Martin Sitompul - 19 Oktober 2017
Beberapa jenderal Angkatan Darat masuk radar pemerintah
AS. Ada yang berpotensi menghalangi upaya penjungkalan Sukarno.
Presiden Sukarno, Milica
Adjie, dan Mayjen TNI Ibrahim Adjie. Foto: dokumentasi Kikie Adjie.
DOKUMEN rahasia AS yang baru saja dideklasifikasi dan
dibuka untuk publik pada 17 Oktober 2017 menyebut beberapa nama perwira tinggi
yang dianggap melindungi Sukarno pasca peristiwa 1965. Pesan telegram bernomor
A-503 itu bertajuk “Prospects for a Putsch in Djakarta” (prospek untuk
perebutan kekuasaan di Djakarta) dan diberi label: rahasia.
Dokumen itu dikirim dari Kedubes AS di Jakarta kepada
sekretaris negara di Washington, DC, tanggal 7 Februari 1966, sebulan sebelum
peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Letjen TNI Soeharto. Pengirim telegram
bernama Edward E. Masters, konselor (penasihat) Kedubes AS untuk urusan
politik.
“Prospek untuk melawan Istana (Sukarno, red), bergantung pada sikap militer,” tulis laporan itu.
Laporan itu menyebut dua jenderal yang bertentangan
dengan haluan kebijakan AS: Brigjen TNI Achmad Sukendro dan Mayjen TNI Ibrahim
Adjie.
Sukendro dikenal sebagai perwira intelijen Angkatan
Darat, orang dekat Nasution, yang menjabat menteri negara merangkap menteri
transmigrasi dan koperasi.
Sementara Adjie menjabat Panglima Kodam Siliwangi, Jawa
Barat. Mereka berdua dikhawatirkan lebih condong terhadap Sukarno.
“Sukendro, bagaimanapun, tidak mengendalikan pasukan dan hanya aktif sebagai ahli strategi politik,” tulis laporan itu mengenai Sukendro.
Laporan itu juga menyoroti pelarangan “Barisan Sukarno”
di Jawa Barat oleh Ibrahim Adjie. Pelarangan itu dapat membangunkan harapan di
antara para penentang Istana. Lebih lanjut, pasukan Adjie di Jawa Barat bisa memainkan
peran yang menentukan dalam permainan kekuasaan di Jakarta.
Keunggulan (pasukan) Adjie mungkin akan diikuti oleh
komandan daerah lainnya, seperti Brigjen TNI Solichin, panglima Kodam
Hasanuddin di Sulawesi Selatan, Letjen TNI A.J. Mokoginta, panglima Komando
Wilayah Sumatera, dan Mayjen TNI Sobirin Mochtar, komandan Batalion 530
Brawijaya.
“Namun pelarangan Barisan Sukarno sama sekali tidak menjadi cukup bukti bahwa kesetiaan yang ditunjukkan oleh Adjie terhadap Sukarno memudar,” demikian penilaian terhadap Adjie. Analisis Masters tersebut masukan bagi Duta Besar Marshall Green dan perumus kebijakan politik di Washington untuk Indonesia.
Bagaimana nasib kedua jenderal tadi ketika rezim
berganti? Keduanya mengalami nasib nahas.
Sukendro sejatinya adalah perwira antikomunis garis
keras. Pada Juli-September 1960, Sukendro pernah memimpin penindasan terhadap
PKI. Sukarno kemudian mengajak Angkatan Darat mencapai sebuah kompromi yang
berujung pada pengiriman Sukendro ke pengasingan selama tiga tahun.
Dalam masa pengasingan, menurut sejarawan Universitas
British Columbia, John Roosa, Sukendro belajar di University of Pitsburgh dan
menjalin kontak lebih dekat dengan para pejabat AS dan CIA. Pada akhir 1965,
Sukendro menjadi penghubung penting antara Kedubes AS dengan pimpinan Angkatan
Darat di bawah Soeharto dan Nasution.
“Sukendro segera tersingkir dari lingkaran Soeharto, barangkali karena dia terlalu mandiri,” tulis Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto.
Pada 1967, Sukendro ditangkap atas perintah Panglima
Komando Pemulihan dan Keamanan (Pangkopkamtib), Jenderal TNI Soemitro. Selama
sembilan bulan, dia ditahan di penjara Nirbaya, Pondok Gede, Jakarta Timur.
“Satu laporan intelijen menyebutkan, pada waktu Jenderal Sukendro sekolah di Seskoad, dia pernah mengemukakan di depan salah satu forum, bahwa Dewan Jenderal itu ada,” ujar Soemitro dalam memoarnya Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib karya Ramadhan K.H.
Kepada Soemitro, Sukendro mengakui telah mengatakan seperti itu. Soemitro sempat bingung karena Sukendro teman dekatnya, sama-sama lulusan angkatan pertama SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). “Namun bagaimanapun juga saya harus menahannya dan akhirnya saya masukan dia di Nirbaya,” kata Soemitro.
Sementara itu, Ibrahim Adjie mengalami hal yang tidak
jauh berbeda namun agak lebih baik. Adjie memang dikenal sebagai perwira tinggi
loyalis Sukarno. Sebagaimana lazimnya politik pembuangan di era Orde Baru,
Adjie menempati pos baru di London sebagai duta besar pada 1966. Setelah itu
namanya tak bergaung lagi. Dia memilih menjauhkan diri dari hiruk-pikuk politik
dan kekuasan.
0 komentar:
Posting Komentar