Agus Lukmari | Selasa, 17 Okt 2017 21:30 WIB
Dokumen kabel diplomatik Amerika Serikat soal tragedi pasca 1965 kembali dibuka ke publik oleh National Security Archive (NSA). Laporan itu berisi pelbagai surat rahasia, termasuk peran Adnan Buyung
Tentara menangkap anggota PKI pada Oktober 1965. (Sumber: NSA)
Jakarta – Setelah 52 tahun pasca-Gerakan 30 September 1965, lembaga riset nonpemerintah National Security Archive Amerika Serikat membuka dokumen rahasia yang mereka miliki terkait peristiwa kelam yang terjadi sesudah tragedi di Indonesia tersebut.
Dalam dokumen itu tercatat sejumlah pembantaian massal mengatasnamakan perlawanan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), organisasi yang dianggap mendalangi pembunuhan jenderal pada peristiwa Gerakan 30 September. Dalam laporan yang kami sebutkan di bawah, nama Soeharto ternyata yang mendukung atau memerintahkan pembunuhan massal terhadap anggota PKI.
Pembunuhan massal terjadi di berbagai daerah, dari Medan Sumatera Utara hingga Nusa Tenggara Timur antara tahun 1965-1966. Sejumlah dokumen juga menyebutkan bagaimana peran Angkatan Bersenjata Indonesia dalam pembunuhan massal itu, dengan melibatkan ormas keagamaan di Indonesia.
National Security Archive menyebutkan berdasarkan dokumen telegram rahasia yang dikirimkan sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 itu, terjadi pembunuhan massal terhadap sekitar 500 ribu orang yang diduga terlibat organisasi PKI, serta pemenjaraan terhadap jutaan orang yang dianggap pendukung komunis di Indonesia.
Peristiwa pembantaian massal itu ‘direkam’ oleh Kedutaan Besar AS di Jakarta, melalui telegram rahasia dari Kedubes AS di Jakarta itu untuk pemerintahan AS.
Dokumen itu dinyatakan tidak lagi rahasia (deklasifikasi) mulai Selasa, 17 Oktober 2017 pukul 09.00 waktu Amerika Serikat.
Deklasifikasi dilakukan oleh Pusat Deklasifikasi Nasional (National Declassification Center), sebuah divisi dari lembaga pemerintah AS National Archives and Records Administration (NARA) bekerjasama dengan National Security Archive, sebuah lembaga nonprofit di bidang kajian deklasifikasi dokumen, dan berperan penting dalam memindai dokumen-dokumen tersebut menjadi dokumen digital, supaya bisa diakses publik.
KBR menerima dokumen tersebut dari Bradley Simpson, salah satu peneliti di National Security Archive. Di lembaga itu, Brad Simpson memimpin proyek kajian dokumen khusus terkait Indonesia dan Timor Leste. Brad Simpson juga merupakan profesor sejarah dan kajian Asia di Universitas Connecticut, AS.
Dalam rilis NSA, disebutkan bahwa pelepasan dokumen ke publik tersebut untuk menjawab banyaknya pertanyaan publik mengenai peristiwa pembunuhan massal pada 1965-1966, sekaligus menjawab permintaan dari kalangan LSM pegiat hak asasi manusia di Amerika Serikat maupun Indonesia supaya pemerintah AS membuka dokumen terkait peristiwa 1965.
Jumlah yang dibuka hanya sebagian kecil dari total 30 ribu halaman dokumen rahasia yang terekam Kedubes AS di Jakarta, sejak 1964-1968. Masih ada ratusan dokumen dinyatakan rahasia, dan baru akan dikeluarkan lagi sebagian pada awal 2018 mendatang.
Perburuan Dimulai
Telegram rahasia tanggal 18 Oktober 1965 berisi catatan pembicaraan antara staf Kedubes AS (Emboff/Embassy Officer) dengan Sutarto, staf khusus Roeslan Abdulgani. Disebutkan bahwa aksi anti-PKI meluas hingga Medan Sumatera Utara hingga Makassar Sulawesi Selatan. Sedangkan di Jawa Tengah kondisi saat itu dilaporkan bergejolak dan kacau.
