Endang Nurdin, BBC Indonesia | 27 Oktober 2017
Siauw Giok Tjhan dan istri Tan Gien Hwa di Jakarta pada tahun 1979
Pada pukul tiga pagi, pada tanggal 4 November 1965, satu keluarga di jalan Tosari, Menteng, Jakarta, dibangunkan dengan datangnya banyak tentara dengan senjata lengkap.
Rumah itu diobrak abrik dan 'kepala keluarga' disebutkan dibawa dan diangkut dengan mobil pick-up ke tempat yang tidak diketahui.
Rumah itu milik Siauw Giok Tjhan, politikus dan tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia yang ikut mendirikan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia, Baperki, organisasi massa yang dibentuk warga Tionghoa Indonesia.
Putra Giok Tjhan, Siauw Tiong Djin, ikut menyaksikan apa yang terjadi pada dini hari 52 tahun lalu itu.
"Saya sendiri pada waktu itu umur sembilan," kata Siauw Tiong Djin.
"Saya lihat sendiri rumah saya diobrak abrik dan pada akhir kunjungan tersebut, ayah dibawa masuk ke sebuah pick up untuk kemudian dibawa ke tempat yang tidak kami ketahui," tambahnya.
Saat itu banyak orang yang dianggap berhaluan kiri atau terkait dengan Partai Komunis Indonesia diciduk dan tak ketahuan lagi rimbanya.
"Saya sebagai anak merasa sangat khawatir bahwa ayah akan dibawa dan hilang seperti cerita-cerita yang kami dengar sebelumnya. Jadi itu merupakan satu trauma untuk seorang anak berumur sembilan," kata Siauw Tiong Djin lagi.
'Dicina-cinakan'
Dokumen kabel diplomatik Amerika Serikat soal tragedi 1965 yang kembali dibuka untuk umum pada pertengahan Oktober lalu mengungkap sejumlah surat dari dan ke Amerika Serikat terkait pembunuhan massal saat itu.
Propaganda anti-PKI yang diusung Angkatan Darat - menurut dokumen itu- juga mengungkap sentimen anti-Cina yang berkembang luas di Sulawesi, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang Indonesia keturunan Tionghoa menjadi korban kekerasan dan dituding mendukung atau bahkan anggota PKI.
Dalam kabel diplomatik untuk Kementerian Luar Negeri pada 7 Desember 1965 disebutkan bahwa aset orang Tionghoa disita tentara. Menteri Pertanian Sudjarwo saat itu mengumumkan bahwa penggilingan beras dan pabrik tekstil orang Tionghoa diambil alih militer masing-masing wilayah.
Siauw Tiong Djin ikut merasakan sentimen anti-Tionghoa di ibu kota Jakarta.
"Kami tinggal di jalan Tosari, Menteng, sebagian besar adalah non-Tionghoa, jadi sentimen anti-Tionghoa yang mencolok tidak kami rasakan, tapi tentunya, di sekolah di jalan-jalan di surat kabar, di siaran radio dan TV, sentimen anti-Tionghoa yang berkembang setelah kejadian G30 tentu sangat dirasakan oleh kami semua," cerita Tiong Djin, yang kini menetap di Melbourne, Australia.
"Orang di jalan sering mendengar dicina-cinakan (diteriaki Cina). Cina pada pra 1967-1968 merupakan istilah yang mengandung konotasi penghinaan. Orang Tionghoa sering dicina-cinakan, graviti di jalan disebut Cina cukong PKI dan sebagainya. Jadi jelas sangat menimbulkan trauma pada komunitas Tionghoa pada waktu itu," tambahnya.
Korban fisik dan psikologis
Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan pada paska Gerakan 30 September 1965, orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa menjadi sasaran dan menjadi korban fisik dan juga psikologis.
"Mereka menjadi korban fisik, dikejar, dibunuh dan yang lebih parah lagi adalah mereka menjadi korban secara psikologis, mengganti nama misalnya, itu kan sangat berat. Orang yang sejak kecil punya nama tertentu dan diharuskan mengganti nama Indonesia itu sangat berat tapi itu yang terjadi...Hanya sebagian kecil yang tetap pakai nama Tionghoa," kata Asvi.
Asvi mengatakan sentimen anti-Cina saat itu dimulai dengan penyerbuan Kedutaan Besar Cina.
"Sentimen anti-Cina dimulai dengan penyerbuan ke Kedutaan RRT (Republik Rakjat Tjina) waktu itu. Nah setelah itu penyerbuan bahkan pembakaran ke universitas Res Publika, universitas (yang saat ini menjadi Universitas Trisakti) yang didirikan oleh Siauw Giok Tjhan.
Siauw Giok Tjhan sendiri disebut Asvi sebagai tokoh integrasi dalam sejarah Tionghoa Indonesia.
"Beliau adalah tokoh yang sangat penting dalam sejarah Tionghoa Indonesia karena beliau itu mendirikan Baperki, organisasi massa yang sejak awal sangat concern dengan masalah kewarganegaran orang Indonesia ini.
"Mereka menganjurkan apa yang disebut dengan integrasi. Integrasi artinya orang-orang Tionghoa bergabung atau menjadi bangsa Indonesia tapi tanpa kehilangan ciri khas mereka," kata Asvi.
"Ini berbeda dengan yang dianjurkan oleh Orde Baru, yaitu asimiliasi, mereka lebur sama sekali dan tidak ada lagi identitas Tionghoa."
Asvi menyebutkan, "Secara resmi hanya satu yang menjadi ormas PKI, Pemuda Rakyat, tapi organisasi lain Gerwani, Lekra, Baperki dianggap oleh pemerintah Orde Baru berafiliasi dengan PKI.
Dalam tahanan selama 12 tahun
Siauw Giok Tjhan ditahan selama 12 tahun dan sempat beberapa kali dipindahkan tempat penahanannya.
Setelah ditangkap pada 4 November 1965 - cerita Tiong Djin- keluarga dapat mengetahui keberadaan ayahnya beberapa jam kemudian.
Ia mengatakan sangat sulit bertemu dengan sang ayah dalam tiga tahun pertama.
"Pertemuan sangat sulit, kadang-kadang hanya lima menit, sekali sebulan, sekali dua bulan. Pertemuan selalu dihadapan para petugas sehingga tak bisa bicara terlalu banyak...
"Baru setelah tahun 1972, setelah (ayah) dipindah ke Rumah Tahanan Militer di Lapangan Banteng kemudian di Nirbaya, tempat tahanan para mantan menteri dan mantan jenderal, di situlah baru kami sering bertemu dengan ayah, seminggu sekali kami bertemu untuk satu sampai dua jam per minggu," kata Djin.
Beberapa hal yang dipelajari dari ayah, kata Tiong Djin termasuk bahwa "Indonesia adalah tanah air komunitas Tionghoa di Indonesia dan untuk menjadi seorang yang cinta dan loyal terhadap Indonesia, seseorang tidak perlu menanggalkan latar belakang kultur Tionghoa."
Djin menulis buku tentang kehidupan ayahnya, Siauw Giok Tjhan, Bicultural Leader in Emerging Indonesia, yang mencantumkan banyak hal yang ia pelajari dari sang ayah dan disusun berdasarkan disertasi doktoral yang diselesaikan pada 1999 di Universitas Monash.
Buku ini sendiri telah terbit dalam bahasa Indonesia dan juga Cina.
Sumber: BBC Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar