Senin, 02 Oktober 2017

Penyesalan Pentolan PKI di Pengujung Eksekusi

Senin 02 Oktober 2017, 15:56 WIB | Aryo Bhawono - detikNews

M Iqbal

Jakarta - Mendekati hari eksekusi, Ketua I Biro Khusus PKI Supono Marsudidjojo menyesali aksi 30 September 1965 harus terjadi. Padahal ia sudah menyarankan kepada Ketua CC PKI DN Aidit untuk menunda operasi tersebut. Rupanya Aidit tak menghiraukan saran itu dan operasi tetap berjalan. Enam jenderal diculik dan dibunuh di Lubang Buaya, Jakarta.

Penyesalan Pono ini, menurut Andi Mappetahang (AM) Fatwa, pernah tercetus di dalam penjara Cipinang. 
"Dia (Pono) bilang sebenarnya Biro Khusus sudah menyarankan kepada kawan Aidit, supaya jangan meneruskan aksinya pada 1 Oktober atau 30 September dinihari 1965. Tetapi sayang kawan Aidit tetap meneruskan rencananya," kata Fatwa mengenang percakapannya dengan Pono ketika sama-sama menjadi penghuni LP Cipinang pada pertengahan 1980-an. Detik.com menjumpai Fatwa di kediamannya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2017) malam.
Buku Menguak Misteri Sejarah yang ditulis oleh sejarawan dari LIPI Asvi Warman Adam mencatat ada dua kelompok pimpinan persiapan Gerakan 30 September 1965. Pertama kelompok militer yang terdiri atas Letkol Untung, Latief, dan Sudjono. Sedangkan kelompok Biro Khusus yang merupakan orang-orang sipil antara lain terdiri dari Sjam Kamaruzzaman, Pono, dan Bono.
Dua kelompok ini beda pendapat soal aksi itu setelah Presiden Sukarno tidak menyetujui rencana PKI. Kubu militer ingin patuh kepada Presiden sedangkan Biro Khusus justru ingin terus melanjutkan. 
"Adanya dua kelompok inilah yang menunjukkan operasi gagak karena tidak ada satu komando," tulis Asvi.
Berbeda dengan Pono, Syam dan Bono yang sama-sama menghuni Cipinang tak pernah bercerita soal Gerakan 30 September 1965 itu kepada Fatwa. Percakapan di antara mereka lebih banyak berkuat ikhwal kehidupan sehari-hari. Syam, kata Fatwa, selalu mengaku dekat dengan kalangan ulama, dari merekalah ia terjun ke politik. Syam, Pono, dan Bono menjalani eksekusi mati pada 1986 di Kepulauan Seribu.
Beberapa narapidana politik asal PKI lainnya yang duduk sebagai pejabat teras partai tak dihukum mati. Pemerintah sengaja membiarkan mati secara alami di penjara, atau kemudian menghirup udara bebas seperti Kolonel Latief. "Ia sempat datang ke pernikahan anak saya," ujar Fatwa. (jat/jat)
Sumber: NewsDetik.Com 

0 komentar:

Posting Komentar