Rabu 18 Oktober 2017, 10:03 WIB | Jabbar Ramdhani - detikNews
Jakarta - Sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika soal tragedi 1965 kembali dibuka ke publik. Mengungkap mengenai sejumlah hal termasuk kerusuhan rasial 1965.
Dokumen itu dibuka oleh lembaga nonprofit National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).
Dilansir dari BBC, Rabu (18/10/2017), laporan itu menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika Serikat ketika pembantaian terjadi.
Data dalam dokumen diplomatik Amerika ini membantah narasi yang menyebutkan bahwa korban pembantaian tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang seharusnya bertanggung jawab. Menurut data ini, sebagian korban tak tahu dengan apa yang terjadi. Tentu saja hal masih berdasarkan versi dokumen dari Kedubes AS.
"Mereka kebingungan dan mengaku tak tahu soal 30 September," tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia pada 20 November 1965.
Rencana membunuh Omar Dani
Sutarto, asisten Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani, menyampaikan ke diplomat Amerika perlunya mengeksekusi pimpinan PKI dan membunuh Omar Dani yang kala itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Udara Indonesia. Itu tercatat dalam kabel dari Kedutaan untuk Kemenlu tanggal 18 Oktober 1965.
Sutarto menyampaikan bahwa gejolak anti-PKI sudah merebak di Medan dan Makassar, sementara Jawa Tengah sedang berada dalam situasi yang kacau. Aksi-aksi anti-PKI ini dilaporkan dipimpin oleh "Angkatan Darat/kelompok Muslim".
"Kita perlu menggantung Aidit, Njoto, dan Lukman di Lapangan Banteng guna menunjukkan ke semua orang seperti apa sebenarnya mereka," kata Sutarto dikutip laporan tersebut.
Bahkan lebih lanjut Sutarto menyebutkan, "Omar Dani harus meletakkan jabatannya atau kita harus membunuh dia." Ada pejabat AU lain yang juga disebut harus dicampakkan, yakni Sri Muljono, Suryadarma, dan Abdoerachmat.
Kerusuhan rasial menyasar etnik Tionghoa
Seiring propaganda anti-PKI yang diusung Angkatan Darat, sentimen anti-Cina juga berkembang luas di Sulawesi, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Warga Indonesia keturunan Tionghoa menjadi korban kekerasan dan dituding adalah pendukung, bahkan, anggota PKI.
Massa menghancurkan universitas Res Publica, perguruan tinggi yang diidentikkan dengan PKI dan Partai Komunis Cina
Telegram Kedutaan untuk Kemenlu 12 November 1965 menyebutkan, "90 persen toko-toko milik orang Tionghoa di Makassar dijarah dan dihancurkan pada kerusuhan 10 November yang dilakukan hampir seluruh penduduk." Bahkan lebih jauh lagi, alat-alat produksi milik orang Tionghoa diambil paksa tentara.
Dalam kabel diplomatik untuk Kemenlu pada 7 Desember 1965 memuat informasi bahwa aset orang Tionghoa disita tentara. Menteri Pertanian Sudjarwo mengumumkan bahwa penggilingan beras dan pabrik tekstil orang Tionghoa diambil alih militer masing-masing wilayah.
Angkatan Darat persenjatai Hansip untuk tumpas PKI
Selain kelompok-kelompok kanan, Angkatan Darat juga mempersenjatai pertahanan sipil atau Hansip sebagai kekuatan memerangi PKI. Dalam laporan Konsulat Jenderal Amerika di Medan menyebutkan hal itu dilakukan untuk meningkatkan peran pengawasan di kota maupun pedesaan.
Prajurit TNI berjaga di depan Istana Bogor, saat sejumlah mahasiswa berbagai kalangan yang berusaha mendekati Presiden Soekarno.
"Ketika ini dilaksanakan, rantai komando militer bertambah luas hingga setiap desa yang ada di Sumatera," tulis laporan tersebut.
Tak sampai di situ, pemuda yang berusia 8-13 tahun diwajibkan ikut Pramuka yang dikontrol tentara. "Secara singkat, Sumatera dengan cepat berubah menjadi tanah tentara."
Masih ada sejumlah poin-poin lain dalam rangkaian dokumen dari Kedubes AS mengenai peristiwa 1965 tersebut. Apa yang tertera dalam dokumen tersebut sebagian di antaranya bertentangan dengan narasi-narasi lain mengenai peristiwa tersebut.
(fjp/jbr)
Sumber: NewsDetik
0 komentar:
Posting Komentar