21/10/2017
| Fathiyah Wardah
AS Rilis 30 Ribu Dokumen Bukti AS Tahu
Detil Pembunuhan Massal 1965
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia
Usman Hamid mengatakan publikasi dokumen rahasia Amerika itu bisa menjadi
momentum baru bagi pemerintah Indonesia dalam membuka kembali peristiwa
pembunuhan massa terjadi selama 1965-1966.
JAKARTA — Sebanyak 245 halaman dari 39 dokumen rahasia Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Jakarta pada periode 1964-1968 dipublikasikan
secara terbuka pada 17 Oktober lalu.
Dokumen
tersebut mengungkap sejumlah fakta ihwal tragedi pembantaian ratusan ribu
anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam dokumen itu antara
lain disebutkan tentara Angkatan Darat terlibat dalam rencana penggulingan
Presiden Soekarno setelah Gerakan 30 September 1965.
Angkatan
Darat juga mempersenjatai anggota pertahanan sipil (Hansip) di kampung-kampung
untuk mengawasi pergerakan pendukung PKI dan memperluas rantai komando hingga
ke pelosok desa. Mereka melibatkan organisasi keagamaan dalam pembantaian
massal pada 1965-1966.
Dalam
jumpa pers di kantornya, Jumat (20/10), Direktur Eksekutif Amnesty
International Indonesia Usman Hamid menjelaskan publikasi dokumen rahasia
Amerika itu bisa menjadi momentum baru bagi pemerintah Indonesia dalam membuka
kembali peristiwa pembunuhan massa yang terjadi selama 1965-1966. Selama ini,
lanjutnya, usaha-usaha resmi dari pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan
masalah ini mengalami kendala besar.
Pertama,
kata Usman, usaha untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang
berakhir dengan undang-undang tentang KKR dan pembatalan pembentukan KKR pada
2006.
Menurut
Usman, usaha paling terakhir adalah upaya untuk mendorong proses rekonsiliasi
melalui simposium nasional yang digelar April tahun lalu di Jakarta. Usaha ini
sempat ditindaklanjuti dengan mencari tempat-tempat yang diduga menjadi kuburan
massal korban pembunuhan pada 1965-1966 dan mencoba mencari kesaksian-kesaksian
terkait peristiwa saat itu.
Usaha lainnya datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) yang menyelidiki peristiwa-peristiwa yang dianggap atau diduga
merupakan kejahatan 1965-1966. Penyelidikan Komnas HAMini sudah selesai dan
laporannya telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan pemerintah. Namun tindak
lanjut dari laporan tersebut sampai sekarang belum ada hasilnya.
Karena itu, tambah Usman, pembukaan dokumen rahasia Amerika itu
sangat penting artinya untuk menambah bahan informasi untuk pemerintah
Indonesia, bagi lembaga Indonesia, seperti Komnas HAM , dalam mengumpulkan
fakta-fakta tentang peristiwa pembunuhan massal selama 1965-1966.
"Yang penting dari dokumen-dokumen itu adalah penggambaran tentang bagaimana pembunuhan itu terjadi, bagaimana tindakan pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau orang-orang dituduh PKI itu dilakukan. Siapa saja yang terlibat, bagaimana tentara Indonesia terlibat, hingga bagaimana pemerintah Amerika sendiri juga terlibat di dalam peristiwa ini," kata Usman.
Usman menambahkan Amnesty International Indonesia meminta
pemerintah melalui jalur diplomatik, baik secara bilateral dengan Amerika
maupun melalui kerja-kerja sama spesifik, kerja sama pertahanan, keamanan, atau
kerja sama militer, untuk memperoleh dokumen-dokumen itu secara resmi dan digunakan
sebagai arsip Indonesia dan pembelajaran sejarah.
Lebih penting dari itu lanjut Usman dokumen itu dapat dipakai
sebagai usaha untuk mencari kebenaran yang seutuhnya tentang Peristiwa
1965-1966 dan menghadirkan keadilan bagi keluarga korban dan mereka yang
menjadi korban dalam peristiwa tersebut.
Usman menekankan langkah itu perlu ditempuh karena butuh ada
perbandingan sekaligus penyandingan antara data-data yang ada di Indonesia dan
luar negeri. Tentu saja temuan-temuan dari negara lain yang saat itu banyak
memiliki informasi mengenai peristiwa 1965-1966 menjadi sangat penting. Selain
data dari kelompok masyarakat sipil dan kajian-kajian ahli sejarah.
Sri Lestari Wahyuningroem dari Yayasan IPT (Pengadilan Rakyat
Internasional) 1965 mengungkapkan 39 dokumen tersebut telah menjadi
pertimbangan hakim dalam IPT 1965 yang digelar di Belanda pada Juli tahun lalu
karena ada keterlibatan negara-negara lain dalam pembantaian massal selama
1965-1966.
Sri menambahkan Yayasan IPT 1965 merekomendasikan kepada Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki ulang mengenai kejahatan
kemanusiaan dan genosida selama Peristiwa 1965-1966 . Karena itu pihaknya
meminta pemerintah mengambil langkah nyata sebagai bagian dari penyelesaian
berkeadilan bagi hak korban, penyintas, baik secara yudisial maupun
non-yudisial.
"Pintu masuk atau jalan utama yang kami minta adalah lewat
pengungkapan kebenaran. Mau penyelesaian yudisial atau non-yudisial, menurut
kami, dasar utamanya adalah ada pengungkapan kebenaran dulu. Tanpa itu tidak
mungkin ada proses-proses kelanjutan lainnya," kata Sri.
Feri Kusuma dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS) meminta Presiden Joko Widodo untuk menginstruksikan kepada
Jaksa Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan dari Komisi Nasional HAM.
Sebelumnya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan akan
meminta penjelasan pemerintah Amerika perihal kebenaran dokumen Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Jakarta berkaitan dengan kasus pembantaian anggota Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Wuryanto belum
merespon telpon dari VOA untuk dimintai komentar perihal ini.
Sebanyak 39 dokumen dipublikasikan atas permintaan dari lembaga
nirlaba National Security Archive di The George
Washington University, Amerika Serikat. Kebanyakan berupa surat kawat
(telegram), laporan mingguan Kedutaan kepada kementerian Luar Negeri Amerika,
serta sebuah laporan situasi terbaru dari Direktur Intelijen Angkatan Udara
Indonesia.
Sebuah telegram bertanggal 22 Desember 1965 dari Konsulat
Amerika di Surabaya kepada Kedutaan Amerika di Jakarta misalnya, menyebutkan
Angkatan darat kerap menyerahkan tahanan PKI ke organisasi massa Islam untuk
dibunuh. Tiap malam di pasuruan, Jawa Timur, 110-115 orang dibantai. Para
korban pembantaian ini bagian dari sekitar 500 orang bernasib sama selama
periode 1965-1966.
Telegram lain bertanggal 9 Januari 1967 menyatakan keinginan
tentara untuk menggulingkan Soekarno yang dituding membela PKI. Mayor Jenderal
Sjarif Thayed, kala ini menjadi konsultan politik Soeharto, sempat mendatangi
Kedutaan Amerika. Sjarif mengatakan Soeharto (saat itu menjabat Menteri Panglima
Angkatan Darat) bertekad menggulingkan Soekarno.
Sjarif meyakinkan kedutaan Amerika, Soeharto akan menjadi
presiden setidaknya pada Maret 1967. Sjarif dan rekan-rekannya di Angkatan
Darat merancang situasi agar reputasi Soekarno buruk di mata parlemen.
Pernyataan Sjarif itu
terbukti. Sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat digelar pada Maret
1967 menolak pertanggungjawaban Soekarno dan selanjutnya menetapkan Soeharto
sebagai presiden. Beberapa tahun kemudian, Sjarif Thayeb diangkat menjadi Duta Besar
Indonesia untuk Amerika. [fw/em]
Sumber: Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar