18 September 2017 8:43
Kegiatan Asik Asik Aksi di LBH Jakarta. (Foto: Antara/Wahyu Putro A)
Dua hari
berturut-turut insiden pecah di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang berlokasi di pusat
Jakarta, tepatnya Jalan Diponegoro Nomor 74, Menteng. Rencana penyelenggaraan
seminar bertajuk “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” di tempat itu tak
pernah terlaksana karenanya.
Hari pertama,
Sabtu (16/9), seiring kepungan massa dari sejumlah kelompok, Kepolisian
memblokade dan merangsek masuk ke dalam gedung untuk membubarkan acara. Panitia
disebut tak melayangkan pemberitahuan resmi hendak menggelar acara bertema
sensitif.
Hari kedua,
Minggu malam (17/9) hingga Senin dini hari tadi (18/9), LBH Jakarta kembali
dikepung. Ratusan orang, dari luar gedung, meneriakkan ancaman dan melempar
batu, sementara acara “Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi” berlangsung
di dalamnya.
#AsikAsikAksi
berisi gelaran seni--puisi, musik--sebagai wujud keprihatinan atas pembubaran
acara sehari sebelumnya, seminar Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966, oleh
Kepolisian.
Kepungan massa
alhasil membuat suasana ricuh lagi. Sekitar 200 orang yang berada dalam areal
gedung LBH Jakarta terkurung dan bertahan.
Sebagian dari
mereka ialah penyintas Tragedi 1965 yang telah berusia sepuh. Sebagian lainnya,
termasuk aktivis Melanie Subono, bersembunyi di atap gedung sembari memonitor
situasi.
“Saya terjebak di LBH. Setelah selesai lagu terakhir, di luar pagar tak kondusif lagi…” ujar Melanie di akun media sosialnya pukul 22.20 WIB. Ia terus meng-update situasi di LBH Jakarta hingga dini hari.
Berbeda dengan
sehari sebelumnya kala polisi membubarkan acara, kali ini mereka mengadang
massa untuk masuk ke dalam gedung dan mencoba memberi penjelasan persuasif
kepada massa.
“Tidak ada acara terkait PKI, dan aparat Kepolisian mulai dari Kapolsek Menteng, Kapolres Jakarta Pusat, Kabaintelkan Mabes Polri, sampai Kapolda Metro Jaya telah melakukan klarifikasi langsung--melihat semua bahan, mengawasi terus-menerus, dan mengakui serta menjelaskan kepada massa bahwa tidak ada acara yang berkaitan sama sekali dengan PKI atau komunisme. Tapi massa tidak mau mendengar dan melawan aparat,” kata YLBHI dalam keterangan tertulisnya pagi ini.
Ucapan terima
kasih pun dilontarkan YLBHI atas respons dan perlindungan aparat keamanan
terhadap peserta acara di dalam gedung.
“Hoax dan berita-berita bohong telah disiarkan, propaganda tuduhan yang mengada-ada telah diviralkan, instruksi-instruksi untuk menyerang LBH dilakukan secara sistematis dan meluas bahwa ini acara PKI, menyanyikan lagu Genjer-genjer, dan lain-lain. Padahal sama sekali tidak ada,” tegas YLBHI, yakin ada pihak-pihak yang dengan sengaja menghendaki kerusuhan terjadi.
Sehari
sebelumnya, ketika seminar Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966 tertunda
dan akhirnya dibubarkan, YLBHI, Forum ‘65, KontraS, dan Amnesty International
serempak melontarkan kecaman, menuding telah terjadi pemberangusan hak dasar
untuk berkumpul dan menyatakan pendapat.
“Arah negara kita akan diserahkan bukan kepada hukum tertulis, tapi apa kata orang yang bisa memobilisasi orang sebanyak-banyaknya, termasuk dengan uang yang besar,” kata Ketua Umum YLBHI, Asfinawati.
Bonnie Setiawan (Foto: Facebook/Bonnie Boni Seiawan)
Forum diskusi
ilmiah. Itulah kata-kata kunci yang diucapkan Bonnie Setiawan, Ketua Panitia
Penyelenggara Seminar Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966.
“Seminar itu kan forum ilmiah. Bisa datang baik-baik. Kalau mau menantang, bisa membawa ilmuwannya sendiri-sendiri. Siapapun yang datang dengan semangat ilmiah, semangat diskusi yang baik, ikuti tertib seminar, kami sangat terbuka,” ucap Bonnie di LBH Jakarta.
Meski begitu,
Bonnie menyadari segala sesuatu bertema Tragedi 1965 akan terus dirongrong oleh
beberapa pihak yang tak menyukainya, sekalipun berwujud forum ilmiah. Hal ini,
mau tak mau, membuatnya jengkel.
“Kenapa takut dengan seminar? Jelas karena ini seminar mengenai ‘65. Dan siapa yang takut dengan dibongkarnya masalah 65? Orang-orang Orde Baru yang masih kuat di pemerintahan ini. Mau mengupas sedikit saja, pasti diberangus,” tandasnya.
Bonnie Setiawan (Foto: Facebook/Bonnie Boni Seiawan)
Forum diskusi
ilmiah. Itulah kata-kata kunci yang diucapkan Bonnie Setiawan, Ketua Panitia
Penyelenggara Seminar Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966.
“Seminar itu kan forum ilmiah. Bisa datang baik-baik. Kalau mau menantang, bisa membawa ilmuwannya sendiri-sendiri. Siapapun yang datang dengan semangat ilmiah, semangat diskusi yang baik, ikuti tertib seminar, kami sangat terbuka,” ucap Bonnie di LBH Jakarta.
Meski begitu,
Bonnie menyadari segala sesuatu bertema Tragedi 1965 akan terus dirongrong oleh
beberapa pihak yang tak menyukainya, sekalipun berwujud forum ilmiah. Hal ini,
mau tak mau, membuatnya jengkel.
“Kenapa takut dengan seminar? Jelas karena ini seminar mengenai ‘65. Dan siapa yang takut dengan dibongkarnya masalah 65? Orang-orang Orde Baru yang masih kuat di pemerintahan ini. Mau mengupas sedikit saja, pasti diberangus,” tandasnya.
IPT 1965 (Foto: Facebook/@IPT1965)
Menurut rencana
semula--yang kemudian bubar seketika, acara seminar dibagi dalam 7 sesi. Pertama,
meluruskan kontroversi 1948. Kedua, kontroversi sebelum 1965 dan konflik
agraria. Ketiga, G30S (Gerakan 30 September)/Gestok (Gerakan Satu Oktober)
serta TAP MPRS XXV (tentang pembubaran PKI) dan XXXIII (yang menuding Sukarno
mendukung G30S) dan berujung pada Supersemar dan lahirnya Orde Baru.
Keempat, sesudah
1965--melingkupi terjadinya kejahatan kemanusiaan, genosida, pemenjaraan di
kamp-kamp, periode pembebasan tahanan 1978/1979, tentang kaum eksil yang
terhalang pulang.
Kelima, periode
1981-sekarang--meliputi politik bersih lingkungan, termasuk dalam kurikulum
pelajaran sejarah.
Keenam, mencari
terobosan penyelesaian tragedi sejarah masa lalu dan KKR (rehabilitasi,
rekonsiliasi, reparasi) dalam lingkup formal/kenegaraan. Ketujuh, mencari
terobosan penyelesaian dan KKR dalam lingkup masyarakat sipil.
Ketujuh sesi
seminar ilmiah itu sedianya diisi pembicara dari berbagai latar belakang, mulai
dari sejarawan, pegiat kemanusiaan, hingga pejabat pemerintah. Sebut saja Dr.
Asvi Warman Adam, Dr. Baskara T. Wardaya, Martin Aleida, Kusnanto Anggoro,
Ifdhal Kasim, dan diplomat senior Makarim Wibisono.
Tragedi 1965 terus jadi tabu untuk dibahas. (Foto:
Flickr/@International People's Tribunal Media)
Reza Muharam,
anggota International People’s Tribunal 1965 (IPT ‘65), mengatakan seluruh
rangkaian seminar ilmiah itu bertujuan mengungkap kebenaran peristiwa ‘65, dan
bagian dari langkah pemutakhiran temuan sejarah terbaru.
“Ini juga untuk memformulasikan narasi alternatif terhadap hoax-hoax yang sekarang kembali direproduksi,” ucap Reza.
Ia berpendapat,
mempelajari sejarah tak bisa ditempuh dengan peranti-peranti buatan pemerintah
seperti film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI.
“Sejarah harus diungkap oleh kerja-kerja ilmiah yang disiplin dan terukur. Kami hendak mengetahui secara lebih komprehensif kebenaran pada masa 1965. Sebab, di satu sisi ada hoax ‘65 hasil manipulasi narasi pemerintah versi Orde Baru. Di sisi lain, banyak sekali temuan akademis yang justru menjungkirbalikkan narasi hegemonis yang masih dipegang dan diyakini sebagian besar rakyat Indonesia kini,” ujar Reza.
Seperti Bonnie,
Reza pun paham betul narasi tandingan yang dilekatkan pada hantu komunis
membuat semua serbasulit. Bagaimanapun, ia berprinsip kebenaran tak bisa
dibangun oleh kecurihaan dan dogma seperti yang selama ini selalu digunakan
untuk menybar kebencian pada para korban dan penyintas Tragedi 1965.
“Kebenaran saat ini akan terus berkembang sesuai temuan-temuan terbaru. Sangat penting kerja-kerja akademik untuk pengungkapan ‘65,” ujarnya.
Reza mencatat,
saat ini setidaknya ada puluhan produk akademik internasional yang mengambil
tema Tragedi 1965. Beberapa contohnya, Jessica Melvin dari University of
Melbourne, Australia, menemukan bukti genosida di Aceh.
Melvin
merampungkan studi doktoralnya lewat disertasi berjudul Mechanics of Mass
Murder: How the Indonesian Military Initiated and Implemented the Indonesian
Genocide: The Case of Aceh.
Para tahanan politik Tragedi 1965. (Foto: Joop Morieed via
tribunal1965.org)
Berikutnya,
Andrew Marc Conroe dari University of Michigan, Amerika Serikat, meneliti
mengenai tahanan politik Tragedi 1965. Disertasi berjudul Generating History:
Violence and the Risks of Remembering for Families of Former Political
Prisoners in Post-New Order Indonesia mengantarkan Conroe meraih gelar doktor
filosofi.
Ada pula
disertasi doktoral Anna-Greta Nillson Hoadley dari Lund University, Swedia,
berjudul Indonesian Literature Vs New Order Orthodoxy: The Afrtermath of
1965-1966 yang menelaah tentang hegemoni narasi yang dibangun Orde Baru.
Buku Indonesian Literature vs New Order Orthodoxy. (Foto: Dok.
goodreads.com)
Ketiga karya
akademik itu hanya sebagian kecil dari puluhan kerja ilmiah di seputar Tragedi
1965--yang justru lebih leluasa dikaji ilmuwan asing karena kondisi psikologis
masyarakat Indonesia yang menganggapnya tabu sehingga menghindari kajian ilmiah
soal itu.
Jadi, sampai
kapan kajian-kajian ilmiah yang dirancang cermat, dibangun dengan penelitian
lapangan dan metodologi disiplin ketat, harus terpinggirkan dan terempas di
negeri sendiri?
Tragedi 1965
mungkin selamanya akan menjadi medan tarik ulur kebenaran sejarah.
Sebetulnya, ujar
Reza, ia akan amat senang jika terbangun diskusi akademis di antara kedua belah
pihak yang berbeda pendapat.
“Kami tidak antiperdebatan,” kata dia.
Ia tak terlalu
mempermasalahkan perbedaan cara pandang yang bisa menghambat aspirasi
pengungkapan kebenaran sejarah. Yang jadi masalah selama ini adalah: bagaimana
diskusi ilmiah dijalankan beradab tanpa tendensi kekerasan.
“Kami ingin ada perdebatan terbuka Tapi jangan main pukul dan main kayu. Mari berdebat secara fakta dan akademis,” ujar Reza.
Konpers pascapembubaran Seminar Sejarah 1965. (Foto: Dok. Tim Advokasi
Seminar 1965)
Mengutip data
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), kegiatan yang berkaitan
dengan Tragedi 1965 selama ini paling banyak mengalami represi. Data dari
Januari 2015 hingga Agustus 2017 menunjukkan, setidaknya ada 44 kegiatan
tentang Tragedi 65 yang direpresi.
Kegiatan tersebut
terdiri dari pemutaran film Senyap dan Jagal, diskusi ilmiah, hingga pertemuan
para penyintas. Pelaku adalah ormas hingga aparat TNI dan Polri.
YLBHI menegaskan
akan terus mendampingi mereka yang tertindas tanpa pandang bulu.
“Tidak memandang suku, agama, ras, keyakinan politik, golongan. Termasuk korban-korban yang distigma ‘65 kami dampingi.”
Tentu saja, awan
masih terus menggayut di atas kepala para korban dan penyintas Tragedi 1965.
Simak
selengkapnya jalan panjang pengungkapan ilmiah Tragedi 1965 dalam ulasan
berikut.
0 komentar:
Posting Komentar