Erna Dwi Lidiawati
Jumat, 20 Okt 2017 16:15 WIB
"Ada sekitar 300 tahanan politik yang setiap pagi dikeluarkan dari penjara. Mereka dipekerjakan di bantaran sungai. Mereka bekerja di saat kondisi air sungai sangat deras.”
Asman Yojodolo (kemeja putih) bertutur ketika ia dan beberapa tahan politik lainnya harus berjuang hidup saat kerja paksa di bantaran sungai Palu. Foto: Erna Dwi Lidiawati/KBR.
Palu - Sebuah bus mengangkut 15 anak muda menuju Jembatan I Palu. Begitu sampai, mereka bersama Nurlela Lamasituju Sekretaris Jenderal Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah, berjalan menuju sungai –yang berdekatan dengan jembatan.
Kepada mereka, Ela –begitu ia disapa, lantas mengisahkan riwayat sungai itu.
“Tahun 1966 sekitar Maret, banjir bandang terjadi di Kota Palu. Banjir bandang ini menghantam aliran sungai sampai ke Jembatan III. Nah, dengan adanya banjir bandang ini menjadi proyek kerja paksa pertama," tutur Ela.
"Ada sekitar 300 tahanan politik yang setiap pagi dikeluarkan dari penjara. Mereka dipekerjakan di bantaran sungai. Mereka bekerja di saat kondisi air sungai sangat deras,” sambungnya.
Berdiri di tepi Sungai Palu, Ela menunjuk-nunjuk bibir sungai itu. Kata dia, sekitar 300 tahanan politik (tapol) dipaksa membuat bronjong untuk menahan lereng kali yang diterjang banjir bandang kala 1966. Para tapol itu, adalah mereka yang ditangkap hanya karena dituduh terkait dengan PKI.
Ela juga bercerita, para tapol ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Maesa di Jalan Pattimura. Tapi karena rutan tak cukup menampung, sebagian dari mereka “dirumahkan” dengan catatan wajib lapor. Selama menjadi tawanan tak resmi itulah, para tapol diperlakukan se-enaknya; mengalami kerja paksa.
Tapol yang “dirumahkan”, mencari bahan baku; batu dan kayu. Sedang tapol yang mendekam di rutan, mengerjakan bronjong. Salah satu bekas tapol, Asman Yojodolo, menuturkan kerja paksa yang dialaminya.
“Kami dikeluarkan dari penjara dan dikerja paksa. Jadi ada tali labrang di sini dan kami berpegangan untuk memasang bronjong yang diisi batu. Itulah pekerjaan kami selama satu tahun,” kenang Asman.
Asman Yojodolo, kini usianya 72 tahun. Dulu ketika masih muda, ia berprofesi sebagai guru. Tapi pada 1966, ia ditangkap dan dijebloskan ke Rutan Maesa tanpa proses pengadilan. Mengapa Asman ditangkap? Karena organisasi yang dipimpinnya Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun dia, menepis sangkaan itu. Baginya, IPPI adalah organisasi mandiri dan tak berkaitan dengan PKI.
Hanya saja, sanggahan itu tak berarti apapun. Asman ditangkap. Tiga belas tahun kemudian, tepatnya pada 1979, ia bebas. Dan meski digempur siksa badan dan batin, Asman tak pernah menyesali. Untuknya, peristiwa itu adalah proses kehidupan yang harus dijalani.
Itu mengapa pada pertengahan September lalu –bersamaan dengan gelaran Napak Tilas Sejarah 1965, Asman menceritakan apa yang dialaminya pada peserta yang mayoritas anak muda. Berharap, generasi sekarang mengetahui sejarah kelam tempat kelahirannya.
Gelaran Napak Tilas 1965 ini digagas SKP-HAM sebagai bagian dari rangkaian Hari Ulang Tahun ke-39 Kota Palu. Dan sejak empat tahun lalu Kota Palu ditetapkan sebagai Kota Sadar HAM.
“Napak Tilas disebutnya wisata sejarah dan budaya. Kenapa sejarah? Karena memotret sejarah Kota Palu dari 1966, saat dimulainya kerja paksa hingga berakhir di 1978. Kami juga ingin memberi informasi kepada masyarakat ada jasa orang-orang yang menjadi korban pelanggaran HAM di Palu,” ungkap Ela.
Perjalanan Napak Tilas ini dimulai dari Jembatan Palu I, kemudian berlanjut ke Jalan Basuki Rahmat, Kecamatan Palu Selatan. Dahulu, jalan sepanjang kurang lebih dua kilometer ini dibangun oleh tapol dari keganasan 1965/1966.
“Para tapol yang ditahan di Rutan Maesa juga dipekerjakan membuat jalan dengan nama Jalan Basuki Rahmat. Pekerjaan ini dilakukan tahun 1978, sekitar empat sampai lima bulan. Dan yang paling diingat, pembangunan jalan ini dilakukan ketika Idul Fitri,” ujar Ela.
Dari Jalan Basuki Rahmat, peserta Napak Tilas menuju Kantor TVRI Palu di Jalan Undata. Di sini, para tapol juga dipaksa bekerja membut fondasi untuk tiang pancang pemancar TVRI.
“Di kantor TVRI kami membangun fondasi untuk tiang pemancar. Untuk bangun fondasi hanya pakai sekop, linggis, dan pacul,” aku Asman.
Data SKP-HAM Sulawesi Tengah, sebanyak 17 infrastruktur; sarana publik dan pemerintahan Kota Palu dibangun dengan keringat para tapol. Sebut saja landasan pacu Bandara Mutiara yang kini menjadi Bandara Mutiara Sis Aljufri, kantor gubernur, dan pelabuhan Pantoloan.
Data SKP-HAM juga menyebut ada sekitar 7 ribu orang menjadi korban dari peristiwa G30S. Ribuan orang itu ada yang dipenjara, “dirumahkan”, dan hilang. Mereka yang menjadi korban ini tersebar di Kabupaten Parigi Moutong, Sigi dan Donggala. Dari jumlah tersebut, baru 485 orang yang sudah diverifikasi.
Napak tilas kali ini berbeda dengan napak tilas yang pernah dilakukan sebelumnya. Kalau di waktu lalu, banyak penyintas yang ikut tapi tahun ini hanya empat saja yang nimbrung. Salah satunya Asman Yojodolo. Keterlibatan anak muda juga ditujukan agar mereka mengetahui asal-usul pembangunan Kota Palu.
“Anak muda harus tahu untuk mengenal korban 1965/66. Dengan cara ini mereka bisa ketemu langsung dengan korbannya dan bisa mendengar cerita apa yang sudah diperbuat oleh generasi terdahulu,” harap Asman.
Seorang peserta, Rahma (21 tahun), mengatakan kegiatan Napak Tilas ini sangat bermanfaat bagi generasi muda. Untuk kali pertama dia tahu ada kerja paksa sesudah masa kolonial Belanda.
“Tadinya saya tidak tahu soal situs-situs yang pernah dibangun korban 1965/66. Jujur saja kalau kerja paksa yang saya tahu di masa penjajahan Jepang Belanda,” tutup Rahma.
Editor: Quinawaty
Sumber: KBR.ID
0 komentar:
Posting Komentar