Oktober 2, 2017
Demo menentang kebangkitan PKI dan menolak Perppu Ormas pada 29 September 2017 di Jakarta
Ribuan orang dari kelompok garis keras melakukan demonstrasi di Jakarta pada 29 September lalu menentang kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah lama mati. Banyak kalangan menyebut gerakan tersebut sebagai gerakan yang didorong oleh politik.
Aksi protes yang diadakan di depan gedung DPR/MPR itu terjadi sehari sebelum peringatan 52 tahun pembubaran komunis di negara ini, yang menyebabkan pembunuhan lebih dari 500.000 orang setelah tujuh jenderal dibunuh.
Demonstrasi ini juga diyakini oleh banyak orang sebagai cara untuk membangun kesuksesan menyusul demonstrasi “212” yang berhasil mengirim Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama ke penjara.
Protes “212” mengacu pada 2 Desember tahun lalu ketika ribuan Muslim garis keras menuntut Ahok ditangkap karena tuduhan menista agama. Dia kemudian dijatuhi hukuman dua tahun penjara setelah dinyatakan bersalah menghina Alquran.
“Demonstrasi ini dilakukan sebagai peringatan bahwa PKI adalah ancaman laten,” kata Aminuddin, jurubicara demonstrasi tersebut kepada ucanews.com.
Seminggu sebelum demo, sebuah seminar yang diadakan di kantor pusat Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk membahas kejadian selama pembersihan komunis dibubarkan secara paksa oleh kelompok yang menyebut diri mereka anti komunis.
Namun Yaqut Qolil Qoumas, ketua GP Ansor – sayap pemuda Nahdlatul Ulama, menyebut isu kebangkitan PKI tidak masuk akal dan dipercaya bahwa ini digunakan oleh kelompok garis keras sebagai alat politik.
“Kami masih ingat bagaimana demonstrasi ‘212’ menyerang Ahok. Kini mereka menciptakan ketakutan di kalangan warga dengan menggunakan isu ini,” katanya. “Tidak ada agenda lain selain merebut kekuasaan.”
Bedjo Untung, korban pembersihan komunis, mengklaim bahwa kelompok Muslim garis keras bertujuan “menurunkan Presiden Joko Widodo” yang diserang dengan kampanye kotor selama pemilihan presiden tahun 2014 yang menuduhnya sebagai anak dari anggota PKI.
“Kita tahu presiden tidak ingin PKI bangkit lagi,” katanya.
Bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia, isu anti-komunisme telah menyebabkan penderitaan selama puluhan tahun karena stigma yang diciptakan terhadap mereka.
“Kami mengalami stigma karena dianggap penyebab pembersihan komunis,” kata Edward, seorang pengusaha Cina.
Setelah pembersihan komunis di tahun 1965, masyarakat Tionghoa terjebak dalam gelombang anti-komunisme yang mengakibatkan salah satu periode paling gelap dalam sejarah bangsa ini. Pada tahun 1967, Presiden Soeharto, mengeluarkan sebuah keputusan yang melarang perayaan Tahun Baru Imlek.
Menurut Asvi Warman Adam, seorang sejarawan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pilkada yang akan datang berada di balik isu kebangkitan PKI.
Pada bulan Juni 2018, setidaknya 17 provinsi, 39 kotamadya dan 115 kabupaten akan menyelenggarakan pemilihan Kepala daerah, termasuk di provinsi Bali.
“Komunisme, yang terkait dengan agama, adalah isu yang sangat menarik,” katanya.
Sebenarnya, beberapa kelompok radikal berhasil mendukung Anies Baswedan untuk memimpin perlawanan terhadap Ahok dalam pilkada Jakarta awal tahun ini.
“Sekarang mereka menggunakan isu anti-komunisme untuk menyerang Presiden Widodo,” katanya.
Pada bulan Mei 2019, negara ini akan mengadakan pemilihan presiden lima tahunan.
“Mereka menekankan bahwa PKI adalah setan. Ketika mereka mengatakan bahwa presiden adalah anak dari anggota PKI, kesimpulannya jelas: presiden adalah setan,” katanya.
Dia juga percaya bahwa partai politik berada di belakang kelompok radikal ini. “Jadi ini semua permainan politik,” katanya.
Sumber: UCA News
0 komentar:
Posting Komentar