Patsy Widakuswara | 18-10-2017
AS Rilis 30 Ribu Dokumen Bukti AS Tahu Detil Pembunuhan Massal 1965 | Reuters
Sedikit
lagi tabir sejarah masa transisi antara pemerintahan Soekarno ke Soeharto serta
periode penuh kekerasan tahun 1965 dan 1966 terkuak. Hampir 30 ribu halaman
dokumen dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta antara 1964 hingga 1968
yang sudah di-deklasifikasi atau tak lagi dianggap rahasia, dirilis Pusat
Deklasifikasi Nasional, bagian dari Arsip
Nasional AS bekerjasama dengan LSM Arsip Keamanan Nasional di Universitas George
Washington. Dokumen-dokumen ini mencakup periode pembunuhan ratusan ribu
tersangka simpatisan Komunis tahun 1965-1966, yang didukung oleh pemerintah AS
saat itu.
Ribuan
dokumen ini dipindai dan ditampilkan online oleh tim relawan Indonesia and
East Timor Documentation Project. Proyek ini bertujuan memberi
masyarakat umum akses terhadap dokumen-dokumen ini. Pendiri proyek tersebut,
profesor sejarah Asia Bradley Simpson menyatakan, "Deklasifikasi ini
sangat penting mengingat iklim politik di Indonesia saat ini di mana tengah
meningkat sentimen anti komunis oleh militer dan organisasi Muslim terhadap
organisasi yang dianggap kiri seperti LBH. Semoga warga Indonesia memahami
sejarah ini agar tidak mengulanginya lagi." Bradley Simpson menambahkan,
"Kami telah mempublikasikan sebagian kecil dari dokumen ini untuk memberikan publik sedikit gambaran
mengenai apa yang ada dalam koleksi ini."
AS
Tahu Detil Pembunuhan Massal 1965
Berbagai
dokumen yang dibuka ini menunjukkan dukungan Amerika terhadap militer Indonesia
dalam pembunuhan ratusan ribu warga yang dituduh simpatisan komunis.
Deklasifikasi ini merupakan yang terbesar dan paling signifikan yang dilakukan
Pusat Deklasifikasi Nasional yang dibentuk 2009 atas perintah Presiden Barack
Obama untuk meningkatkan transparansi. Berkas tersebut memberikan rincian lebih
lanjut tentang bagaimana Kedutaan Besar AS terus melacak pembunuhan massal, dan
berusaha dapat melemahkan gerakan buruh Indonesia dalam transisi pemerintahan
Soekarno ke Suharto.
Peran
AS di Indonesia dalam konteks perebutan pengaruh di masa Perang Dingin ini
bukan hal baru. Rilis arsip keterlibatan AS di Indonesia dimulai pada tahun
2000, ketika Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengeluarkan Laporan Hubungan
Luar Negeri Amerika Serikat, 1964-1968. Sejumlah dokumen tersebut
menunjukan dukungan badan intelijen Amerika CIA terhadap Jenderal Suharto saat
itu, ketika Washington kuatir Presiden Soekarno masuk ke orbit komunis.
Pertanyaan
yang belum sepenuhnya terjawab, bahkan setelah deklasifikasi baru ini adalah
seberapa jauh tingkat dukungan AS untuk militer Indonesia dalam pembunuhan
tersebut. Berdasarkan dokumen yang dirilis terdahulu, CIA menyediakan dukungan
teknis seperti radio. Badan intelijen Amerika dituduh menyediakan "daftar
bunuh" orang-orang yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis.
Menurut
Bradley Simpson, rilis ini tidak mencakup dokumen rahasia terkait operasi
terselubung badan intelijen Amerika, CIA maupun berkas Departemen Pertahanan
termasuk catatan komunikasi Menteri Pertahanan AS saat itu, George Benson,
dengan pejabat dan pemimpin militer Indonesia. Hingga kini belum ada kepastian
apakah dokumen-dokumen tersebut akan dibuka oleh Washington.
AS Rilis 30 Ribu Dokumen Bukti AS Tahu Detil Pembunuhan
Massal 1965
"The Act of Killing"
Dua dokumenter pembuat film Amerika Joshua Oppenheimer
yang mengungkap pembunuhan massal 1965 di Indonesia menjadi salah satu faktor
pendesak keputusan pemerintah AS merilis ribuan dokumen ini.
The Act of Killing tahun 2012 dan The Look of Silence
2014, keduanya masuk nominasi Oscar, membuka mata warga Amerika akan peran
pemerintahnya dalam peristiwa 1965. Joshua Oppenheimer menyatakan rilis dokumen
ini merupakan momen paling membanggakan dalam karirnya sebagai pembuat film dan
dalam hidupnya sebagai "manusia yang sangat peduli dengan Indonesia,
terhadap keluarga korban yang dengan berani berbagi kisah mereka serta para
pelaku yang berani bicara dengan kejujuran emosional." Menurut
Oppenheimer, hal ini bahkan lebih membanggakan dibanding mendapatkan nominasi
Oscar karena, "Tujuan utama saya membawa film saya ke Oscar adalah untuk
mendapatkan perhatian atas isu ini agar pemerintah AS membuka dokumen mengenai
peran mereka dalam pembunuhan ini, dan ini mulai terjadi."
Wacana publik yang muncul pasca kedua film Oppenheimer
berbuah sebuah resolusi yang diajukan Senator Partai Demokrat Tom Udall,
yang menyerukan agar pemerintah Indonesia membentuk komisi kebenaran dan
rekonsiliasi, dan agar pemerintah AS merilis dokumen yang menunjukkan peran
Washington di Indonesia pada periode tersebut.
Selain itu lobi dari kalangan aktivis HAM
termasuk permintaan resmi dari Komnas HAM Indonesia, juga menjadi
faktor-faktor yang mendorong dirilisnya dokumen-dokumen ini.
Dalam pernyataan tertulis Senator Tom Udall mengatakan
"dokumen-dokumen ini akan memberikan transparansi lebih besar mengenai
dukungan amerika serikat untuk pemerintah indonesia selama periode ini."
Ia akan mengadakan briefing bagi Komisi Hubungan Luar Negeri Senat mengenai
rilis dokumen-dokumen ini dan temuan-temuannya. Menurut Senator Udall,
"Hanya dengan mengakui kebenaran akan sejarah kita sendiri maka Amerika
Serikat dapat berbicara secara kredibel mempertahankan HAM di masa depan."
Sutradara "The Act of Killing" Joshua Oppenheimer (kanan)
berbicara dengan tokoh utama filmnya, Anwar Congo (kedua dari kiri, memakai
topi). (AP/Drafthouse Films)
KBRI: Ini Hanya Perspektif Kedubes AS
Sesuai posisi pemerintah Indonesia yang bersikeras
Peristiwa 1965 merupakan konflik horizontal di masyarakat, Kedutaan Besar RI di
Washington, DC tampak tidak ingin memberikan signifikansi terhadap rilis ini.
Menurut Sekretaris I Bidang Penerangan, Muhammad Al-Aula, "Dokumen-dokumen
ini hanyalah perspektif Kedutaan Besar AS di masa itu, yang sewajarnya
dikumpulkan dan dilaporkan oleh perwakilan suatu negara."
Pemerintah AS tidak menginformasikan sebelumnya kepada
KBRI sebelum rilis ini sebab menurutnya "Ini hal yang sifatnya internal
dalam Amerika sehingga tidak ada informasi atau koordinasi."
Ia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia fokus melihat
ke depan daripada terus membahas peristiwa yang sudah lama lalu ini dan,
"berbagai langkah telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk
menyelesaikannya dengan cara yang terbaik termasuk melalui Forum Komunikasi
Anak Bangsa."
Akses Publik
Menurut ketua Indonesian & East Timor
Documentation Project Bradley Simpson, dalam beberapa minggu ke depan Arsip
Nasional akan menggabungkannya dalam sistem pencarian
digital mereka agar cendekiawan, wartawan dan warga Indonesia
yang tertarik dapat membaca dokumen ini untuk melakukan riset mereka sendiri
atas periode penting dalam sejarah Indonesia ini. [pw/hj]
Sumber: VoA Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar