Oleh: Petrik Matanasi - 19 Oktober 2017
Kapten Udara Ignatius Dewanto. FOTO/Istimewa
Dalam arsip Jakarta Embassy Files, terdapat laporan yang dibuat Direktur Intel AURI terkait aktivitas militer di Solo setelah G30S.
Baru saja Pusat Deklasifikasi Nasional Amerika, bagian dari National Archives and Records Administration (NARA) merilis 39 dokumen yang terangkum dalam arsip Jakarta Embassy Files. Arsip-arsip itu merangkum aktivitas diplomat Amerika di Jakarta semasa peristiwa 1965 dan setelahnya.
Dari arsip-arsip itu, terselip sebuah dokumen berbahasa Indonesia. Dokumen yang pada masanya bersifat rahasia itu bernomor 051/ch/PR/j/65 dan berjudul: Ichtisar Situasi Djawa Tengah. Kop suratnya dikeluarkan Direktorat Intelijen Departemen Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Stempelnya: Departemen Angkatan Udara. Tanggal pembuatan surat: 29 Oktober 1965.
Oleh Brad Simpson, sejarawan dari Universitas Connecticut yang menjadi penyelia dokumen-dokumen, laporan intelijen AURI itu diklasifikasikan sebagai Dokumen 10 (RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 4 pol 23-9 September 30th Mvt November 1-9, 1965).
Dari arsip-arsip itu, terselip sebuah dokumen berbahasa Indonesia. Dokumen yang pada masanya bersifat rahasia itu bernomor 051/ch/PR/j/65 dan berjudul: Ichtisar Situasi Djawa Tengah. Kop suratnya dikeluarkan Direktorat Intelijen Departemen Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Stempelnya: Departemen Angkatan Udara. Tanggal pembuatan surat: 29 Oktober 1965.
Oleh Brad Simpson, sejarawan dari Universitas Connecticut yang menjadi penyelia dokumen-dokumen, laporan intelijen AURI itu diklasifikasikan sebagai Dokumen 10 (RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 4 pol 23-9 September 30th Mvt November 1-9, 1965).
Direktur Intelijen kala itu adalah Komodor Ignatius Dewanto. Di bawah Dewanto ada Letnan Kolonel Heru Atmodjo. Berdasarkan buku Gerakan 30 September 1965: Kesaksian Letkol (Pnb.) Heru Atmodjo (1966), Heru adalah Asisten Direktur Intelijen AURI sejak 1 April 1965 menggantikan Komodor Dewanto yang diangkat sebagai Deputi Menteri/Panglima Angkatan Udara merangkap Direktur Intelijen AURI
Dokumen mencatat jumlah korban bentrokan. Pada 22 Oktober, 6 meninggal dan 35 terluka; 23 Oktober terjadi penculikan dan pembunuhan 14 orang dari golongan Nasionalis dan Agama di Kampung Sewu; 24 Oktober di Kartasura terdapat 21 orang korban dan di Benteng yang dikosongkan Batalyon K terdapat 6 orang mati terkubur.
Disebutkan pula pergerakan Batalyon K yang meninggalkan Solo pada 23 Oktober 1965 dan Batalyon M yang kemungkinan bergerak pada 27 Oktober 1965 — keduanya berasal dari Angkatan Darat.
Mengenai kegiatan AURI, dilaporkan bahwa pada 22 Oktober diadakan unjuk kekuatan pihak AURI dan RPKAD. AURI mengerahkan 1 peleton lengkap dan 2 pesawat (BT-13 dan pipercub) untuk survei udara sekaligus menyebar pamflet. Esoknya, dari survei udara, diketahui adanya konsentrasi 5 ribu massa menuju Boyolali. Setiap hari, personil AURI dilibatkan dalam patroli keamanan di kota.
“Untuk respons situasi yang gawat itu, Menteri Panglima Angkatan Udara (Marsekal Omar Dhani) memberikan perintah Operasi Waspada Pendahuluan yang mulai berlaku tanggal 27 Oktober (1965). Kekuatan yang dikerahkan: satu kompi Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dikerahkan ke Pangkalan Angkatan Udara Panasan; satu pesawat bomber ringan untuk dikerahkan ke PAU Panasan; menyiapkan pesawat angkut untuk mengangkut satu kompi PGT dari Hussein ke Panasan,” sebut dokumen itu.
Menurut Brad Simpson, “Dokumen ini yang dibuat Direktur Intelejen Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), memperlihatkan suatu yang tak lazim di dalam tubuh Angkatan Bersenjata, melaporkan kegiatan terkait Gerakan 30 September.”
Digambarkan bagaimana aktivitas prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di sekitar Surakarta yang diperlakukan sebagai zona perang oleh tentara karena populernya Partai Komunis Indonesia (PKI) di sana. Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD, memimpin langsung staf gabungan di sana.
Sebelum 1965, di Kandang Menjangan, Kartasura, yang kini masyhur sebagai markas Kopasus, sudah ada tangsi pasukan RPKAD. Perwira muda RPKAD kala itu — yang belakangan sukses menjadi petinggi militer juga tokoh nasional —antara lain: Letnan Satu Feisal Tandjung (belakangan Panglima ABRI); Letnan Dua Sintong Pandjaitan(belakangan sempat menjadi Panglima Kodam Udayana).
Pasukan RPKAD di Kartasura dan Surakarta itu sebelumnya hendak ditugaskan dalam agenda Konfrontasi Malaysia. Saat kampanye Konfrontasi Malaysia dihentikan, mereka pun menjadi ujung tombak menyisir anggota dan simpatisan PKI.
Dari biografi Sintong Panjaitan (Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando) dan biografi Feisal Tandjung (Feisal Tanjung, Terbaik Untuk Rakyat Terbaik Bagi ABRI), disebutkan mereka akan diberangkatkan untuk terjun ke front konfrontasi. Namun kompi mereka, yang dipimpin Tandjung, tak pernah berangkat (baca: Spektrum Politik di Seputar Kampanye Ganyang Malaysia).
Waktu Gerakan 30 September 1965 mereka masih berada di Jakarta. Pasukan mereka sempat baku tembak dengan pasukan dari Batalyon 454 Angkatan Darat pendukung G30S. Pasukan Sintong adalah pasukan yang merebut gedung Radio Republik Indonesia (RRI) di Merdeka Barat dari penguasaan pasukan G30S yang dipimpin Untung Syamsuri (baca: Nasib Buntung Lektol Untung). Dari Jakarta, pasukan ini kemudian bergerak ke Jawa Tengah dengan misi menggempur PKI.
Meski bukan anggota atau simpatisan PKI, Ignatius Dewanto menjadi salah satu perwira AURI yang apes. Menurut Suara Angkasa (edisi Juli 201), Dewanto ditahan beberapa bulan di kantor Pertahanan Udara Halim. Dia sempat jadi atase pertahanan di Moskow setahun. Sepulang dari sana, dia dipecat dengan hormat terhitung sejak 31 Maret 1967.
Ketika remaja, laki-laki kelahiran 9 Agustus 1929 yang dikenal dengan kumisnya ini pernah jadi Tentara Pelajar dan menjadi anak buah Slamet Riyadi waktu revolusi kemerdekaan. Setelahnya, dia dilatih di Taloa Academy of Aeronautics, California, sejak November 1950 dan kembali sebagai pilot tempur.
Dewanto dikenal atas aksinya merontokkan Angkatan Udara Permesta alias AUREV di sekitar Maluku. Dalam buku Indonesia Melawan Amerika Konflik PD 1953-1963 (2008), Baskara T. Wardaya menyebut Kapten Ignatius Dewanto menembak jatuh pesawat Bomber B-26 yang dipiloti Allan Lawrance Pope pada Minggu pagi 18 Mei 1958. Kegemilangan itu tertutupi oleh tuduhan bahwa ia terlibat G30S.
Dewanto meninggal dunia dalam kecelakaan udara ketika menerbangkan Piper PA-23 Aztec milik Sabang Merauke Raya Air Charter pada 1970.
Dokumen 10 Jakarta Embassy Files itu didahului dengan poin (1): “Berita dari Panglima Komando Regional Udara VII (Komodor S. Dono Indarto) menyatakan adanya keadaan yang kian genting, yang berintikan pada pertentangan antara partai Nasionalis/Agama dengan PKI.”
Mengenai kota Surakarta disebutkan dalam poin berikutnya: “Pada tanggal 23 Oktober (1965) telah dibentuk staf gabungan keamanan yang terdiri dari Angkatan Darat/Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI), yang dipimpin oleh Kolonel Infanteri Sarwo Edhi Wibowo, dengan tugas keamanan dan ketertiban umum dalam wilayah Surakarta dengan waktu yang secepat mungkin.”Dalam rangka tugas-tugas itu pihak AURI ikut serta. Termaktub dalam dokumen laporan mengenai bentrokan di Singosaren dan regu dari AURI berhasil mencegahnya. Namun bentrokan tidak hanya sekali saja terjadi.
Dokumen mencatat jumlah korban bentrokan. Pada 22 Oktober, 6 meninggal dan 35 terluka; 23 Oktober terjadi penculikan dan pembunuhan 14 orang dari golongan Nasionalis dan Agama di Kampung Sewu; 24 Oktober di Kartasura terdapat 21 orang korban dan di Benteng yang dikosongkan Batalyon K terdapat 6 orang mati terkubur.
Disebutkan pula pergerakan Batalyon K yang meninggalkan Solo pada 23 Oktober 1965 dan Batalyon M yang kemungkinan bergerak pada 27 Oktober 1965 — keduanya berasal dari Angkatan Darat.
Mengenai kegiatan AURI, dilaporkan bahwa pada 22 Oktober diadakan unjuk kekuatan pihak AURI dan RPKAD. AURI mengerahkan 1 peleton lengkap dan 2 pesawat (BT-13 dan pipercub) untuk survei udara sekaligus menyebar pamflet. Esoknya, dari survei udara, diketahui adanya konsentrasi 5 ribu massa menuju Boyolali. Setiap hari, personil AURI dilibatkan dalam patroli keamanan di kota.
“Untuk respons situasi yang gawat itu, Menteri Panglima Angkatan Udara (Marsekal Omar Dhani) memberikan perintah Operasi Waspada Pendahuluan yang mulai berlaku tanggal 27 Oktober (1965). Kekuatan yang dikerahkan: satu kompi Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dikerahkan ke Pangkalan Angkatan Udara Panasan; satu pesawat bomber ringan untuk dikerahkan ke PAU Panasan; menyiapkan pesawat angkut untuk mengangkut satu kompi PGT dari Hussein ke Panasan,” sebut dokumen itu.
Menurut Brad Simpson, “Dokumen ini yang dibuat Direktur Intelejen Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), memperlihatkan suatu yang tak lazim di dalam tubuh Angkatan Bersenjata, melaporkan kegiatan terkait Gerakan 30 September.”
Digambarkan bagaimana aktivitas prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di sekitar Surakarta yang diperlakukan sebagai zona perang oleh tentara karena populernya Partai Komunis Indonesia (PKI) di sana. Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD, memimpin langsung staf gabungan di sana.
Sebelum 1965, di Kandang Menjangan, Kartasura, yang kini masyhur sebagai markas Kopasus, sudah ada tangsi pasukan RPKAD. Perwira muda RPKAD kala itu — yang belakangan sukses menjadi petinggi militer juga tokoh nasional —antara lain: Letnan Satu Feisal Tandjung (belakangan Panglima ABRI); Letnan Dua Sintong Pandjaitan(belakangan sempat menjadi Panglima Kodam Udayana).
Pasukan RPKAD di Kartasura dan Surakarta itu sebelumnya hendak ditugaskan dalam agenda Konfrontasi Malaysia. Saat kampanye Konfrontasi Malaysia dihentikan, mereka pun menjadi ujung tombak menyisir anggota dan simpatisan PKI.
Dari biografi Sintong Panjaitan (Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando) dan biografi Feisal Tandjung (Feisal Tanjung, Terbaik Untuk Rakyat Terbaik Bagi ABRI), disebutkan mereka akan diberangkatkan untuk terjun ke front konfrontasi. Namun kompi mereka, yang dipimpin Tandjung, tak pernah berangkat (baca: Spektrum Politik di Seputar Kampanye Ganyang Malaysia).
Waktu Gerakan 30 September 1965 mereka masih berada di Jakarta. Pasukan mereka sempat baku tembak dengan pasukan dari Batalyon 454 Angkatan Darat pendukung G30S. Pasukan Sintong adalah pasukan yang merebut gedung Radio Republik Indonesia (RRI) di Merdeka Barat dari penguasaan pasukan G30S yang dipimpin Untung Syamsuri (baca: Nasib Buntung Lektol Untung). Dari Jakarta, pasukan ini kemudian bergerak ke Jawa Tengah dengan misi menggempur PKI.
Meski bukan anggota atau simpatisan PKI, Ignatius Dewanto menjadi salah satu perwira AURI yang apes. Menurut Suara Angkasa (edisi Juli 201), Dewanto ditahan beberapa bulan di kantor Pertahanan Udara Halim. Dia sempat jadi atase pertahanan di Moskow setahun. Sepulang dari sana, dia dipecat dengan hormat terhitung sejak 31 Maret 1967.
Ketika remaja, laki-laki kelahiran 9 Agustus 1929 yang dikenal dengan kumisnya ini pernah jadi Tentara Pelajar dan menjadi anak buah Slamet Riyadi waktu revolusi kemerdekaan. Setelahnya, dia dilatih di Taloa Academy of Aeronautics, California, sejak November 1950 dan kembali sebagai pilot tempur.
Dewanto dikenal atas aksinya merontokkan Angkatan Udara Permesta alias AUREV di sekitar Maluku. Dalam buku Indonesia Melawan Amerika Konflik PD 1953-1963 (2008), Baskara T. Wardaya menyebut Kapten Ignatius Dewanto menembak jatuh pesawat Bomber B-26 yang dipiloti Allan Lawrance Pope pada Minggu pagi 18 Mei 1958. Kegemilangan itu tertutupi oleh tuduhan bahwa ia terlibat G30S.
Dewanto meninggal dunia dalam kecelakaan udara ketika menerbangkan Piper PA-23 Aztec milik Sabang Merauke Raya Air Charter pada 1970.
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar