BBC Indonesia - detikNews | Jumat 20 Oktober 2017, 15:22 WIB
Jakarta - Penguakan sejumlah dokumen berklasifikasi rahasia Amerika Serikat ke publik dilihat oleh Pemerintah Indonesia sebagai awal untuk bisa melihat tragedi 1965 secara utuh.
Bagaimanapun informasi dalam dokumen tersebut masih akan dipelajari lebih lanjut, tegas Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, di kantornya, Kamis, 19 Oktober 2017.
"Dari manapun (dokumen) yang muncul tentunya tidak serta-merta dokumen itu kemudian kita jadikan suatu bagian dari proses penyelidikan,"
Menurut Wiranto, pemerintah perlu mengkaji atau mempelajari dokumen diplomatik tersebut sebelum meyakini yang disebutkan di situ, "Tentu perlu suatu upaya untuk meyakini betul apakah informasi-informasi yang beredar di luar negeri itu layak untuk dijadikan suatu bagian pembuktian-pembuktian."
Lembaga nonprofit Amerika National Security Archive (NSA) dan National Declassification Center (NDC) bersama National Archives and Records Administration (NARA) menguak 39 dokumen, yang merupakan catatan korespondensi Kedutaan AS di Jakarta dengan Kementerian Luar Negeri periode 1964-1968.
Data dan fakta yang ada di dalamnya menguak sebagian tabir yang selama ini masih tertutup rapat dalam sejarah Indonesia. Misalnya plot Angkatan Darat menjatuhkan Soekarno, ide untuk menghabisi Panglima Angkatan Udara Omar Dani, hingga pembunuhan massal, dan tragedi kemanusiaan bernuansa rasial.
Bagi korban tragedi tersebut, dokumen ini membuat mereka berharap pemerintah Amerika Serikat mengakui, meminta maaf, dan membayar ganti rugi bagi korban akibat keterlibatan mereka. Para korban meyakini AS terlibat dalam mendukung Angkatan Darat memobilisasi dan membasmi Partai Komunis Indonesia.
Sementara Letjen (Purn) Agus Widjojo berpendapat peristiwa 1965 bisa dilihat dari pertarungan global yang memang saat itu terjadi antara blok Barat yang digawangi Amerika, dengan blok Timur yang digawangi Uni Sovyet.
"Amerika punya kepentingan membangun benteng mencegah menjalarnya komunisme. Itu yang mereka lakukan," kata Gubernur Lembaga Ketahanan Masyarakat ini.
Kampanye menghadang kekuatan komunis kemudian yang berbuah tragedi kemanusiaan. Beberapa catatan menyebutkan jumlah korban akibat 'perang melawan komunis' di Indonesia antara 500.000 hingga satu juta jiwa. Para korban umumnya tidak mengetahui apa yang terjadi.
Masih ada lagi orang-orang yang ditahan dan dipenjara tanpa pengadilan.
Seperti yang ditulis dalam telegram Kedutaan Amerika Serikat ke Kemenlu pada 20 November 1965, digambarkan bahwa kader-kader PKI kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Informasi tersebut didapat diplomat Amerika Serikat dari seorang jurnalis Australia yang dapat dipercaya.
Si jurnalis yang disebutkan adalah jurnalis Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah, yakni pada 10 Oktober 1965.
"Dia berbicara dengan kader-kader PKI di beberapa tempat di Jawa Tengah," tulis laporan itu. Informasi serupa juga didapat dari Kedutaan Yugoslavia di Jakarta.
Sri Sulistyawati adalah salah satu contohnya yang tidak tahu menahu tentang kondisi politik saat itu. Mantan wartawan yang bertugas di Istana Kepresidenan ini menjadi tahanan politik dan mendekam di Bukit Duri hingga 1979. Sri ketika pembunuhan enam jenderal pada 30 September 1965 sedang berada di Langsa, Aceh dan baru balik ke Jakarta 3 Oktober 1965.
"Saya waktu itu ikut safari Kabinet Dwikora sama Pak Subandrio (Wakil Perdana Menteri I Republik Indonesia)," kata Sri kepada BBC Indonesia. Sekembalinya ke Jakarta, Sri kebingungan. Hingga akhirnya ia dicokok tentara dan disiksa sebelum dijebloskan ke penjara.
Perempuan yang kini berusia 77 tahun meyakini Amerika Serikat terlibat dalam pembantaian massal terhadap para korban tragedi 1965 tersebut, termasuk mengadu domba bangsa Indonesia.
"Kami, para korban, menuntut Amerika meminta maaf dan memberikan ganti rugi atau kompensasi bagi korban," kata dia.
"Jika Belanda bisa di Rawagede, seharusnya mereka juga."
Sri berharap penguakan dokumen demi dokumen bisa membuka tabir gelap yang selama ini menyelimuti tragedi 1965. Fakta-fakta baru yang diungkap bisa menjadi pembanding bagi publik yang selama ini hanya dijejali narasi yang seragam dari penguasa. "Mudah-mudahan," pungkas Sri.
Anggota Senat Amerika Serikat, Tom Udall, tak menyangkal kemungkinan yang diharapkan Sri tersebut. Dalam pernyataan di situs resminya, Udall menyampaikan bahwa penguakan dokumen itu adalah langkah penting untuk membuka sejarah kelam pada abad ke-20 itu.
"Pembantaian hingga satu juta orang Indonesia pada 1965 dan 1966 adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Korban dari kampanye pembantaian massal ini pantas mendapatkan keadilan dan pengakuan," ujar Udall seperti dilansir situs resminya.
"Indonesia dan dunia juga layak mendapatkan kebenaran."
0 komentar:
Posting Komentar