Muhamad Ridlo Susanto
Jumat, 20 Okt 2017 17:05 WIB
"Saya hanya diperintah Letkol Untung supaya ikut ke Lubang Buaya. Di sana adanya ya militer dari Angkatan Udara, Angkatan Darat, Brigif.”
Ishak, bekas anggota pasukan Cakrabirawa. Foto: Muhammad Ridlo/KBR.
Purbalingga - “Saya berkali-kali mengatakan tidak tahu masalah G30S. Saya hanya diperintah Letkol Untung supaya ikut ke Lubang Buaya. Di sana adanya ya militer dari Angkatan Udara, Angkatan Darat, Brigif,” kenang Ishak.
Ia adalah Ishak, bekas anggota pasukan Cakrabirawa –pasukan elit pengawal Presiden Sukarno.
Kepada saya, pria sepuh ini mengisahkan ulang apa yang ia lihat dan ketahui ketika mengantar Komandan Batalyon Cakrabirawa, Letnan Kolonel Untung ke Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965. Lelaki kelahiran 1936 ini mengaku sama sekali tak tahu apa yang terjadi pada dini hari sebelumnya.
30 September 1965, Ishak –yang merupakan bekas ajudan Untung, mengawal Presiden Sukarno menghadiri Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Istora Senayan. Esoknya, dia bertugas mengawal Sukarno ke Bogor, Jawa Barat. Tapi, siang hari, Ishak diperintahkan atasannya Letkol Untung mengantarnya ke Lubang Buaya.
“Saya mau mengawal Presiden Sukarno ke Bogor, tapi dicegat Pak Untung. ‘Hei, siapa itu pengawalnya? Ishak. Ganti dengan Kahono. Dia ikut saya,” sambung Ishak.
Malam, 1 Oktober 1965, Ishak berangkat bersama Untung ke Lubang Buaya. Begitu sampai, ia menunggu di lokasi parkir.
Menurut Ishak, suasana malam itu berubah suram kala tiga jenderal yang hendak dijemput menghadap Presiden Sukarno, sudah tak bernyawa. Seketika, firasat Ishak menjadi tak enak. Belum lagi, ia sempat mendengar rentetan tembakan dari dalam Lubang Buaya.
“Setelah datang, saya kira hidup-hidup. Ternyata ada yang mati. Pak Ahmad Yani mati, Haryono mati, Pandjaitan mati.”
Para jenderal itu oleh Komandan Batalyon Cakrabirawa, Letnan Kolonel Untung dan Letnan Satu Dul Arif, disebut-sebut bakal menggulingkan Sukarno pada 5 Oktober 1965. Dasar itulah yang kemudian membuat Untung, memutuskan menggagalkan rencana itu dan menyeret para Dewan Jenderal ke hadapan Presiden Sukarno. Aksi ini pun turut didukung Panglima Kostrad, Soeharto.
Dini hari di 1 Oktober 1965, kurang dari 150 prajurit Cakrabirawa dibagi ke dalam beberapa kelompok. Mereka diperintah menjemput para jenderal dalam keadaan hidup atau mati.
Di tengah situasi yang kalut itu, Ishak diperintah menembak seorang polisi bernama Sukitman. Tapi ia menolak. Sebab Sukitman, hanya polisi yang secara kebetulan berpatroli di sekitar rumah Jenderal D.I. Pandjaitan pada dini hari itu.
Maka, ia pun menyuruh Sukitman bersembunyi di jipnya yang terparkir di area Lubang Buaya. Sukitman menurut. Ia meringkuk di jip hingga pagi datang.
“Kemudian saya diserahi satu polisi. ‘Pak Is, tembak ini ya,’ perintah Untung. Itu Sukitman.”
Sukitman lantas ikut terbawa ke Istana Negara. Sampai di sana, Sukitman buru-buru meninggalkan Istana. Sementara Ishak, beberapa jam setelah dari Istana Negara, ditangkap dan dijebloskan ke panjara bersama anggota Cakrabirawa lainnya karena dituduh pendukung PKI. Belakangan pada 28 Maret 1966, pasukan elit ini dibubarkan.
Ishak lalu dibui di Rutan Cipinang. Sepekan di Cipinang, Ishak kemudian dipindah ke Salemba. Detik itu juga, hidupnya seakan roboh. Ia pun menyanggah tudingan tersebut. Sebab sebelum menjadi tentara, Ishak seorang santri dan aktif di Muhammadiyah juga Masyumi.
Di penjara, Ishak perlakuan tak manusiawi. Makanan yang diberikan terdiri dari jagung pipilan yang direbus. Kadang, jagung itu disebar di halaman penjara dan para tahanan memunguti satu persatu.
Agak beruntung, karena Ishak tak disiksa habis-habisan seperti tahanan lain lantaran dianggap kooperatif saat ditangkap.
“Di Salemba saya mengajar agama, jadi tidak ada yang mengira. Orang salut dengan saya. Baik dengan saya.”
Hingga di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), Ishak dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Selama di bui, tahanan hanya mendapat setengah gelas jagung rebus per hari sebagai makanan. Perlakuan semacam ini, berlangsung kurang lebih tiga tahun pada 1965-1968. Akibatnya, bobot tubuh Ishak melorot drastis. Dari sebelumnya 75 kilogram menjadi 40. Persis tulang berbalut kulit.
“Kalau mau minum itu ya, air selokan. Disedot dengan batang daun pepaya. Saat itu, mungkin tiap hari ada orang yang mati.”
Ketika masih di penjara Salemba, Ishak bertemu kembali dengan Sukitman. Sukitman pun masih ingat pada Ishak. Tapi Sukitman tak bisa berbuat apapun.
Sialnya, sang istri yang sedang hamil muda dan tinggal di Purbalingga, menggugat cerai. Dia memaklumi keputusan istrinya yang ketakutan jika memiliki pertalian dengan anggota Cakrabirawa. Sebab pasukan elit itu sudah terkenal beringas dan kejam. Apalagi ada embel-embel terlibat PKI.
Hingga pada 1978, setelah dipenjara selama 13 tahun, Ishak bebas dan pulang ke Kalimanah, Purbalingga. Lebih cepat tujuh tahun lantaran adanya tekanan Lembaga HAM PBB.
“Sewaktu pulang, anak saya berumur 13 tahun. Anak saya, cintanya ya cinta ke bapaknya. Kalau sama saya malah takut.”
Di kampungnya, Ishak mendapat sangu dari seorang kawan di militer sebesar Rp50 ribu. Uang itu dipakai untuk membeli peralatan pertanian dan pertukangan. Ishak, lantas menjadi buruh lepas selama dua tahun. Beruntungnya, karena Ishak dikenal dari kalangan terpelajar, ia mengajar mengaji dan membuka bisnis jual-beli sepeda motor.
Bertahun, Ishak hidup menyendiri. Suatu hari seorang kawan dari Dinas Pekerjaan Umum Purbalingga mengenalkan pada adik iparnya, Sri Sumarni. Jadilah keduanya kawin.
“Dia betul-betul mencurahkan semuanya hanya untuk anak istri. Kemudian dia jujur. Itu memang dia pegang,” kata Sri Sumarni.
Kini, Ishak menghabiskan hari-hari dengan membaca dan berolahraga. Sesekali, ia menjual kendaraan; sepeda motor atau mobil.
Ishak dan Sulemi, adalah dua anggota pasukan Cakrabirawa yang tersisa di Purbalingga. Tapi stigma pada mereka tak juga luntur selama pemerintah tak membuka secara terbuka peristiwa kelam itu.
Editor: Quinawaty
Sumber: KBR.ID
0 komentar:
Posting Komentar