Reporter: Husein Abdulsalam | 20 Oktober, 2017
Pembakaran atribut dan material komunisme setelah peristiwa G 30S PKI. Foto/Arsip Gahetna
- Amnesty Internasional: Ini kesempatan bagi TNI ataupun pemerintah
Dibukanya arsip rahasia AS di sekitar peristiwa September 1965 dinilai sebagai momentum yang pas bagi pemerintah Indonesia untuk membuka dokumen pembanding.
Direktur Amnesty International Usman Hamid mempertanyakan alasan pemerintah Indonesia yang masih menutupi arsip serta dokumen-dokumennya terkait peristiwa 1965. Menurutnya, dibukanya arsip Badan Administrasi Rekaman dan Arsip Nasional AS (NARA) terkait peristiwa 1965 adalah momen yang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk menambahkan atau melengkapi fakta-fakta kebenaran kasus tersebut.
“TNI juga mempunyai pendokumentasian yang pasti rapi secara administrasi. Karena itu apabila ada bagian-bagian dokumen yang dikeluarkan NSA itu sebagai bagian yang keliru, sebenarnya ini kesempatan bagi TNI ataupun pemerintah Indonesia untuk menghadirkan dokumen yang diproduksi oleh pemerintah itu sendiri,” ungkap Usmar Hamid kepada Tirto.id di kantor Amnesty International, Jakarta, Jumat (20/10/2017).
Peneliti yang terlibat dalam International People’s Tribunal (IPT) 1965 Sri Lestari Wahyuningrum mengungkapkan penyelidikan terkait peristiwa 1965 hampir nihil melibatkan arsip yang disimpan oleh pihak pemerintah, baik dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) maupun TNI.
Hanya ada satu arsip yang menunjukkan rantai komando tentara yang ditemukan oleh peneliti genosida 1965 dari Yale University Jess Melvin. Itu pun dia menemukannya secara tidak sengaja di sebuah perpustakaan daerah.
“Maka dari itu dia bisa menyimpulkan bahwa (pembunuhan) di Aceh dan Sumatera Utara itu bukan hanya tersistematis dan struktur karena ada rantai komando tetapi juga dia membuktikan juga bahwa terjadi genosida terhadap etnis Tionghoa karena dalam dokumen-dokumen yang dia temukan ada nama-nama yang memang orang ini ditarget sebagai korban,” ujar Sri.
Pemerintah Indonesia bukannya belum pernah membuka arsip terkait pelanggaran HAM masa lalu. Usman menjelaskan dokumen terkait pencopotan Prabowo Subianto dari jabatan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) karena bertanggung jawab atas penculikan aktivis periode 1997-1998 sempat beredar pada 2014, menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres).
“Itu pun ada kegamangan dari pemerintah untuk mengakui surat itu benar atau tidak. Hanya Wiranto yang saat itu kebetulan (pada Pilpres 2014) mendukung Jokowi dan menjabat sebagai Panglima TNI saat (kejadian) berlangsung menyatakan bahwa dokumen itu benar,” ujar Usman.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid, Komnas HAM itu pernah mendapatkan dokumen dari TNI terakait pelanggaran HAM di Timor Timur dan Tanjung Priok.
“Sempat ada penolakan dari Wiranto, sebagai Menhankam/Panglima ABRI, tetapi Gus Dur segera mencopotnya dan menggantinya dengan yang baru. Langkah seperti itu yang dibutuhkan oleh presiden sekarang,” ujar Usman.
“TNI juga mempunyai pendokumentasian yang pasti rapi secara administrasi. Karena itu apabila ada bagian-bagian dokumen yang dikeluarkan NSA itu sebagai bagian yang keliru, sebenarnya ini kesempatan bagi TNI ataupun pemerintah Indonesia untuk menghadirkan dokumen yang diproduksi oleh pemerintah itu sendiri,” ungkap Usmar Hamid kepada Tirto.id di kantor Amnesty International, Jakarta, Jumat (20/10/2017).
Peneliti yang terlibat dalam International People’s Tribunal (IPT) 1965 Sri Lestari Wahyuningrum mengungkapkan penyelidikan terkait peristiwa 1965 hampir nihil melibatkan arsip yang disimpan oleh pihak pemerintah, baik dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) maupun TNI.
Hanya ada satu arsip yang menunjukkan rantai komando tentara yang ditemukan oleh peneliti genosida 1965 dari Yale University Jess Melvin. Itu pun dia menemukannya secara tidak sengaja di sebuah perpustakaan daerah.
“Maka dari itu dia bisa menyimpulkan bahwa (pembunuhan) di Aceh dan Sumatera Utara itu bukan hanya tersistematis dan struktur karena ada rantai komando tetapi juga dia membuktikan juga bahwa terjadi genosida terhadap etnis Tionghoa karena dalam dokumen-dokumen yang dia temukan ada nama-nama yang memang orang ini ditarget sebagai korban,” ujar Sri.
Pemerintah Indonesia bukannya belum pernah membuka arsip terkait pelanggaran HAM masa lalu. Usman menjelaskan dokumen terkait pencopotan Prabowo Subianto dari jabatan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) karena bertanggung jawab atas penculikan aktivis periode 1997-1998 sempat beredar pada 2014, menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres).
“Itu pun ada kegamangan dari pemerintah untuk mengakui surat itu benar atau tidak. Hanya Wiranto yang saat itu kebetulan (pada Pilpres 2014) mendukung Jokowi dan menjabat sebagai Panglima TNI saat (kejadian) berlangsung menyatakan bahwa dokumen itu benar,” ujar Usman.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid, Komnas HAM itu pernah mendapatkan dokumen dari TNI terakait pelanggaran HAM di Timor Timur dan Tanjung Priok.
“Sempat ada penolakan dari Wiranto, sebagai Menhankam/Panglima ABRI, tetapi Gus Dur segera mencopotnya dan menggantinya dengan yang baru. Langkah seperti itu yang dibutuhkan oleh presiden sekarang,” ujar Usman.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar