Muhaimin - Rabu, 18 Oktober 2017 -
00:09 WIB
Diorama rumah penyiksaan
para jenderal pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis
Indonesia. Foto/SINDOphoto
JAKARTA - Dokumen yang telah direklasifikasi
mengungkapkan rincian baru tentang sepengetahuan dan dukungan pemerintah
Amerika Serikat (AS) atas pembantaian massal anti-Partai Komunis Indonesia
(PKI) tahun 1965. Operasi itu dijalankan militer dan massa anti-komunis.
Ribuan file dari Kedutaan Besar AS di Jakarta yang mencakup dokumen 1963-1966 diumumkan pada hari Selasa (17/10/2017) setelah sebuah deklasifikasi yang dimulai di bawah pemerintahan Barack Obama.
The Associated Press menelaah dokumen kunci dalam koleksi data sebelum peluncurannya.
Ribuan file dari Kedutaan Besar AS di Jakarta yang mencakup dokumen 1963-1966 diumumkan pada hari Selasa (17/10/2017) setelah sebuah deklasifikasi yang dimulai di bawah pemerintahan Barack Obama.
The Associated Press menelaah dokumen kunci dalam koleksi data sebelum peluncurannya.
Berkas berisi gambaran tentang operasi pembersihan
anti-PKI yang telah digambarkan oleh sejarawan dan dalam volume Departemen Luar
Negeri AS sebagai “teror”. Dokumen-dokumen itu dideklasifikasi pada tahun 2001
meskipun ada upaya dari CIA pada menit-menit terakhir untuk memblokir
distribusinya.
Pada tahun 1965, Indonesia memiliki partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah China dan Uni Soviet (sekarang Rusia). PKI kala itu memiliki anggota dalam jumlah besar. Sedangkan Presiden Soekarno pada waktu itu dikenal sebagai sosok karismatik, sosialis dan anti-Amerika.
Menurut telaah dokumen, para pejabat AS yang merasa putus asa terhadap arus komunis yang tak terbendung pada tahun 1960-an. Namun, mereka menjadi sangat gembira saat jenderal konservatif Indonesia mengenakan darurat militer di Jakarta, merebut radio pemerintah dan bersiap untuk memusnahkan PKI dengan alasan partai itu telah berusaha untuk menggulingkan pemerintah.
Dalam beberapa bulan, tentara menang dalam perebutan kekuasaan yang berujung pada lengsernya Soekarno. Sejak itu, orientasi politik Indonesia geser ke AS dan membuka pasarnya yang besar ke perusahaan-perusahaan Amerika.
Berkas yang baru dirilis tersebut menggarisbawahi pengetahuan awal, terperinci dan berkelanjutan dari Kedutaan Besar dan Departemen Luar Negeri AS tentang pembunuhan dan keinginan untuk menghindari sesuatu yang dapat menghambat tentara Indonesia. Sejarawan dalam dokumen tersebut telah menetapkan bahwa AS menyediakan daftar pejabat senior partai komunis, peralatan radio dan uang sebagai bagian dari dukungan aktif untuk tentara.
Dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa pejabat AS memiliki informasi yang kredibel. Informasi itu bertentangan dengan cerita seram soal penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal dalam pemberontakan PKI 30 September 1965, yang membuka jalan untuk pertumpahan darah di Indonesia.
Dokumen-dokumen yang secara khusus menyebutkan bahwa pembunuhan massal diperintahkan oleh Soeharto—tokoh militer yang dalam beberapa bulan merebut kekuasaan—yang kemudian memerintah Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Pada tahun 1965, Indonesia memiliki partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah China dan Uni Soviet (sekarang Rusia). PKI kala itu memiliki anggota dalam jumlah besar. Sedangkan Presiden Soekarno pada waktu itu dikenal sebagai sosok karismatik, sosialis dan anti-Amerika.
Menurut telaah dokumen, para pejabat AS yang merasa putus asa terhadap arus komunis yang tak terbendung pada tahun 1960-an. Namun, mereka menjadi sangat gembira saat jenderal konservatif Indonesia mengenakan darurat militer di Jakarta, merebut radio pemerintah dan bersiap untuk memusnahkan PKI dengan alasan partai itu telah berusaha untuk menggulingkan pemerintah.
Dalam beberapa bulan, tentara menang dalam perebutan kekuasaan yang berujung pada lengsernya Soekarno. Sejak itu, orientasi politik Indonesia geser ke AS dan membuka pasarnya yang besar ke perusahaan-perusahaan Amerika.
Berkas yang baru dirilis tersebut menggarisbawahi pengetahuan awal, terperinci dan berkelanjutan dari Kedutaan Besar dan Departemen Luar Negeri AS tentang pembunuhan dan keinginan untuk menghindari sesuatu yang dapat menghambat tentara Indonesia. Sejarawan dalam dokumen tersebut telah menetapkan bahwa AS menyediakan daftar pejabat senior partai komunis, peralatan radio dan uang sebagai bagian dari dukungan aktif untuk tentara.
Dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa pejabat AS memiliki informasi yang kredibel. Informasi itu bertentangan dengan cerita seram soal penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal dalam pemberontakan PKI 30 September 1965, yang membuka jalan untuk pertumpahan darah di Indonesia.
Dokumen-dokumen yang secara khusus menyebutkan bahwa pembunuhan massal diperintahkan oleh Soeharto—tokoh militer yang dalam beberapa bulan merebut kekuasaan—yang kemudian memerintah Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Kabel diplomatik 21 Desember 1965 dari sekretaris pertama kedutaan, Mary Vance Trent, ke Departemen Luar Negeri AS menyebut bahwa peristiwa itu sebagai ”peralihan fantastis yang telah terjadi selama 10 minggu yang singkat”. “Ini juga termasuk perkiraan bahwa 100.000 orang telah dieksekusi,” bunyi dokumen AS.
Menurut kabel diplomatik itu, di Bali sendiri ada sekitar
10.000 orang terbunuh pada pertengahan Desember, termasuk orang tua dan sanak
keluarga yang sejatinya jauh dari keterkaitan dengan gubernur pro-komunis. Dua
bulan kemudian, kabel kedutaan lain menyebutkan bahwa pembunuhan di Bali telah
membengkak menjadi 80.000 orang.
Sebuah kabel diplomatik yang merupakan bagian dari volume Departemen Luar Negeri tahun 2001 menunjukkan bahwa pada bulan April 1966, kedutaan AS ragu-ragu tentng skala pembunuhan massal anti-PKI.
Sebuah kabel diplomatik yang merupakan bagian dari volume Departemen Luar Negeri tahun 2001 menunjukkan bahwa pada bulan April 1966, kedutaan AS ragu-ragu tentng skala pembunuhan massal anti-PKI.
”Kami terus terang tidak tahu apakah (jumlah) sebenarnya mendekati 100.000 atau 1.000.000. Bahkan pemerintah Indonesia hanya memiliki ‘gagasan samar-samar’ dari jumlah sebenarnya,” bunyi kabel diplomatik tersebut.Rilis dokumen yang dirahasikan AS selama bertahun-tahun ini bertepatan dengan bangkitnya retorika anti-komunis di Indonesia.
(mas)
0 komentar:
Posting Komentar