Kompas.com - 19/09/2017, 14:49 WIB
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di Kantor Setara, Jakarta, Senin (28/9/2015)
JAKARTA - Setara Institute menganggap film mengenai peristiwa 1965 perlu dibuat kembali dengan cerita yang lebih realistis.
Alur cerita film itu harus dibuat sesuai apa yang terjadi saat itu, tanpa ada pengaburan fakta.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, film tersebut harus lebih objektif, tak semata propaganda dan fokus pada kekerasan.
"Tapi juga menuturkan prolog mengapa peristiwa itu meletus dan epilog serta sequel yang berakibat tragis bagi sebagian orang Indonesia yang tidak terlibat dan menjadi korban," ujar Bonar, melalui keterangan tertulis, Selasa (19/9/2017).
Dengan demikian, kata Bonar, film baru itu mampu menjadi refleksi bagi generasi milenial, bukan sekadar menyajikan kekerasan dan kebencian.
Ia mengatakan, sejarah bukan hanya menyorot pihak yang menang dalam peristiwa itu, tetapi diangkat juga sisi sosial dan perspektif korban.
"Sekaligus mengandung edukasi dan imajinasi sosial bagi sebuah bangsa tentang apa yang diperlukan di masa depan," kata Bonar.
Bonar menganggap film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai dan ditulis oleh Arifin C. Noer seharusnya tak lagi diputar.
Film yang dibuat pada era Presiden kedua RI Soeharto tersebut dianggap sarat dengan kepentingan pada masanya.
Oleh karena itu, perlu ada pembaharuan dalam film versi baru yang lebih objektif.
Jika memang akan diputar kembali, kata dia, hendaknya diimbangi juga dengan film-film serupa yang mengangkat seputar peristiwa 1965 agar pemahaman sejarah generasi milineal utuh dan analitis.
"Sudah saatnya kita berdamai dengan sejarah. Melihat sejarah dengan mata terbuka dan kepala dingin. Bukan memperuncing sejarah demi kepentingan politik kekuasaan," kata Bonar.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo ingin film soal sejarah peristiwa 1965 diperbaharui untuk generasi sekarang.
Ia menekankan bahwa menonton film, apalagi mengenai sejarah itu penting.
Namun, menurut Presiden, seharusnya film itu dibuat lebih kekinian agar generasi muda lebih mudah memahami bahayanya komunisme.
“Akan lebih baik kalau ada versi yang paling baru, agar lebih kekinian, bisa masuk ke generasi-generasi milenial,” kata Jokowi.
PenulisAmbaranie Nadia Kemala Movanita
EditorInggried Dwi Wedhaswary
Sumber: Kompas.Com
0 komentar:
Posting Komentar