharto mengatakan, "Kalau kita lihat tempat ini adalah Lobang Buaya. Daerah Lobang Buaya adalah termasuk dari daerah Lapangan Halim."
Pada gilirannya terbangun cerita: siapa saja ada di Halim
pada 30 September atau 1 Oktober 1965, layak dicurigai terlibat G30S.
"Dengan demikian, pidato Soeharto lebih merupakan suatau upaya untuk mendiskreditkan AURI," tulis Humaidi dalam tesis berjudul Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia dalam Pemerintahan Sukarno 1962-1966 tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar