Muhamad Ridlo - 06 Okt
2017, 07:30 WIB
Setiap hari, Ishak yang merupakan mantan anggota Cakrabirawa itu
membaca buku dan koran di gym kecilnya di samping rumah. (Liputan6.com/Muhamad
Ridlo)
Purbalingga - Bagi personel aktif, pensiunan
tentara, dan veteran, perayaan HUT TNI senantiasa disambut dengan sukacita, bangga,
bahkan haru. Namun, banyak peristiwa ataupun gejolak yang mewarnai perjalanan
panjang TNI yang pada Kamis, 5 Oktober 2017, berulang tahun ke-72.
Sebut saja Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 yang
saat itu menyeret keterlibatan Cakrabirawa atau pasukan elite pengawal Presiden
Sukarno. Beberapa pelaku utama yang terlibat penculikan serta pembunuhan enam
jenderal dan satu perwira TNI AD di Lubang Buaya, Jakarta Timur, memang telah
dihukum pidana hingga dieksekusi mati.
Namun, sebagian anggota Cakrabirawa mengalami penahanan
sekian tahun tanpa adanya pengadilan resmi. Satu di antara anggota Kawal
Kehormatan Resimen Cakrabirawa itu adalah Ishak.
Siang itu, rumah bercat putih di salah satu kawasan di
Purbalingga, Jawa Tengah, tampak sepi. Sejumlah mobil terpakir rapi di garasi
berkanopi biru muda. Inilah rumah Ishak, mantan anggota pasukan elite pengawal
Presiden pertama RI Sukarno, Cakrabirawa.
Seorang perempuan berusia setengah baya, dan juga anak
lelaki berusia sekitar tiga tahun, menyambut Liputan6.com dan
sejumlah media yang berkunjung ke rumahnya. Ia ramah dan juga cantik.
Sementara, anak lelaki itu beberapa kali mengajak
bermain, layaknya sang paman yang lama tak bertemu. Bocah lucu itu menjadi
penghibur kala menunggu Ishak yang siang itu keluar rumah, untuk sebuah urusan
penting.
Perempuan itu masih cantik di usianya yang ke-57. Namanya
Sri Sumarni, kelahiran 1955. Nasib telah mempertemukannya dengan Ishak, bekas
tahanan militer yang selama 12 tahun dibui tanpa pengadilan resmi.
Alasannya, Ishak berada di Lubang Buaya, Jakarta Timur,
pada dini hari 1 Oktober 1965, kala peristiwa berdarah itu terjadi.
Padahal, Sri Sumarni berasal dari keluarga militer. Ia
adalah putri seorang mantan Komandan Polisi Militer dan pernah bertugas di
Purwokerto, Kapten CPM (Purn) Sono Supardi. Namun, rupanya itu tak membuat
mereka terhalang untuk menikah.
"Saya dikenalkan oleh adik saya. Ya sudah, cocok. Kami menikah," tuturnya, Selasa, 4 Oktober 2017.
Ketika hendak berpamitan dengan tuan rumah, seorang pria
dari luar pagar, mengendarai sepeda motor matic berseru.
"Ada apa ini, medeni temen (menakutkan sekali), ramai-ramai ke sini," ia berseru sembari membuka gerbang rumah.
Pria itu ternyata Ishak, mantan anggota Cakrabirawa
berpangkat terakhir sersan satu. Dia tampak trengginas di usianya yang ke-81.
Perawakan pria kelahiran 1936 itu tinggi dan langsing.
Bicaranya tegas dan lantang. Pengetahuan umumnya, luas. Tak aneh, semasa aktif
bertugas dan masa mudanya, ia layaknya arjuna dari Resimen Cakrabirawa. Sang istri pun mengakui Ishak seorang pria
yang romantis.
"Bapak sering sekali berkata, 'Aku beruntung kamu menemaniku. Kamu istri yang pintar. Di tanganmu, semua urusan beres.' Ya, begitulah bapak. Tegas, jujur, tapi juga apa ya romantis mungkin," kata Sri Sumarni.
Ketika Pangkat
Hilang
Menurut Sri Sumarni, Ishak sang suami yang mantan anggota Cakrabirawa
itu adalah pria romantis. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Kisah cinta Ishak dan Sri Sumarni tampak sederhana.
Namun, tidak bagi Ishak. Lelaki yang kini berusia 81 tahun itu mesti melewati
pahit getir usai kejayaan Cakrabirawa rampung oleh rezim baru yang berkuasa,
pasca-peristiwa 1965.
Ishak jatuh, disiksa, dan terbuang. Sri Sumarni adalah
istrinya yang ketiga. Adapun mantan istri pertama dan keduanya, telah meninggal
dunia.
"Kalau saya mengistilahkan, setelah peristiwa itu, pangkat lunga, bojo minggat, banda mawut, (pangkat hilang, istri kabur, harta bubar)," tutur Ishak.
Ishak bercerita, kala ditangkap pada 1 Oktober 1965 sore
di Istana Merdeka, Jakarta, istrinya di Purbalingga, tengah hamil muda. Ia
memang baru menikah waktu itu. Sembari menunggu proses memperoleh rumah dinas
di Jakarta, istrinya sementara waktu tinggal di rumah orangtuanya.
"Istri saya menceraikan saya. Istilahnya, rapak. Anak saya dibawa. Baru ketemu saat anak saya berusia 13 tahun, waktu saya sudah dibebaskan pada 1978," ujarnya.
Tetapi ia mengaku tak pernah mendendam pada istri
pertamanya. Sebab, reputasinya sebagai anggota Cakrabirawa jatuh ke titik terendah.
Siapa pun, waktu itu, pasti enggan berhubungan dengan anggota Cakrabirawa.
Dan itu, berlanjut kala ia pulang Purbalingga. Untungnya,
dia mendapat pesangon dari seorang kawan di militer yang tahu betul ia tak
terlibat dalam peristiwa 1965 itu. Angkanya cukup besar Rp 50 ribu di zaman
itu.
"Saya belikan cangkul, garpu, golok. Saya memburuh tani," Ishak menambahkan.
Tetapi saat memburuh itu. Banyak pula yang memintanya
untuk menyelesaikan masalah. Di kampungnya, Kalimanah, Kabupaten Purbalingga,
Ishak dikenal sebagai orang terpelajar.
Beberapa tahun dia memburuh, Tuhan
akhirnya membukakan jalan. Dia berbisnis jual beli sepeda motor, yang kala itu
masih menjadi barang mewah.
"Ekonomi saya membaik dan saya menikah dengan istri kedua. Tetapi, istri saya sakit. Kemudian meninggal," dia menerangkan.
Lantas, Ishak pun hidup menyendiri lagi. Hingga pada
suatu hari, seorang kawan di DPU Purbalingga mengenalkannya pada adik iparnya,
Sri Sumarni, yang berasal dari keluarga tentara. Mengumpulkan keberanian, ia
menemui orangtua Sri, sang mantan Komandan Polisi Militer.
"Kami berdiskusi lama. Tapi akhirnya, ayah mertua merestui saya. Beliau tahu bahwa saya hanya salah tempat waktu peristiwa itu terjadi," Ishak memungkasi.
0 komentar:
Posting Komentar