Senin, 02 Oktober 2017

"Tujuh Setan Desa", Kampanye PKI untuk Aksi Sepihak


Senin, 2 Oktober 2017   08:20 PM

Sebagai pemilik tanah, para kiai secara tersirat dilukiskan sebagai setan

GARDANASIONAL—Menurut mendiang sejarahwan Onghokham, boleh dibilang pemberlakuan UU Pokok Agraria (UUPA) pada 1960 telah menguntungkan keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu.

Bersamaan dengan UU itu diberlakukan pula Undang-undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH). Kedua UU tersebut merupakan keberhasilan PKI dalam politik nasional. Tetapi penerapannya di tingkat daerah, sebagaimana ditulis detil Olle Tornquist dalam ‘Dilemmas of the Third World Communism; The Destruction of the PKI in Indonesia’—kacau. Akibatnya muncul banyak pertikaian antara tuan tanah dan petani penggarap, khususnya di tempat-tempat yang ketegangannya telah begitu tinggi.

PKI melihat pelaksanaan UUPA dan UUPBH itu terlalu lamban. Secara nasional mereka mendorong pengikutnya untuk melakukan aksi sepihak melaksanakan kedua UU tersebut. Di Kediri, PKI mendesak bupati agar menginstruksikan para kepala desa mempercepat pelaksanaan kedua UU itu. Pada saat aksi sepihak itulah kemudian banyak korban berjatuhan.

Dalam mendorong aksi sepihak itu PKI melakukan kampanye dan agitasi. Aidit dan PKI, misalnya, menempatkan para pemilik tanah (tuan tanah) sebagai salah satu dari ‘tujuh setan desa’. Sebagai pemilik tanah, para kiai secara implicit dilukiskan sebagai setan. Ini jelas tantangan langsung terhadap komunitas santri dan petani yang memiliki hubungan langsung atau tak langsung dengan kiai dan pesantrennya.

Dua insiden yang berkaitan dengan—dalam terma PKI, ‘tuan tanah jahat’ dan patra anteknya melawan pengikut PKI terjadi di Kediri pada Juni 1962. Didorong kebijaksanaan PKI untuk melakukan aksi sepihak, ratusan anggota PKI mengambil-alih sepetak tanah di Grogol milik Haji Syakur yang tinggal di Kaliboto—karena itu dianggap tuan tanah absentee.

Kedua pengambilalihan tanah milik Haji Syamur di Kentjong. Kedua tuan tanah itu adalah anggota aktif NU dan memiliki hubungan dekat dengan Pesantren Lirboyo, sehingga kedua kasus itu segera mengundang keterlibatan pihak-pihak yang lebih luas. Setelah mengambil-alih tanah, ratusan anggota PKI segera membajak tanah tersebut hingga ratusan anggota NU datang untuk mengambil-alih kembali.

Berita ‘keberanian’ rekan-rekan mereka mengambil-alih tanah itu beredar luas di kalangan PKI. Bagi anggota PKI tak penting apakah mereka berhasil mengambil alih tanah atau tidak. Yang lebih pentng, mereka berhasil membuka peluang untuk mendapatkan tanah secara gratis.

Ada pula peristiwa Jengkol yang karena membawa korban jiwa menjadi kasus besar secara nasional. Saat itu Pabrik Gula Jengkol bermaksud mengambil-alih lahan kosong tak bertuan yang telah lama digarap para petani Desa Jengkol. Karena kemiskinan merebak luas, kebanyakan petani itu merupakan anggota Barisan Tani Indonesia –BTI, organisasi bawahan PKI. Sayangnya, rencana pemberian kompensasi dan pemindahan para petani itu selalu gagal.

Akhirnya, November 1961 pihak perkebunan mengirim traktor ke lahan tersebut, dengan pengawalan tentara.

Di sana mereka menghancurkan segalanya, termasuk gubuk-gubuk penduduk. Merasa dikhianati, penduduk melawan dan menyerang balik. Saat itulah, Mayor Hambali, komandan Kodim setempat memerintahkan anak buahnya menembaki mereka.

Dalam catatan Prof Hermawan Sulistyo, 10 hingga 15 orang terbunuh, termasuk Latini, seorang ibu yang sedang hamil, sementara 24 orang lainnya luka-luka, termasuk Sundarjati, seorang wanita yang kehilangan sebelah mata akibat tembakan.

Setahun kemudian, saat digelarnya pengadilan untuk mengadili para petani yang dianggap bersalah atas kerusuhan, ribuan orang datang menyaksikan pengadilan itu. Persoalan tersebut kemudian menjadi berlarut-larut dan terjadi pula di berbagai daerah lain.

Memasuki 1965, setelah dikeluarkannya Deklarasi Bogor—yang diumumkan dalam suatu konferensi yang dihadiri sepuluh wakil partai politik yang digelar Presiden Soekarno di Istana Bogor untuk menegaskan bahwa pertikaian mengenai land reform harus diselesaikan melalui consensus dan bukan konflik— menurut Rex Mortimer, PKI kemudian menerapkan cara yang lebih halus. [ ]

0 komentar:

Posting Komentar