Kompas.com - 05/10/2017, 19:42 WIB
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan ke-508 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (5/10/2017). Dalam aksi yang bertepatan dengan HUT ke-72 TNI tersebut para aktivis menyuarakan pentingnya pengadilan HAM bagi siapapun dari unsur militer yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM di Tanah Air. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/kye/17.
PADA 3 Oktober 2017, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menetapkan 7 (tujuh) anggota Komnas HAM RI terpilih periode 2017-2022.
Penetapan itu dilakukan setelah melalui serangkaian fit and proper testyang dimulai dari penyusunan makalah sampai proses wawancara terhadap 14 (empat belas) calon. Merujuk latar belakang calon terpilih, secara umum adalah pegiat HAM melalui berbagai lembaga swadaya masyarakat, akademisi, advokat, dan petahana.
Ketujuh orang yang lolos seleksi menjadi anggota Komnas HAM tersebut adalah Mohammad Choirul Anam, Beka Ulung Hapsara, Ahmad Taufan Damanik, Munafrizal Manan, Sandrayati Moniaga, Hairansyah, dan Amiruddin Al Rahab.
Salah satu hal yang paling menonjol dan mendapat perhatian Komisi III DPR RI adalah dorongan bagi calon terpilih untuk menuntaskan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
Meskipun disadari bahwa penuntasan pelanggaran HAM yang berat, terutama membawa pelaku untuk disidangkan di Pengadilan HAM sekaligus pemulihan hak-hak korban, bukan tanggung jawab mereka semata, akan tetapi juga memerlukan niat politik pemerintah.
Namun demikian, independensi, sikap tegas, dan kemampuan berkoordinasi sekaligus “berkonfrontasi” dari perspektif hukum dan HAM dengan Kejaksaan Agung RI dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, menjadi keharusan yang tidak bisa dihindari.
Sebagai catatan, masih terdapat 8 (delapan) kasus pelanggaran HAM yang berat yang penuntasannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan.
Di antaranya: Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Triksakti, Semanggi I dan Semanggi II, dan Peristiwa Wasior, dan Peristiwa Wamena.
Sedangkan saat ini proses penyelidikan yang masih berjalan adalah Kekerasan Paniai 2014, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998–1999 dan beberapa lainnya yang terjadi di Aceh.
Untuk menghadapi tantangan tersebut maka diperlukan kemampuan dari para calon terpilih yang setidak-tidaknya:
Pertama, sebagai implementasi dari Prisip-prinsip Paris 1993 kepada Institusi Nasional Hak Asasi Manusia (NHRI), maka diperlukan sikap idependensi dari anggota yang terpilih. Tindakan tersebut harus imparsial dan objektif, tidak hanya mengikuti keinginan penguasa yang direpresentasikan pemerintah, akan tetapi benar-benar mempedomani instrumen HAM dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.
Pertama, sebagai implementasi dari Prisip-prinsip Paris 1993 kepada Institusi Nasional Hak Asasi Manusia (NHRI), maka diperlukan sikap idependensi dari anggota yang terpilih. Tindakan tersebut harus imparsial dan objektif, tidak hanya mengikuti keinginan penguasa yang direpresentasikan pemerintah, akan tetapi benar-benar mempedomani instrumen HAM dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.
Perlu disadari pula pada 2019 akan menjadi tahun politik berupa pemilihan Presiden – Wakil Presiden RI yang menjadikan penyelesaian pelanggaran HAM menjadi komoditas, untuk itu perlu benar-benar menjaga independensinya.
Kedua, memiliki kemampuan analisis hukum dan HAM yang mumpuni, mengingat bahwa dalam proses penyelidikan dan penuntasan pelanggaran HAM yang berat memiliki kekhususan, baik dari aspek materiil maupun formil yang berbeda dengan hukum pidana.
Tingkat kompleksitas pembuktian juga memperlukan penanganan yang serius, terlebih lagi untuk membuktikan adanya unsur sistematis dan meluas sebagai prasyarat untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran HAM yang berat.
Ketiga, keahlian dalam komunikasi dan menjaga marwah kelembagaan, hal ini menjadi salah satu prasyarat karena dalam proses penuntasan pelanggaran HAM yang berat secara umum selalu bersinggungan dengan kekuasaan, Aparat Penegak Hukum dan pihak-pihak yang memiliki otoritas yang kuat. Apabila hal-hal tersebut tidak dimiliki, maka akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan mandat, terutama aspek penyelidikan.
Penyelesaian Pelanggaran HAM
Tantangan lain yang harus mulai dipikirkan dari calon anggota terpilih adalah memiliki visi dan konsep penyelesaian pelanggaran HAM yang terkait aspek korporasi, pemerintah (pusat dan daerah), serta aparat Kepolisian. Sebab ragam itulah yang mendominasi pengaduan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun belakangan ini.
Maka dampak yang muncul adalah dinamika atau gesekan dengan kelompok rentan, terutama pemilik lahan, masyarakat adat, korban penggusuran, konflik buruh dan problem Tenaga Kerja Asing (TKA), serta potensi konflik sosial yang dalam penanganan yang biasa dilakukan pendekatan keamanan.
Anggota terpilih juga harus mampu bersikap pada isu yang sangat sensitif, misalnya pembangunan pabrik semen di Rembang, reklamasi di Teluk Jakarta dan Bali, pelibatan tenaga kerja asing pada proyek infrastruktur dan pertambangan untuk pekerjaan yang bukan ahli, penggusuran dengan dalih untuk kepentingan pembangunan, dan lain sebagainya.
Sikap atas Papua
Papua selalu menjadi objek sorotan, baik dalam dan luar negeri, terutama menyangkut aspek HAM. Diakui bahwa sejak lebih dari satu dekade, Papua telah mendapat alokasi dan perhatian pemerintah yang cukup besar, terutama aspek pembangunan fisik dan penyerahan Otonomi Khusus (Otsus).
Akan tetapi kenyataannya provinsi ini tetap tertinggal, kesenjangan sosial dengan warga pendatang masih terjadi. Aspek pemenuhan hak sipil dan politik juga selalu menjadi sorotan, terutama berkaitan dengan kekerasan terhadap masyarakati.
Bahkan peristiwa terakhir terjadi di Desa Oneibo, Distrik Tigi, Kabupaten Deiyai, Papua yang menyebabkan korban jiwa dari unsur masyarakat.
Dengan demikian, maka calon terpilih perlu ada yang memahami dan memitigasi persoalan HAM di Papua dan Papua Barat. Pendekatan yang coba dilakukan pemerintah dengan mekanisme pembangunan fisik, tampaknya belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat Papua.
Tuntutan penuntasan pelanggaran HAM masih kerap disampaikan, baik forum nasional dan internasional. Untuk itu, perlu dibangun kerangka dialog yang konstruktif untuk mencari solusi-solusi yang komprehensif.
Selain itu, pembentukan Komnas HAM Perwakilan Papua Barat yang sudah ditetapkan oleh Sidang Paripurna, perlu segera diimplementasikan oleh calon terpilih di lapangan guna merespon tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM.
Dengan demikian, diharapkan calon terpilih benar-benar melaksanakan mandatnya dengan fokus pada tantangan-tantangan strategis tersebut, meminjam slogan pemerintah saat ini adalah kerja, kerja dan kerja dengan fokus pada outocome. Jadi selamat bekerja dan bekerja bersama …………
___
*Agus Suntoro, Pemantau dan Penyelidik Komnas HAM RI
0 komentar:
Posting Komentar