Menurut Sutarto, aksi anti-PKI itu dipimpin kelompok militer atau kelompok Islam. Salah satu yang diperkirakan menjadi target sasaran massa anti-PKI, adalah rumah Subandrio, pejabat di pemerintahan Soekarno yang saat itu dianggap terlibat G30S.
Perlawanan militer Indonesia khususnya Angkatan Darat terhadap PKI mendapat dukungan dari kelompok moderat, baik intelektual maupun kelompok keagamaan. Hal itu tergambar dari telegram Kedubes AS tanggal 23 Oktober 1965, yang berisi percakapan antara Sekretaris Kedubes AS Robert Rich dengan asisten Jaksa Agung Adnan Buyung Nasution dalam dua kesempatan berbeda. Adnan Buyung---akademisi dan aktivis HAM---bahkan meminta Kedubes AS membantu mencarikan bukti dugaan keterlibatan Subandrio dengan PKI maupun Partai Komunis China.
Menurut Adnan Buyung, Tentara Indonesia telah mengeksekusi banyak anggota PKI, namun fakta itu harus dirahasiakan terutama terhadap Soekarno. Saat itu kekuasaan Soekarno sebagai Presiden seperti lumpuh.
Perburuan terhadap simpatisan PKI terekam antara lain dalam telegram Kedubes AS tanggal 1 November 1965. Dalam telegram itu, Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green melaporkan ada sekitar 600 orang anggota atau simpatisan PKI ditangkap dan dipenjara di Sumatera Selatan---termasuk pengurus organisasi buruh SOBSI yang bekerja di perusahaan Shell, Stanvac dan pabrik pupuk PUSRI.
Begitu juga puluhan orang dari Persatuan Buruh Minyak (PERBUM) yang dianggap komunis, diangkut dengan truk dari kilang minyak Plaju dan Prabumulih. Data itu berdasarkan kunjungan Atase Tenaga Kerja AS ke Sumatera Selatan, terutama untuk mengetahui kondisi perusahaan asing yang berada di Sumatera.
Kondisi dilaporkan kian genting di wilayah Jawa Tengah, khususnya Solo yang saat itu dianggap sebagai salah satu basis PKI. Kedubes AS mendapat salinan laporan rahasia dari intelijen Angkatan Udara Indonesia yang dikeluarkan 29 Oktober 1965, hampir satu bulan pasca-G30S.
Laporan rahasia intelijen itu menyebutkan tingginya pertentangan antara partai-partai nasionalis serta partai agama terhadap PKI. Aksi demonstrasi meningkat hingga tentara (ABRI) membentuk Staf Gabungan Keamanan untuk mengendalikan situasi. Aksi massa berujung pada penculikan tewasnya puluhan orang dalam kurun waktu tiga hari (22-24 Oktober 1965), dari kelompok pro maupun anti-PKI.
Sepekan kemudian, telegram Kedubes AS pada 4 November menyebutkan adanya peningkatan aksi pembersihan PKI di sejumlah wilayah di Jawa, khususnya di kampung-kampung yang dianggap menjadi basis PKI di Surabaya dan Blitar, Jawa Timur.
ABRI juga mengisolasi daerah-daerah yang diduga menjadi basis PKI seperti Madiun, Pacitan dan Ponorogo. Menurut media ABRI, wilayah-wilayah itu dijaga ketat untuk mencegah masuknya simpatisan PKI dari Solo maupun Wonogiri. Tentara melalui kepala daerah yang anti-PKI mendesak Soekarno untuk membubarkan PKI dan membekukan aset-aset mereka. Anggota atau simpatisan PKI yang menjadi pemimpin disingkirkan dari Front Nasional---institusi kenegaraan yang dibentuk Presiden Soekarno pasca-Dekrit Presiden 1959. (Bersambung)
Sumber:KBR.ID
0 komentar:
Posting Komentar