6 Oktober 1965 | Reporter: Iswara N Raditya
Ilustrasi Ade Irma Suryani. tirto.id/Gery
Anak saya yang tercinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai ayahmu.”(A.H. Nasution)
“Saya sudah mendengar berita penculikan dan pembunuhan ini tadi pagi,” kata Mohammad Hatta kepada sejumlah tamu yang hadir di kediamannya pada 1 Oktober 1965 itu (Sergius Sutanto, Hatta: Aku Datang karena Sejarah, 2013:310).
“Kabarnya,” imbuh Wakil Presiden pertama RI ini, “Nasution lolos. Dia lari melompati pagar belakang rumahnya dan bersembunyi di balik sebuah pohon. Tapi anaknya, Ade Irma Suryani, terbunuh.”
Kejadian ini barangkali mengingatkan Hatta akan pertanyaan anak perempuannya, Halida Nuriah, beberapa tahun silam. Kala itu, putri bungsunya bertanya, “Ayah, mengapa mereka benci Ayah?”
“Iya, karena pikiran-pikiran ayah berlainan dengan mereka,” jawab Hatta.
Halida yang belum puas lantas bertanya lagi, “Tapi, mereka ‘kan rakyat. Kata semua orang di rumah, rakyat senang sama ayah.”
“Benar, Nak,” ucap Hatta sambil mengelus rambut Halida. “Tetapi ada juga yang tidak suka. Contohnya, mereka itu,” lanjutnya sambil mengarahkan pandangan ke dinding depan rumah.
Ditengarai, “mereka” yang dimaksud oleh Halida dan ayahnya adalah orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tidak menyukai Hatta (Sutanto, 2013:309). Dan, bukan sekali itu saja ancaman terhadap Hatta terjadi oleh pihak yang sama.
Relasi Hatta dengan PKI memang jauh dari mesra. Dalam status sebagai Perdana Menteri, Hatta bertanggungjawab mengembalikan kekuasaan pemerintah di Madiun yang sempat diambilalih oleh Front Demokrasi Rakyat yang berintikan PKI pada September 1948. PKI kocar-kacir, para pemimpinnya tertangkap dan ada yang tewas (Musso tertembak, Amir Syarifuddin divonis mati oleh Pengadilan Militer).
Sedangkan PKI selalu menganggap peristiwa Madiun sebagai provokasi Hatta. Dalam naskah "Konfrontaso Madiun 1948", Aidit bukan hanya berusaha membebaskan PKI dari tuduhan terkait 1948 namun juga mendakwa Hatta sebagai biang keladi "pembunuhan, penculikan, dan perang saudara tahun 1948" karena "Hatta ingin berkuasa sewenang-wenang".
Namun, Hatta dan Halida lebih beruntung karena tidak mengalami apa yang kemudian menimpa Ade Irma Suryani, putri bungsu Jenderal A.H. Nasution, dalam tragedi berdarah 4 tahun berselang dari kemunculan coretan-coretan di pagar rumah itu.
Anak perempuan pertama Nasution yang juga kakak Ade Irma Suryani, Hendrianti Sahara, mengingat jelas peristiwa pada dini hari itu.
“Saat kejadian, saya lari dari terjangan peluru,” kenangnya seperti dikutip dari tulisan Choirul Huda (7 Oktober 2015) dengan judul “50 Tahun Gugurnya Ade Irma Suryani dalam Kenangan Kakak Tercinta”.
“Kami mengumpet hingga suasana reda. Ketika itu, ayah sudah melompat ke kediaman tetangga, Kedutaan Besar Irak. Kaki saya mendapat luka. Tapi, yang lebih sedih ketika saya dan ibu melihat Ade bersimbah darah. Waktu itu saya masih berusia 13 tahun dan Ade baru 5 tahun,” tambah Hendrianti.
Nasib tragis juga dialami ajudan Jenderal A.H. Nasution, Letnan Satu Pierre Tendean, yang dibawa ke Lubang Buaya sebelum dibunuh.
Ade Irma Suryani sempat dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Jakarta. Namun, nyawanya tidak tertolong. Tanggal 6 Oktober 1965 atau tepat 6 hari setelah penembakan ia pun menghembuskan nafas penghabisan.
Sedangkan A.H. Nasution masih hidup lama di rezim baru setelah insiden tersebut, dan sempat menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) periode 1966-1972. Menteri Pertahanan dan Keamanan RI di era Presiden Sukarno ini wafat tanggal 6 September 2000 pada umur 81 tahun.
Kendati masih bocah, dan belum menyumbangkan sesuatu kepada sejarah Indonesia, namun nama Ade Irma tak hilang begitu saja. Pemerintah membangun monumen di tempat peristirahatan terakhirnya, di kawasan Kebayoran Baru, persis di samping Kantor Wali Kota Jakarta Selatan.
Di depan nisan Ade Irma Suryani, terukir kata-kata mengharukan dari sang ayah, Jenderal A.H. Nasution. "Anak saya yang tercinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai ayahmu," begitu bunyinya.
Nama Ade Irma Suryani diabadikan sebagai nama jalan, sekolah taman kanak-kanak, hingga panti asuhan, di beberapa daerah di Indonesia. Bahkan, satu-satunya wahana permainan dan rekreasi di Kota Cirebon diberi nama Taman Ade Irma Suryani Nasution.
Tepat 52 tahun silam, Ade Irma Suryani menutup mata untuk selama-lamanya. Untuk mengenang sang gadis belia perisai revolusi, A.T. Mahmud turut menyumbangkan karya lewat tembang ciptaannya yang bermuatan doa:
Akan kuingat selalu
Ade Irma Suryani
Waktu dipeluk dipangku ibu
Dengan segala kasih
Kini ia terbaring di pangkuan Tuhan
Senang dan bahagia hatinya
Kini ia terlena tertidur terbaring
Nyenyak di pelukan Tuhan-Nya.
“Kabarnya,” imbuh Wakil Presiden pertama RI ini, “Nasution lolos. Dia lari melompati pagar belakang rumahnya dan bersembunyi di balik sebuah pohon. Tapi anaknya, Ade Irma Suryani, terbunuh.”
Kejadian ini barangkali mengingatkan Hatta akan pertanyaan anak perempuannya, Halida Nuriah, beberapa tahun silam. Kala itu, putri bungsunya bertanya, “Ayah, mengapa mereka benci Ayah?”
“Iya, karena pikiran-pikiran ayah berlainan dengan mereka,” jawab Hatta.
Halida yang belum puas lantas bertanya lagi, “Tapi, mereka ‘kan rakyat. Kata semua orang di rumah, rakyat senang sama ayah.”
“Benar, Nak,” ucap Hatta sambil mengelus rambut Halida. “Tetapi ada juga yang tidak suka. Contohnya, mereka itu,” lanjutnya sambil mengarahkan pandangan ke dinding depan rumah.
Ditengarai, “mereka” yang dimaksud oleh Halida dan ayahnya adalah orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tidak menyukai Hatta (Sutanto, 2013:309). Dan, bukan sekali itu saja ancaman terhadap Hatta terjadi oleh pihak yang sama.
Relasi Hatta dengan PKI memang jauh dari mesra. Dalam status sebagai Perdana Menteri, Hatta bertanggungjawab mengembalikan kekuasaan pemerintah di Madiun yang sempat diambilalih oleh Front Demokrasi Rakyat yang berintikan PKI pada September 1948. PKI kocar-kacir, para pemimpinnya tertangkap dan ada yang tewas (Musso tertembak, Amir Syarifuddin divonis mati oleh Pengadilan Militer).
Sedangkan PKI selalu menganggap peristiwa Madiun sebagai provokasi Hatta. Dalam naskah "Konfrontaso Madiun 1948", Aidit bukan hanya berusaha membebaskan PKI dari tuduhan terkait 1948 namun juga mendakwa Hatta sebagai biang keladi "pembunuhan, penculikan, dan perang saudara tahun 1948" karena "Hatta ingin berkuasa sewenang-wenang".
Namun, Hatta dan Halida lebih beruntung karena tidak mengalami apa yang kemudian menimpa Ade Irma Suryani, putri bungsu Jenderal A.H. Nasution, dalam tragedi berdarah 4 tahun berselang dari kemunculan coretan-coretan di pagar rumah itu.
Tertembaknya Putri Sang Jenderal
Punggung Ade Irma Nasution tertembus peluru pada malam petaka itu. Seharusnya, yang menjadi sasaran adalah ayahnya. Namun, seperti kabar yang diperoleh Hatta, Jenderal A.H. Nasution lolos dari maut karena berhasil melarikan diri. Ia adalah satu-satunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu kendati menjadi salah satu target utama penculikan.Anak perempuan pertama Nasution yang juga kakak Ade Irma Suryani, Hendrianti Sahara, mengingat jelas peristiwa pada dini hari itu.
“Saat kejadian, saya lari dari terjangan peluru,” kenangnya seperti dikutip dari tulisan Choirul Huda (7 Oktober 2015) dengan judul “50 Tahun Gugurnya Ade Irma Suryani dalam Kenangan Kakak Tercinta”.
“Kami mengumpet hingga suasana reda. Ketika itu, ayah sudah melompat ke kediaman tetangga, Kedutaan Besar Irak. Kaki saya mendapat luka. Tapi, yang lebih sedih ketika saya dan ibu melihat Ade bersimbah darah. Waktu itu saya masih berusia 13 tahun dan Ade baru 5 tahun,” tambah Hendrianti.
Nasib tragis juga dialami ajudan Jenderal A.H. Nasution, Letnan Satu Pierre Tendean, yang dibawa ke Lubang Buaya sebelum dibunuh.
Mengenang Putri Revolusi
Sedangkan A.H. Nasution masih hidup lama di rezim baru setelah insiden tersebut, dan sempat menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) periode 1966-1972. Menteri Pertahanan dan Keamanan RI di era Presiden Sukarno ini wafat tanggal 6 September 2000 pada umur 81 tahun.
Kendati masih bocah, dan belum menyumbangkan sesuatu kepada sejarah Indonesia, namun nama Ade Irma tak hilang begitu saja. Pemerintah membangun monumen di tempat peristirahatan terakhirnya, di kawasan Kebayoran Baru, persis di samping Kantor Wali Kota Jakarta Selatan.
Di depan nisan Ade Irma Suryani, terukir kata-kata mengharukan dari sang ayah, Jenderal A.H. Nasution. "Anak saya yang tercinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai ayahmu," begitu bunyinya.
Nama Ade Irma Suryani diabadikan sebagai nama jalan, sekolah taman kanak-kanak, hingga panti asuhan, di beberapa daerah di Indonesia. Bahkan, satu-satunya wahana permainan dan rekreasi di Kota Cirebon diberi nama Taman Ade Irma Suryani Nasution.
Tepat 52 tahun silam, Ade Irma Suryani menutup mata untuk selama-lamanya. Untuk mengenang sang gadis belia perisai revolusi, A.T. Mahmud turut menyumbangkan karya lewat tembang ciptaannya yang bermuatan doa:
Akan kuingat selalu
Ade Irma Suryani
Waktu dipeluk dipangku ibu
Dengan segala kasih
Kini ia terbaring di pangkuan Tuhan
Senang dan bahagia hatinya
Kini ia terlena tertidur terbaring
Nyenyak di pelukan Tuhan-Nya.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar