Jumat, 06 Okt 2017 15:05 WIB | Ika Manan
"Saya baru buka identitas diri saat 50 tahun peristiwa 1965, yakni pada 2015. Saya membuka identitas diri karena ayah saya dapat penghargaan dari UGM."
Bonnie Setiawan, anak eks tahanan politik 1965. Foto: Istimewa.
Jakarta - Pada usia 17 tahun, Bonnie Setiawan (56 tahun) baru mengetahui bahwa orangtua kandungnya masih hidup. Perkaranya sejak usia empat tahun, beberapa bulan setelah peristiwa 30 September 1965, dia sudah dititipkan ke keluarga sang ayah di Jakarta. Sejak kecil hingga remaja, Bonnie pun tumbuh tanpa kedua orangtua.
Baru pada 1978 itulah, kali pertama Bonnie bertemu sang ibu, Heryani, yang baru bebas dari Kamp Plantungan.
"Ketika itu ibu saya baru saja dibebaskan dari Plantungan. Kami bertemu di Semarang," Bonnie mengingat.
Kamp Plantungan di kaki Gunung Prau, Kendal, Jawa Tengah, dikenal sebagai 'Pulau Buru'nya tahanan politik perempuan. Mereka yang diasingkan ke Kamp Plantungan adalah tahanan politik golongan B artinya terindikasi aktif di organisasi yang dianggap berafiliasi dengan komunis, tetapi tak cukup bukti untuk diadili.
Bertahun tak mengenal ibunya dan begitu bertatap muka Bonnie remaja kikuk. "Tentu saja kaku ya. Namanya juga sudah lama tidak bertemu. Pertanyaan awal hanya basa-basi. Tidak menyangka itu ibu kandung," cerita Bonnie tentang pertemuan perdananya dengan ibu.
Setahun setelahnya pada 1979, Bonnie lantas bertemu sang ayah, Busono Wiwoho. Ayahnya saat itu diburu lantas ditahan selama 14 tahun lantaran menjadi pentolan Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Dari ayahnya, Bonnie mendapat cerita seputar huru-hara politik 1965.
“Mereka semua tidak pernah tahu G30S. Tiba-tiba mereka diancam, mau dibunuh, dikejar-kejar. Orangtua saya sampai Oktober atau November 1965 masih biasa saja,” jelas Bonnie.
Akibat tuduhan tersebut, status dosen Busono Wiwoho yang kala itu menjadi Dekan Fakultas Pedagogi UGM pun dicabut. Tak hanya itu, namanya juga tak dimunculkan dalam sejarah kampus padahal Busono dikenal sebagai pencetus Fakultas Psikologi di universitas yang sama.
Orangtua Bonnie dikategorikan dalam tahanan politik golongan B. Meski dalam surat pembebasan dinyatakan bahwa keduanya berdasarkan bukti-bukti hukum tak tersangkut peristiwa G30S, namun tetap saja stigma dan diskriminasi harus ditanggung. Termasuk pada anak-anak mereka.
"Kakak saya yang pertama malah masih mengalami itu diteriaki: anak PKI, anak PKI."
Bonnie, juga tiga saudaranya terpaksa menyembunyikan identitas. Puluhan tahun setiap kali mengisi urusan administrasi, nama kedua orangtua tak pernah dicantumkan. Masing-masing menggunakan nama saudara yang ditumpangi mereka selama sang orangtua di bui.
Hingga pada 2015 Bonnie baru berani mengungkap identitasnya ke publik. Kepada KBR, Bonnie yang aktif sebagai penulis, peneliti juga terlibat dalam Forum 65 ini mengungkapkan kegusaran yang disimpannya berpuluh tahun.
Apa yang Anda ingat saat peristiwa 30 September 1965?
Saya blank sama sekali tahun 1965 itu karena usia saya masih empat tahun. Entah kenapa saya lupa sama sekali. Yang saya ingat saya sudah di Jakarta dititipkan saudara ayah. Diaku sebagai anak. Di Jakarta, saya ingat banyak tank-tank atau panser di dekat rumah penduduk. Saya memang tidak tahu sama sekali keberadaan orangtua karena keluarga menutup informasi itu. Jadi saya tumbuh di Jakarta dengan tidak tahu sama sekali kisah seputar G30S.
Apa yang terjadi pada ayah dan ibu Anda setelah peristiwa 30 September 1965?
Orangtua saya sampai Oktober atau November 1965 masih biasa saja. Tidak menganggap itu sebuah inisatif yang dilakukan PKI. Ayah sebagai inisator Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) dianggap berafiliasi dengan PKI. Kemudian dia sebagai tokohnya dikejar-kejar.
Waktu itu ibu dan ayah sedang nyadran ke Blora. Nah di Blora itu ayah justru ditangkap. Ibu sempat pulang ke Yogyakarta mengurus segala macam hal karena harus absen mengajar. Tapi di Yogya malah ditahan. Hampir semua korban entah PKI atau ormasnya tidak tahu sama sekali soal G30S. Tapi ayah dan ibu dikategorikan B yaitu tidak secara langsung terlibat.
Kapan akhirnya bertemu ayah dan ibu?
Pertama kali tahu ketika ibu saya dibebaskan dari Kamp Plantungan pada 1978. Baru saya bisa bertemu ketika itu di Semarang. Dan saya tahu wajah ibu seperti apa dan bagaimana ceritanya. Jadi selama saya tumbuh besar, saya enggak berkaitan atau tak tahu soal G30S. Soalnya saat Orde Baru, anak-anak kan diberi narasi tunggal dan di keluarga juga tak diberi tahu.
Seperti apa rasanya kali pertama bertemu ibu?
Ya tentu saja kaku. Tidak menyangka bahwa itu ibu kandung. Jadi saat bertemu masih basa-basi. Sejak itu kalau liburan atau ada waktu luang ke Semarang. Kemudian pada 1979 ayah bebas dari Pulau Buru bersama Pramoedya Ananta Toer. Sejak itu baru kenal ayah dan tahu cerita seputar G30S dan PKI. Juga baru mengenal keluarga lain yang dibebaskan. Karena dari keluarga ibu, ada beberapa yang ditahan di Pulau Buru, seperti adiknya eyang, sepupu eyang, itu ditahan. Dari situ saya tahu orang-orang yang terlibat G30S biasa-biasa saja. Tidak seseram yang diceritakan Orde Baru malah kebanyakan idealis. Ingin negaranya maju, adil, makmur.
Setelah ibu bebas dari Kamp Plantungan, apakah diskriminasi terjadi? Seperti apa?
Yang jelas di KTP ada cap ET (Eks Tapol). Kemudian tiap bulan harus melapor ke Kodam. Jadi ayah dan ibu tiap bulan harus ke Kodam sampai sebelum reformasi. Tiap melapor kayak diawasi terus. Eks Tapol juga tak boleh bekerja di tempat-tempat publik, misal guru, dosen, PNS apalagi ABRI.
Apa yang dilakukan ayah dan ibu setelah bebas?
Karena kebetulan orangtua saya kalangan terdidik, cepat beradaptasi. Ibu buka kursus Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis. Ayah buka biro psikologi. Jadi lumayan masih hidup dengan baik. Baru kabar menggembirakan datang pada 2015, saat itu perayaan HUT Fakultas Psikologi UGM. Tidak disangka ibu dapat undangan dari panitia bahwa Pak Busono Wiwoho diakui sebagai perintis fakultas psikologi UGM. Dulu, kalau tiap mahasiswa psikologi ditanya siapa yang mendirikan? Enggak dikasih informasi. Jadi ya, ada perubahan di masyarakat.
Sejak tahu bahwa ayah dan ibu adalah Eks Tapol, ada memutuskan menutup identitas diri. Kenapa?
Saya ini sebagai anak eks tapol hidupnya serba takut. Tiap tahun ditakuti dengan film Pengkianatan G30S/PKI. Saya merasa diteror. Apalagi ayah dan ibu ada cap ET dan harus melapor. Ibu saya meski buka kursus, selalu diawasi kodam.
Selain itu, sebagai aktivis mahasiswa juga saya enggak bisa sembarangan. Pada waktu itu, mahasiswa diawasi intel. Zaman Orde Baru intel dimana-mana. Ada yang jadi mahasiswa, pengajar. Bahkan ditakut-takuti si A diciduk dan disiksa begitu dilepas gila. Jadi ada cerita menakutkan. Jadi kalau beraktivitas harus hati-hati. Karena cap PKI sering dilontarkan ke aktivis-aktivis.
Kapan akhirnya membuka identitas diri sebagai anak Eks Tapol?
Aku memang menyembunyikan status anak tapol, karena bahaya. Saya baru buka identitas diri saat 50 tahun peristiwa 1965, yakni pada 2015. Saya membuka identitas diri karena ayah saya dapat penghargaan dari UGM. Jadi ya sudah masanya saya membuka diri. Sejak itu saya aktif di Forum 65.
Dulu, saat masih wajib nonton film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI, apa yang Anda ingat?
Kayaknya zaman masih muda enggak terlalu peduli cerita-cerita G30S. Itu dianggap hiruk-pikuk politik. Kita waktu itu lebih suka Chrisye, Vina Panduwinata. Itu kan zaman Guruh Gipsy. Hahaha... Baru kuliah belajar secara akademis. Jadi menganalisa G30S dan PKI dengan cara-cara akademis dan bacaan-bacaan.
Apa yang mestinya dilakukan pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu?
Generasi ini tak lepas dari masalah cap G30S. Persoalannya masalah 1965 tak mau dibicarakan secara terbuka dan diselesaikan dengan baik. Masalah ini akan terus terwarisi sampai ke generasi ketiga. Karena keluarga merujuk pada kakek, nenek. Kalau tidak menjadi suatu hal yang biasa, tapi ditutupi, orang jadi trauma. Anak atau cucu meski tak mengalami, tidak berarti tak mengalami masalah. Dan itu akan enggak baik untuk bangsa ini.
Editor: Quinawaty | Sumber: KBR.ID
0 komentar:
Posting Komentar