October 18, 2017 | Uni Lubis
Kawat diplomatik rahasia sajikan komunikasi rencana tentara jatuhkan Soekarno dan pembantaian massal
JAKARTA,
Indonesia – Apakah kali ini pemerintah tetap mengelak untuk membuka tabir
sejarah kelam Tragedi Gerakan 30 September (G30S) 1965?
Sebuah dokumen
rahasia berisi komunikasi kabel diplomatik AS tentang tragedi berdarah itu
dibuka ke publik oleh lembaga nirlaba National Security Archive (NSA), National
Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records
Administration (NARA). Dokumen dibuka pada 17 Oktober 2017.
Ada 39 dokumen rahasia pembantaian 1965 setebal 30.000 halaman yang merupakan
catatan Kedutaan Besar Amerika di Indonesia sejak tahun 1964 hingga 1968.
Dokumen mengungkap seputar pertikaian antara tentara dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang mengantar ke peristiwa yang disebut sebagai “pembantaian
massal”.
Sebagian dari
fakta mengenai peristiwa G30S ini sudah dibuka ke publik antaralain lewat
pengakuan saksi mata dan korban. Sebagian lagi lewat
kesaksian yang diungkap oleh mereka yang dianggap terlibat dalam peristiwa 1965.
Dokumen rahasia
AS ini membuka sebagian fakta lain yang selama ini ditutupi rapat-rapat.
Pada tanggal 21
Desember 1965 misalnya, ada kawat diplomatik dari sekretaris pertama kedubes AS
di Jakarta, Mary Vance Trent, yang ditujukan kepada Kementerian Luar Negeri AS.
Kawat diplomatik itu menggambarkan suasana yang terjadi pasca G30S,
“Sebuah perubahan yang fantastis yang terjadi dalam 10 pekan yang singkat.” Laporan itu juga menyebutkan sekitar 100.000 orang telah dibantai.
Kawat diplomatik
juga melaporkan, bahwa di Bali saja, sampai pertengahan Desember 1965, 10.000
orang dibunuh. Termasuk para orang tua dan keluarga jauh dari gubernur saat itu
yang dianggap pro komunis.
“Pembantaian terus berlanjut,” kata laporan itu.
Dua bulan
kemudian laporan lain dari Kedubes AS memperkirakan bahwa pembunuhan di Bali telah
meningkat jumlahnya sampai 80.000.
Saat pemerintah
menggelar simposium membahas peristiwa 1965, muncul kegaduhan di kalangan sesama tentara.
Berikut sejumlah
hal yang diungkapkan dalam dokumen rahasia AS mengenai Peristiwa 1965 itu.
Angkatan Darat hendak menjatuhkan
Presiden Soekarno
Dalam kabel
diplomatik Kedutaan Amerika untuk Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri
Amerika di Washington tanggal 12 Oktober 1965 disebutkan bahwa,
"Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara barat memberi tahu soal kemungkinan itu."
"Jika terlaksana, maka itu akan dilakukan dengan gerakan yang cepat tanpa peringatan dan Soekarno akan digantikan kombinasi junta militer dan sipil,” demikian diungkapkan dalam dokumen itu.
Dari negara-negara Barat, Angkatan Darat
mengharapkan bantuan ekonomi berupa makanan dan lainnya.
Disebut pula
tentang perkembangan pada 10 Oktober 1965, di mana Soekarno dikatakan menerima
pimpinan Angkatan Darat di Istana yang memberikan laporan soal keterlibatan PKI
pada kejadian 30 September. Soekarno menolak membaca dan memarahi mereka karena
menghina PKI. Para jenderal yang tidak disebutkan namanya itu kemudian
meninggalkan Soekarno dengan rasa jengkel.
Soekarno dan intrik permainan
Istana
Pada tanggal 7
Februari 1966, ada kawat dari Kedubes ke Kemenlu AS, yang ditulis satu bulan
sebelum transfer kekuasaan secara formal dari Soekarno ke Soeharto. Laporan ini
mengungkapkan adanya “permainan istana” yang dilakukan Soekarno dan pembantu
terdekatnya.
Mobilisasi massa besar-besaran sebagai cara menjatuhkan Soekarno tidak disarankan, dengan alasan akan memicu sikap apatis dari massa Indonesia, yang disebutkan dalam laporan itu, “menunjukkan ketidakinginan mereka bergerak tanpa senjata tentara di belakang mereka.”
Dokumen juga
menyebutkan tak tahu persis bagaimana pemindahan kekuasaan dilakukan. Ada
kekhawatiran bahwa para pemimpin tentara juga ditarik masuk ke intrik di istana
dan mungkin tak lagi mendukung penggantian Soekarno. Laporan ini menyajikan
analisa tentang keseimbangan kekuasaan saat itu.
Rencana membunuh Omar Dani
Dokumen juga
memaparkan, bahwa Sutarto, asisten Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani,
menyampaikan ke diplomat Amerika perlunya mengeksekusi pimpinan PKI dan
membunuh Omar Dani yang kala itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Udara
Indonesia. Itu tercatat dalam kabel dari Kedutaan untuk Kemenlu tanggal 18
Oktober 1965.
Sutarto
menyampaikan bahwa gejolak anti-PKI sudah merebak di Medan dan Makassar,
sementara Jawa Tengah sedang berada dalam situasi yang kacau. Aksi-aksi
anti-PKI ini dilaporkan dipimpin oleh "Angkatan Darat/kelompok
Muslim".
"Kita perlu menggantung Aidit, Nyoto, dan Lukman di Lapangan Banteng guna menunjukkan ke semua orang seperti apa sebenarnya mereka," kata Sutarto sebagaimana dikutip dalam dokumen tersebut.
Sutarto juga menyebutkan, "Omar Dani harus meletakkan jabatannya atau kita harus membunuh dia." Ada pejabat AU lain yang juga disebut harus dicampakkan, yakni Sri Muljono, Suryadarma, dan Abdoerachmat.
Peran Sjarif Thajeb untuk
diskreditkan Soekarno
Dalam laporan
tanggal 20 Januari 1967, ada percakapan antara staf Kedubes dengan Mayor
Jenderal Sjarif Thajeb. Disebutkan bahwa Sjarif mengatakan kendati butuh waktu
lebih lama dari yang diperkirakan oleh Soeharto untuk menyingkirkan Soekarno,
sebagaimana yang diharapkan Soeharto dan pada “hawks”, Soeharto berjanji akan
segera memformalkan transisi.
Soekarno diharapkan memberikan pidato di sidang MPRS dalam beberapa hari, di mana dia diperkirakan akan menafikan keterlibatan PKI dalam G30S. Sjarif menyarankan Soekarno disalahkan paling besar atas “Nekolim” (artinya termasuk CIA) and “teman tentara lokalnya”, dalam hal ini termasuk Nasution.
Menurut Sjarif,
hal ini akan kian memperkuat sikap tentara melawan Soekarno. Sjarif
merencanakan menggunakan momentum ini untuk bergerak melawan Soekarno dan
memperkirakan bakal terjadi pertumpahan darah jika Soekarno bersikeras
bertahan.
Adnan Buyung turut melemahkan PKI
dan Soekarno
Dalam laporan
diplomatik rahasia juga disebutkan Jaksa Adnan Buyung Nasution yang ketika itu
berusia 31 tahun, ikut membantu penghancuran PKI. Dalam perbincangannya dengan
Sekretaris Kedua Kedutaan Amerika Robert Rich, Buyung mengusulkan untuk terus
mengejar komunis guna melemahkan kekuatan PKI.
Dokumen itu
mengungkapkan Adnan Buyung juga mengusulkan agar fakta pembantaian ribuan
komunis disembunyikan dari Soekarno.
"Pembantaian oleh tentara harus tetap dirahasiakan dan masifnya represi tentara terhadap PKI harus dijauhkan dari Soekarno," kata Buyung seperti ditulis telegram Kedutaan Amerika untuk Kemenlu tanggal 23 Oktober 1965.
Menurut data
laporan itu, Buyung disebutkan dua kali mendatangi Kedutaan untuk berdiskusi
yakni pada 15 dan 19 Oktober 1965, dan menyampaikan informasi lainnya.
"Beberapa elemen tentara berencana membebaskan pimpinan Masjumi dan PSI
yang dipenjara sejak pemberontakan PRRI.”
Dalam biodatanya
Buyung disebutkan sebagai asisten pribadi jaksa agung sejak 1964 dan pernah di
intelejen kejaksaan. Pada 1961, Buyung adalah perwakilan kejaksaan yang
bertanggung jawab pada perencanaan keamanan bagi Jaksa Agung Robert Kennedy
yang akan berkunjung ke Indonesia.
Kerusuhan rasial menyasar etnis
Tionghoa
Tahun itu, propaganda
anti-PKI diusung Angkatan Darat. Nuansa sentimen anti-Tionghoa juga meluas di
Sulawesi, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Warga Indonesia keturunan Tionghoa
menjadi korban kekerasan dan dituding adalah pendukung, bahkan, anggota PKI.
Telegram Kedutaan
untuk Kemenlu 12 November 1965 menyebutkan, "90% toko-toko milik orang
Tionghoa di Makassar dijarah dan dihancurkan pada kerusuhan 10 November yang
dilakukan hampir seluruh penduduk." Bahkan lebih jauh lagi, alat-alat
produksi milik orang Tionghoa diambil paksa tentara.
Dalam kabel
diplomatik untuk Kemenlu pada 7 Desember 1965 memuat informasi bahwa aset orang
Tionghoa disita tentara. Menteri Pertanian Sudjarwo mengumumkan bahwa
penggilingan beras dan pabrik tekstil orang Tionghoa diambil alih militer
masing-masing wilayah.
Permintaan bantuan oleh Tentara
ke AS
Dalam sebuah laporan, disebutkan bahwa pada 23 Oktober 1965 ada surat dari dari Norman Hannah, penasihat politik dari komandan militer AS untuk Asia Pasifik (CINCPAC), kepada Dubes Marshal Greeen, menanyakan bagaimana CINCPAC dan AS harus merespon terhadap,”kemungkinan yang beralasan bahwa Tentara Indonesia akan meminta bantuan melawan PKI.”
Dia berspekulasi
bahwa permintaan itu bisa melibatkan apa saja termasuk transportasi, uang,
peralatan komunikasi, bahkan senjata.
Sepekan kemudian,
Dubes Green meminta Pemerintahan Presiden Johnson saat itu mengeksplorasi
kemungkinan pemberian bantuan jangka pendek secara rahasia, tanpa atribusi,
sebagai tanda dukungan AS terhadap tentara, yang termasuk di dalamnya adalah
berupa uang, peralatan komunikasi dan senjata
Kader PKI mengaku tidak tahu yang
terjadi
Telegram Kedutaan
ke Kemenlu 20 November 1965, menggambarkan bahwa kader-kader PKI tidak mengerti
apa yang terjadi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Informasi didapat diplomat
Amerika dari seorang jurnalis Australia yang dapat dipercaya.
Jurnalis itu disebutkan sebagai jurnalis Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah, yakni pada 10 Oktober 1965. "Dia berbicara dengan kader-kader PKI di beberapa tempat di Jawa Tengah," demikian laporan itu.
Informasi ini
dikuatkan oleh Konsuler Politik Kedutaan Yugoslavia yang mengatakan terlibat
kontak secara rutin dengan aktivis PKI. Para aktivis tidak panik dan tetap
percaya Soekarno akan melindungi mereka.
"Mereka tidak akan bertindak tanpa perintah Soekarno," ujar sang diplomat.
Jihad membantai ribuan orang di
daerah
Pada 26 November
1965 ada laporan dari Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya menyebutkan tentang
pembantaian di berbagai wilayah di Jawa Timur oleh Ansor. Di Tulungagung
setidaknya 15.000 komunis dibunuh.
"Pembantaian
diwarnai dengan Perang Suci (jihad): membunuh kafir akan memberi tiket ke surga
dan jika darah korban diusapkan ke wajah, maka akan lebih terjamin (masuk
surga)," demikian laporan tersebut.
Angkatan Darat persenjatai Hansip
untuk bunuh PKI
Laporan itu juga
menyebutkan selain kelompok-kelompok Islam, Angkatan Darat juga mempersenjatai
pertahanan sipil atau hansip sebagai dukungan memerangi PKI. Dalam laporan
Konsulat Jenderal Amerika di Medan menyebutkan hal itu dilakukan untuk
meningkatkan peran pengawasan di kota maupun pedesaan.
"Ketika ini dilaksanakan, rantai komando militer bertambah luas hingga setiap desa yang ada di Sumatera," tulis laporan tersebut.
Tak sampai di
situ, pemuda yang berusia 8-13 tahun diwajibkan ikut Pramuka yang dikontrol
tentara. "Secara singkat, Sumatera dengan cepat berubah menjadi tanah
tentara."
Rappler mencoba
menghubungi Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto, Rabu pagi, 18 Oktober 2017. Sampai
tulisan ini diterbitkan, belum ada tanggapan.
Sumber: Rappler.Com
0 komentar:
Posting Komentar