Reporter: Petrik Matanasi | 20 Oktober, 2017
Pembakaran atribut dan material komunisme setelah peristiwa G 30S PKI. Foto/Arsip Gahetna
Pembantaian di Bone disebut dalam arsip rahasia yang baru saja dibuka Amerika.
Sebuah kawat dari Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta kepada Washington menyebutkan adanya kerusuhan di Sulawesi Selatan. Kawat bertanggal 12 November 1965 itu menyinggung laporan seorang pemuka Kristen-Protestan bahwa toko-toko milik peranakan Cina di Makassar menjadi sasaran pengrusakan. Amuk massa terjadi di tengak kampanye pengganyangan segala hal terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menurut Brad Simpson, dokumen tersebut adalah telegram Duta Besar Amerika untuk Indonesia Marshall Green tentang gambaran umum situasi politik dan keamanan di Sulawesi, Jawa Tengah dan Jawa Timur terkait pembasmian PKI oleh tentara dan sekutunya. Pembasmian itu, di beberapa daerah, berkembang menjadi mirip kerusuhan etnis dan rasialis.
Bukan tanpa prakondisi warga peranakan menjadi sasaran. Salah satu narasi yang berkembang terkait G30S adalah keterlibatan dan partisipasi Republik Rakyat Cina pimpinan Mao Zedong dalam aksi penculikan para jenderal Angkatan Darat. Warga peranakan Cina, berikut propertinya, yang sebenarnya tidak berhubungan dengan itu pun menjadi sasaran kemarahan (baca: Sejarah Diskriminasi Orang Cina di Indonesia).
“Pemuka Kristen Protestan Sulawesi yang tiba di Jakarta hari ini melaporkan 90 persen toko-toko Tionghoa di Makassar diserang dan isinya dihancurkan pada 10 November 1965, yang mana melibatkan hampir seluruh penghuni kota,” aku Marshall Green dalam kawat telegram diplomatik rahasia itu (Source: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 5 pol 23-9 Sept 30th Mvt Nov 10-19 1965).
Menurut Brad Simpson, dokumen tersebut adalah telegram Duta Besar Amerika untuk Indonesia Marshall Green tentang gambaran umum situasi politik dan keamanan di Sulawesi, Jawa Tengah dan Jawa Timur terkait pembasmian PKI oleh tentara dan sekutunya. Pembasmian itu, di beberapa daerah, berkembang menjadi mirip kerusuhan etnis dan rasialis.
Bukan tanpa prakondisi warga peranakan menjadi sasaran. Salah satu narasi yang berkembang terkait G30S adalah keterlibatan dan partisipasi Republik Rakyat Cina pimpinan Mao Zedong dalam aksi penculikan para jenderal Angkatan Darat. Warga peranakan Cina, berikut propertinya, yang sebenarnya tidak berhubungan dengan itu pun menjadi sasaran kemarahan (baca: Sejarah Diskriminasi Orang Cina di Indonesia).
“Pemuka Kristen Protestan Sulawesi yang tiba di Jakarta hari ini melaporkan 90 persen toko-toko Tionghoa di Makassar diserang dan isinya dihancurkan pada 10 November 1965, yang mana melibatkan hampir seluruh penghuni kota,” aku Marshall Green dalam kawat telegram diplomatik rahasia itu (Source: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 5 pol 23-9 Sept 30th Mvt Nov 10-19 1965).
Menurut catatan Taufik dalam Kamp Pengasingan Moncongloe (2009), dalam kerusuhan di Makasar pada 10 Oktober 1965 itu melibatkan pihak ketiga yang punya kepentingan tambahan selain pembasmian PKI. “Aksi berubah menjadi penjarahan milik orang-orang Tionghoa dan penghancuran rumah orang Jawa,” tulis Taufik.
Dokumen itu menyebutkan juga soal pembantaian orang-orang PKI. Disebutkan persebaran kekerasan anti-PKI di daerah Bugis di Sulawesi. Muslim di Bone dilaporkan masuk ke kamp tahanan dan membunuh 200 orang tahanan PKI. Tidak terlalu jelas Bone yang mana karena ada nama daerah/wilayah bernama Bone di berbagai kawasan Sulawesi. Di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan punya juga daerah bernama Bone (Kabupaten Bone sendiri berada di Sulawesi Selatan). Di Muna, Sulawesi Tenggara, ada kecamatan bernama Bone (baca: Jokowi Blak-blakan Soal Isu PKI kepada Jamiyah Persis).
Di Bone yang terletak di Sulawesi Selatan sendiri terjadi pembantaian terhadap orang-orang PKI. Dari wawancaranya dengan Anwar Abbas, Taufik dalam Kamp Pengasingan Moncongloe menyebut: “Pembunuhan terjadi di Penjara Kodim Watampone, kurang lebih ratusan orang sipil yang berasal dari Jawa. Mereka umumnya karyawan pabrik gula Arasoe.”
Di sana, sentimen anti orang-orang Jawa sempat meningkat pada 1960an. Pada masa-masa genting dan penuh desas-desas itu, ada yang menganggap orang Jawa identik dengan PKI.
“Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga ‘terpisah’ dalam potongan-potongan,” tulis Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006).
Dokumen itu menyebutkan juga soal pembantaian orang-orang PKI. Disebutkan persebaran kekerasan anti-PKI di daerah Bugis di Sulawesi. Muslim di Bone dilaporkan masuk ke kamp tahanan dan membunuh 200 orang tahanan PKI. Tidak terlalu jelas Bone yang mana karena ada nama daerah/wilayah bernama Bone di berbagai kawasan Sulawesi. Di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan punya juga daerah bernama Bone (Kabupaten Bone sendiri berada di Sulawesi Selatan). Di Muna, Sulawesi Tenggara, ada kecamatan bernama Bone (baca: Jokowi Blak-blakan Soal Isu PKI kepada Jamiyah Persis).
Di Bone yang terletak di Sulawesi Selatan sendiri terjadi pembantaian terhadap orang-orang PKI. Dari wawancaranya dengan Anwar Abbas, Taufik dalam Kamp Pengasingan Moncongloe menyebut: “Pembunuhan terjadi di Penjara Kodim Watampone, kurang lebih ratusan orang sipil yang berasal dari Jawa. Mereka umumnya karyawan pabrik gula Arasoe.”
Di sana, sentimen anti orang-orang Jawa sempat meningkat pada 1960an. Pada masa-masa genting dan penuh desas-desas itu, ada yang menganggap orang Jawa identik dengan PKI.
“Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga ‘terpisah’ dalam potongan-potongan,” tulis Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006).
Soal pembantaian orang-orang PKI di Bone, Sulawesi Selatan, juga disinggung dalam biografi presenter kondang Andy F. Noya dalam Andy Noya Kisah Hidupku (2015) yang disusun Robert Adhi K.S.P. Suatu hari, Corps Polisi Militer (CPM) menitipkan 40 tahanan yang hendak diproses ke Penjara Watampone, di pusat Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Tahanan-tahanan itu terkait PKI. Kepala Penjara Watampone kala itu adalah laki-laki Indo bernama Jopie Klaarwater. Massa anti-PKI yang tak sabaran akan proses hukum pun mendatangi para tahanan yang dicap PKI untuk langsung dihakimi.
Sebagai Kepala Penjara, Klaarwater tak mengizinkan melepaskan tahanan yang harus ada di dalam penjara dan menolak massa masuk ke penjara. Massa yang lepas kendali itu tetap ngotot. Penjara berhasil mereka bobol dan tahanan dieksekusi. Tak lupa, Klaarwater dan wakil Kepala Penjara juga sekalian dieksekusi. Kepala penjara Indo-Eropa bermarga Klaarwater itu tak lain adalah kakek Andy F. Noya dari pihak ibu. Setelah kejadian, istri Klaarwater, Johanna Blouwer, pindah ke Belanda.
Dari hasil wawancara dengan salah satu narasumber yang tak disebut namanya pada 18 Agustus 2008 di Watampone, Taufik menyebut nama Kepala Penjara adalah Kalwater dan keturunan Belanda (peranakan). Disebutkan pula Kalwater adalah Ketua Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) daerah Bone
Bersama Ketua PKI Bone Andi Mappa juga Sekretaris Jenderal PKI Bone Igo Garnida Heri Erianto, Kalwater dibunuh massa. Selain membunuh ketiganya, massa mendatangi penjara di markas Komando Distrik Militer (KODIM) dan kantor Kepolisian Resort (Polres) yang menjadi tempat penampungan orang-orang PKI.
Di buku The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68 (2012) yang disusun Douglas Anton Kammen dan Katharine E. McGregor disebutkan: “Pembunuhan pertama terjadi di distrik Bone sekitar November 1965. Kalwater adalah Ketua SOBSI di Bone dan seorang Indo-Eropa yang juga Kepala Penjara di Bone. Dia terbunuh oleh gerakan massa.”
Kalwater dan Klaarwater bisa diasumsikan sebagai orang yang sama. Kesulitan lidah lokal menyebut nama Belanda seperti Klaarwater akhirnya hanya menyebutnya menjadi Kalwater. Toh baik Kalwater maupun Klaarwater bekerja sebagai Kepala Penjara Watampone dan sama-sama Indo-Eropa juga (baca: Orang-Orang Indo-Eropa dalam Pergerakan Nasional).
Hal yang mengherankan dari Klaarwater atau Kalwater ini adalah informasi yang menyebutnya sebagai Ketua SOBSI Bone. Dia sebenarnya bukan berlatar buruh. Dia pegawai penjara dan istrinya pemilik toko. Plus: Indo-Eropa pula. Padu-padan kombinasi yang membuat informasi dirinya sebagai tokoh SOBSI menjadi meragukan.
Kalwater dan Klaarwater bisa diasumsikan sebagai orang yang sama. Kesulitan lidah lokal menyebut nama Belanda seperti Klaarwater akhirnya hanya menyebutnya menjadi Kalwater. Toh baik Kalwater maupun Klaarwater bekerja sebagai Kepala Penjara Watampone dan sama-sama Indo-Eropa juga (baca: Orang-Orang Indo-Eropa dalam Pergerakan Nasional).
Hal yang mengherankan dari Klaarwater atau Kalwater ini adalah informasi yang menyebutnya sebagai Ketua SOBSI Bone. Dia sebenarnya bukan berlatar buruh. Dia pegawai penjara dan istrinya pemilik toko. Plus: Indo-Eropa pula. Padu-padan kombinasi yang membuat informasi dirinya sebagai tokoh SOBSI menjadi meragukan.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar