Martin Sitompul | 26 Okt 2017, 13:05
Antropolog AS mencatat aksi pembersihan PKI di Pulau Rote, NTT. Banyak orang tak bersalah menjadi korban hanya karena mereka menjadi pelanggan koperasi yang dikelola PKI.
Tentara menggiring orang-orang yang diduga terkait PKI pada 1965. (Perpustakaan Nasional RI).
DI Pulau Rote, ujung paling selatan Indonesia, seorang antropolog AS, James J. Fox, menyaksikan praktik penumpasan PKI. Dia menetap di Rote sejak 1965 untuk kepentingan studinya di Universitas Oxford, Inggris. Bersama istrinya, dia melaporkan situasi yang terjadi selama masa pembersihan berlangsung kepada Kedubes AS di Jakarta. Kedubes kemudian menerbitkannya dalam laporan berjudul “Conditions and Attitudes in East Nusatenggara” (Kondisi dan Sikap di Nusa Tenggara Timur). Laporan ini menjadi salah satu dari 39 dokumen rahasia AS yang dideklasifikasi pada 17 Oktober 2017.
Fox melaporkan bahwa satu detasemen AD tiba di Rote pada Januari atau Februari 1966. Misi tentara memburu Sukirno, kader PKI dari Jakarta yang ditugaskan memimpin PKI di Rote, beberapa minggu sebelum 30 September 1965. Tentara mundur karena tak menemukan yang dicari. Mereka kembali lagi ke Rote pada pertengahan Maret 1966.
“Kunjungan ini menghasilkan eksekusi sebanyak 40 sampai 50 orang komunis di Rote ditambah 30 orang lainnya dari pulau tetangga, Sawu,” tulis telegram bernomor A-65 tanggal 3 Agustus 1966. Kunjungan tentara yang ketiga terjadi pada Juni 1966. Satu atau dua orang anggota PKI dieksekusi yang sebelumnya menghindari penangkapan.
Fox melakukan perjalanan melalui Timor untuk berbicara dengan sebanyak mungkin masyarakat setempat. Informasi yang digalinya menyimpulkan sekira 800 orang atau paling banyak 1000 orang telah dieksekusi di Timor, Sumba, Alor, Rote, Sabu dan di pulau kecil lainnya. Alor merupakan basis PKI terkuat dengan 105 orang dieksekusi. Sementara untuk Flores, dia tidak mengetahui persis namun diperkirakan jauh lebih banyak.
Sebagai antropolog, Fox mengamati implikasi sosial yang ditimbulkan oleh operasi tentara. Alih-alih menuai simpati, aksi pembersihan ternyata menodai citra tentara di mata masyarakat Rote. Daerah ini sebagian besar beragama Kristen dan berisi beragam orang non-Jawa. Sementara, ketika tentara datang, “mereka sebagian besar terdiri dari orang-orang Muslim dari Jawa dan nampaknya penduduk setempat menjadi korban pendudukan orang asing,” kata Fox.
Menurut Fox, tentara melakukan pesta mewah hari demi hari dengan mengorbankan harta milik penduduk, yang mengakibatkan populasi ternak (kambing) menipis. Di Kupang, korupsi yang dilakukan tentara diperkirakan meningkat sepuluh kali lipat. Beberapa muatan kapal dari luar negeri yang dibongkar di Kupang, naik ke tangan tentara dan hanya bisa dibeli oleh penduduk dengan harga selangit. Hal ini sempat menimbulkan ancaman kelaparan bagi masyarakat setempat.
Kesaksian Pembanding
Wartawan senior asal Pulau Sawu, Peter A. Rohi meyakini kebenaran dokumen laporan Fox tersebut. Menurutnya, yang disebut PKI yang dibantai di Timor termasuk Pulau Rote dan Sawu adalah anggota-anggota nonaktif. Mereka kebanyakan petani buta huruf dan nelayan kecil yang berlangganan di koperasi PKI.
“Mereka yang masih menganut agama lokal pun disamakan dengan atheis dan atheis itu komunis. Para aktivis yang selama masa itu selalu bertentangan dengan kebijakan pemerintah juga digolongkan komunis. Petani dan nelayan-nelayan itu sama sekali tak mengerti Marxisme. Bagi mereka yang penting kebutuhan mereka tersedia di koperasi yang ternyata milik PKI,” kata Peter.
Bahkan, Peter mengungkapkan saudara sepupu ibunya beserta anak sulungnya yang pulang melaut langsung ditangkap tanpa diberi kesempatan pulang ke rumah. Keduanya kreditur jaring di koperasi milik PKI lantas dibunuh bersama banyak orang lain yang PKI atau di-PKI-kan.
Seorang hakim di Ende, Flores, bernama Soedjono ditangkap massa dan dibunuh hanya karena namanya sama dengan seorang buronan PKI di Jawa. Setelah itu, baru diketahui dia bukanlah Soedjono yang dicari.
“Pokoknya histeria massal saat itu terjadi karena selebaran-selebaran hoax seakan-akan PKI akan membunuh semua ulama dan pendeta, pastor, para pejabat resmi, serta tokoh masyarakat yang berpengaruh yang namanya tercantum dalam selebaran itu,” kata Peter.
Pengalaman senada juga dikisahkan Ben Mboi dalam memoarnya Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Menurut dokter yang saat itu berdinas di Flores dan Ende, kehadiran PKI di desa-desa bertumbuh karena PKI diplesetkan menjadi Partai Koperasi Indonesia, dan seterusnya. Keanggotaan PKI pun diimingi-imingi naik haji bagi petani kecil, atau pedagang keliling, dan sebagainya.
Ketika situasi politik berbalik menekan PKI, tragedi kemanusiaan yang memilukan pun tak terelakkan. Gerakan kontra PKI berjalan cepat dan kejam sekali. Aksi pengganyangan menyala-nyala dan tak manusiawi.
“Tokoh-tokoh komunis disiksa, dipukuli sampai luka-luka, dikirim ke rumah sakit, dikembalikan lagi, disiksa lagi, dikirim lagi ke rumah sakit, sampai persediaan alat balut yang sudah terbatas itu makin terkuras saja,” kata Mboi yang kemudian menegur kepala Kodim setempat.
Di Ende, keadaan tak jauh berbeda.
“Ada orang PKI yang disiksa lalu ditembak, ada yang disiksa sambil berjalan sampai mati, ada yang dibakar hidup-hidup.”
Mboi juga menyaksikan ada dua guru yang dipenggal dan diarak massa keliling kota Ende, lalu dipamerkan di tugu tengah kota. Kedua jenazah baru dikuburkan setelah kepala seksi satu Kodim mendapat teguran.
Menurut Mboi, korban keganasan epilog G30S di Flores terbesar kedua setelah Bali. Selain PKI, anggota-anggota PNI kubu Ali-Surachman juga menjadi korban. Keganasan tak lebih ringan dari yang dialami PKI, malahan lebih ganas, oleh karena ada motif pribadi.
“Masa ini benar-benar merupakan the blackest and the bleakest months of my life (paling gelap dan paling suram dalam hidupku), dan sampai hari ini pun bayangan bulan-bulan itu masih terpatri dalam ingatan seperti baru terjadi kemarin saja!” kenang Mboi yang meninggal pada 23 June 2015.
Sumber: Historia.Id
0 komentar:
Posting Komentar