October 19, 2017
SHNet, JAKARTA – Dokumen Central Intelijen Agency
Amerika Serikat (CIA AS), menegaskan, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
(TNI AD), memang digunakan sebagai pintu masuk untuk melakukan kudeta terhadap
Presiden Soekarno, melalui Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Rilis http://nsarchive.gwu.edu/ dan www.bbc.com, menyebutkan, CIA AS memberikan
dukungan logistik dan persenjataan untuk memuluskan kudeta Panglima Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Letjen TNI Soeharto terhadap
Presiden Soekarno.
Hal ini semakin memperkukuh analisis mantan diplomat AS,
Pater Dale Scoot dan disertasi John Roosa, 1998, dimana G30S 1965, bukti kudeta
Soeharto yang sepenuhnya didukung CIA AS.
Bahkan Greg Poulgrain, seorang Indonesianis dari
Australia, dalam bukunya yang sudah diterbitkan ke dalam Bahasa Indonesia tahun
2017, berjudul: “Bayang-bayang Intervensi Perang Siasat John F Kenedy dan Allen
Dulles atas Soekarno”
Greg Poulgrain menyebutkan, sikap Soekarno yang tidak mau
menyerahkan konsesi pertambangan emas dan tembaga di Papua kepada perusahaan
Amerika Serikat, menjadi pemicu langkah CIA mendongkelnya dari kursi
kepresidenann.
Dengan demikian, tudingan G30S 1965 merupakan bukti
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagaimana ditulis Dinas Sejarah
TNI AD dan selalu menjadi rujukan di era Pemerintahan Presiden Soeharto, 1 Juli
1966 – 21 Mei 1998, dengan sendirinya seratus persen terbantahkan.
Dalam kabel diplomatik Kedutaan AS untuk Indonesia kepada
Kementerian Luar Negeri Amerika di Washington tanggal 12 Oktober 1965
disebutkan bahwa, “Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan
menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat
memberi tahu soal kemungkinan itu.”
Hal ini diungkap dalam dokumen rahasia AS tentang
penggulingan Presiden Republik Indonesia, Soekarno dan pembantaian massal 1965.
Jadi pembantaian massal pasca G30S 1965, sepenuhnya tanggungjawab TNI AD. AS
telah mengetahui skala pembantaian tragedi 1965.
Sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika soal tragedi
1965 kembali dibuka ke publik oleh lembaga nonprofit National Security Archive
(NSA), National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National
Archives and Records Administration (NARA).
Dokumen 1964 – 1968
Laporan itu menguak sejumlah surat dari dan ke AS ketika
pembantaian terjadi. Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 30.000
halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak
1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar pertikaian antara tentara dengan
PKI, termasuk efek selanjutnya berupa pembantaian massal.
Dalam telegram rahasia itu juga disebutkan, “Jika itu
terlaksana, maka itu akan dilakukan dengan gerakan yang cepat tanpa peringatan
dan Soekarno akan digantikan kombinasi junta militer dan sipil.”
Dari negara-negara Barat, Angkatan Darat mengharapkan
bantuan ekonomi berupa makanan dan lainnya.
Hal itu terkait perkembangan pada 10 Oktober 1965 yang
menyebutkan Soekarno menerima pimpinan Angkatan Darat di Istana yang memberikan
laporan soal keterlibatan PKI pada kejadian 30 September 1965.
TNI AD Dimarahi Soekarno
Soekarno menolak membaca dan memarahi mereka karena
menghina PKI. Para jenderal yang tidak disebutkan namanya itu kemudian
meninggalkan Soekarno dengan rasa jengkel.
Sutarto, asisten Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani,
menyampaikan ke diplomat Amerika perlunya mengeksekusi pimpinan PKI dan
membunuh Omar Dani yang kala itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Udara
Indonesia. Itu tercatat dalam kabel dari Kedutaan untuk Kemenlu tanggal 18
Oktober 1965.
Sutarto menyampaikan bahwa gejolak anti-PKI sudah merebak
di Medan dan Makassar, sementara Jawa Tengah sedang berada dalam situasi yang
kacau. Aksi-aksi anti-PKI ini dilaporkan dipimpin oleh “Angkatan Darat/kelompok
Muslim”.
“Kita perlu menggantung Aidit, Njoto, dan Lukman di
Lapangan Banteng guna menunjukkan ke semua orang seperti apa sebenarnya
mereka,” kata Sutarto dikutip laporan tersebut.
Bahkan lebih lanjut Sutarto menyebutkan, “Omar Dani harus
meletakkan jabatannya atau kita harus membunuh dia.” Ada pejabat AU lain yang
juga disebut harus dicampakkan, yakni Sri Muljono, Suryadarma, dan
Abdoerachmat.
Data dan fakta ini menguak sebagian tabir yang selama ini
masih tertutup rapat dalam sejarah Indonesia. Selama ini, negara, terutama
Tentara Nasional Indonesia, mengelak untuk membicarakan atau membuka sejarah
kelam tragedi 1965.
Fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik Amerika ini
membantah narasi tunggal yang selalu didegungkan bahwa korban pembantaian
tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang seharusnya bertanggung
jawab.
“Mereka kebingungan dan mengaku tak tahu soal 30
September,” tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar AS pada 20 November 1965.
Kader PKI Bingung
Dalam telegram Kedutaan ke Kemenlu 20 November 1965,
digambarkan bahwa kader-kader PKI kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi,
dan tidak tahu harus berbuat apa. Informasi didapat diplomat AS dari seorang
jurnalis Australia yang dapat dipercaya.
Si jurnalis disebutkan adalah jurnalis Barat pertama yang
mengunjungi Jawa Tengah, yakni pada 10 Oktober 1965. “Dia berbicara dengan
kader-kader PKI di beberapa tempat di Jawa Tengah,” tulis laporan itu.
Informasi serupa dikonfirmasi Konsuler Politik Kedutaan
Yugoslavia yang mengatakan terlibat kontak secara rutin dengan aktivis PKI. Si
aktivis sama sekali tidak panik dan tetap percaya Soekarno akan melindungi
mereka.
“Mereka tidak akan bertindak tanpa perintah Soekarno,”
ujar sang diplomat. Dokumen itu juga melaporkan, pada 26 November 1965
laporan dari Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya menyebutkan terus
mendapatkan laporan pembantaian di berbagai wilayah di Jawa Timur oleh Ansor.
Di Tulungagung setidaknya 15.000 komunis dibunuh.
“Pembantaian diwarnai dengan Perang Suci (jihad):
membunuh kafir akan memberi tiket ke surga dan jika darah korban diusapkan ke
wajah, maka akan lebih terjamin (masuk surga),” tulis laporan tersebut.
Selain kelompok-kelompok Islam, Angkatan Darat juga mempersenjatai
pertahanan sipil atau Hansip sebagai kekuatan memerangi PKI. Dalam laporan
Konsulat Jenderal Amerika di Medan menyebutkan hal itu dilakukan untuk
meningkatkan peran pengawasan di kota maupun pedesaan.
“Ketika ini dilaksanakan, rantai komando militer
bertambah luas hingga setiap desa yang ada di Sumatera,” tulis laporan
tersebut. Tak sampai di situ, pemuda yang berusia 8-13 tahun diwajibkan ikut
Pramuka yang dikontrol tentara.
“Secara singkat, Sumatera dengan cepat berubah
menjadi tanah tentara,” demikian http://nsarchive.gwu.edu/ dan www.bbc.com.
Permalukan manuver Gatot
Rilis http://nsarchive.gwu.edu/ dan www.bbc.com sekaligus mempermalukan manuver
Panglima TNI Gatot Nurmantyo (mantan Kepala Staf TNI AD), telah
menginstruksikan seluruh anggota TNI memutar Film Dokumenter G30S/PKI yang
diproduksi tahun 1984 dengan sutradara Arifin C Noor.
Gatot Nurmanyo berdalih pemutaran Film Dokumentar
G30S/PKI mengklaim mengingatkan semua pihak, akan keganasan PKI melalui G30S
1965. Istruksi Gatot dikeluarkan menjelang Sabtu, 30 September 2017.
Tapi ada 4 parameter perlu dikritisi film berdurasi 271
menit, layak atau tidak dikategorikan sebagai film dokumenter. Pertama, apabila
diklaim G30S 1965 sebagai pemberontakan PKI, dalam adegan jelas-jelas
divisualkan pelaku penculikan dan pembunuhan terhadap 7 jenderal senior TNI AD,
adalah pria berseragam TNI AD, bukan berpakaian PKI.
Justru CIA AS memanfaatkan konflik internal di lingkungan
TNI AD, antara kelompok Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letjen TNI Ahmad Yani
(kontra PKI) dengan Panglima Komando Tempur (Pangkopur) IV/Mandau berkedudukan
di Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, Brigjen Soepardjo (pro PKI), untuk
meledakkan G30S 1965, dengan tujuan utama mengkudeta Presiden Soekarno.
Kedua, belum ada bukti di negara manapun di dunia, kudeta
dilakukan sipil. Kudeta selalu dilakukan militer terhadap pemerintahan yang
sah.
Ketiga, divisualkan tokoh PKI, yaitu Dipa Nusantara
Aidit, sebagai perokok berat. Padahal, pengakuan orang dekat dan anak-anaknya,
D.N. Aidit sama sekali bukan seorang perokok berat.
Keempat, peta dalam visual menggambarkan Timor Timur
masuk wilayah Indonesia, dengan menggambarkan situasi yang terjadi tahun 1965.
Padahal Timor Timur baru berintegrasi dengan Indonesia tahun 1975 dan memilih
memisahkan diri melalui referendum tahun 1999.
Saat dikonfirmasi rilis http://nsarchive.gwu.edu/ dan www.bbc.com, Menteri Pertahanan Republik
Indonesia yang mantan Kepala Staf TNI AD, Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu,
menolak memberikan komentar pada malam Bahasa dan Budaya Internasional di
Pusdiklat Badiklat Kementerian Pertahanan, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Rabu,
18 Oktober 2017.
Persepsi politik
Dari dokumen http://nsarchive.gwu.edu/ dan www.bbc.com, semakin menegaskan, materi
penulisan di sekitar G30S 1965 diklaim bukti pemberontakan PKI garapan Dinas
Sejarah TNI AD, bagian dari sebuah program pembangunan persepsi politik
pemerintahan Presiden Soeharto, 1 Juli 1966 – 21 Mei 1998.
Dalam membangun persepsi politik, selalu dilakukan upaya
sistematis di dalam meyakinkan masyarakat, dengan mengabaikan dan atau
memanipulasi fakta sejarah, sehingga Film Dokumentar G30S/PKI, hanya bisa
dilihat selama era Soeharto, 1966 – 1998, dan menjadi tidak relevan di era demokratisasi.
Bagi sebuah pemerintahan, membangun sebuah persepsi
politik, jauh lebih penting dari pada penulisan pelurusan fakta sejarah. Karena
penulisan pelurusan fakta sejarah, hanya akan membuka borok dan aib
pemerintahan yang tengah berkuasa.
Situasi sudah berubah, dan masyarakat tidak salah kalau
sekarang meminta pertanggungjawaban TNI AD atas pembunuhan massal pasca G30S
1965. (Aju)
Sumber: Sinar Harapan
0 komentar:
Posting Komentar