24 Oktober 2017
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan perlu diadakan simposium lanjutan untuk membedah peristiwa 1965. Terutama setelah beberapa dokumen rahasia Amerika dikuak ke publik.
Anggota Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron menilai 'Simposium Nasional: Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan' pada April tahun lalu adalah langkah maju.
Terutama dalam hal mempertemukan dua kubu yang berseberangan.
"Tetapi perlu ada perwakilan dari TNI yang berbicara," kata Nurkhoiron usai menerima pengaduan dari beberapa anggota Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965, di kantornya, Selasa (24/10).
Alasannya karena TNI adalah pihak yang paling banyak disebut dalam tragedi 1965. Kehadiran dan keterlibatan sejumlah purnawirawan TNI dalam simposium tersebut, menurut Nurkhoiron, bukan merupakan representasi TNI. "Seharusnya panglimanya yang diundang," kata dia.
Dibukanya sejumlah dokumen diplomatik Amerika periode 1964-1968 ke publik juga dinilai bisa memberikan angin segar penguakan sejarah 1965. "Itu merupakan bukti baru," kata Untung Bedjo, Ketua YPKP.
Menurut Bedjo, selama ini teks dan dokumentasi sejarah 1965 melulu adalah narasi tunggal rezim Orde Baru. Ia meminta Komnas HAM untuk memasukkan dokumen diplomatik Amerika dijadikan sebagai bukti tambahan.
Desakan yang sama terkait dokumen rahasia itu juga dilontarkan Amnesty International Indonesia. "Komnas HAM harus proaktif menggunakan arsip itu," kata Usman Hamid, Direktur AI Indonesia.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo sepakat tragedi 1965 harus diselesaikan dan dikuak agar Indonesia terlepas dari beban sejarah gelap masa lalu. Oleh karena itu, Agus mengusulkan rekonsiliasi antarkubu yang bertikai.
TNI sendiri belum bisa dimintai tanggapan soal usul diadakannya simposium 1965 lanjutan. Tetapi Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Wuryanto sebelumnya menegaskan bahwa TNI tidak akan mengubah sejarah yang ada.
Dikuaknya sejumlah informasi baru seputar 1965 dari dokumen rahasia Amerika juga tak mengubah pandangan dan sikap TNI soal tragedi itu. "Kami akan tetap berpedoman pada hasil Mahkamah Militer Luar Biasa dan saksi-saksi sejarah saat itu," ujar Wuryanto.
Menurut Nurkhoirun, dikuaknya dokumen rahasia Amerika menjadi sesuatu yang menguntungkan karena mengundang perdebatan soal tragedi 1965. "Tetapi sekali lagi, itu hanya bisa dijadikan petunjuk," kata dia. "Perlu dokumen otentik untuk dijadikan bukti hukum."
Untuk membuktikan pelanggaran HAM berat pada tragedi 1965 perlu adanya bukti bahwa itu sistematis dan meluas. Dan guna membuktikan adanya rantai komando pembantaian, kata Nurkhoiron, diperlukan dokumen lain soal itu.
Menurut Nurkhoiron, dokumen rahasia Amerika itu harusnya ditindaklanjuti Kejaksaan Agung sebagai penyidik pelanggaran HAM.
"Komnas HAM sudah selesai dengan penyelidikan meski berkasnya dikembalikan Kejaksaan Agung," ujarnya.
Dikembalikannya berkas pelanggaran HAM berat tragedi 1965 di antaranya karena kurangnya beberapa berkas. Antara lain sumpah dari saksi yang di-BAP, hingga bukti visum para korban.
Sumber: BBC Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar