Kamis, 05 Oktober 2017

Aksi Gerwani dan Serikat-Serikat Perempuan Lainnya

Reporter: Patresia Kirnandita | 05 Oktober, 2017

Gerwani menunjukkan dukungan mereka untuk masuknya Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia. FOTO/Istimewa
  • Gerwani adalah organisasi progresif di zamannya, salah satunya tegas menolak poligami
  • Suara Ibu Peduli (1998) menunjukkan perempuan punya hak bersuara, dengan cara yang bisa dipahami massa
Ada ragam tujuan yang disasar oleh organisasi dan gerakan perempuan di Indonesia dari masa ke masa.

Sabtu pagi (4/3/2017), Taman Aspirasi Monas tampak tak lengang. Ratusan orang yang datang dari berbagai komunitas, organisasi massa, serta perorangan memadati ruang publik itu. Sebelumnya, mereka berjalan dari Sarinah, Thamrin, menuju tempat berkumpul sembari membawa spanduk dan poster dengan ragam tulisan:  

“Jangan Atur Tubuhku!”

“End Child Marriage Now!”

“A Woman’s Place is In The Resistance.”

“Selamatkan Perempuan dan Anak-Anak dari Bencana Iklim." 

Hari itu, mereka berhimpun dalam Women’s March Jakarta untuk menyambut Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret.

Women’s March Jakarta adalah hanyalah satu dari sekian banyak aksi yang dijalankan organisasi-organisasi perempuan di Indonesia yang menggemakan semangat feminisme. Berdekade-dekade sebelumnya, telah banyak bermunculan gerakan dan organisasi perempuan yang mengusung ragam agenda. 

Pada setiap era, ada fokus perhatian berbeda yang diambil oleh mereka. Namun, satu hal yang menjadi benang merah aktivisme organisasi-organisasi perempuan tersebut: membela HAM dan menyudahi diskriminasi berbasis gender.

Melihat ke Belakang

Dalam catatan Susan Blackburn (2007), organisasi-organisasi perempuan di Indonesia telah dibentuk sejak awal abad ke-20. Pada Kongres Perempuan I yang diadakan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928, terdapat puluhan organisasi perempuan yang diutus hadir, baik religius maupun nonreligius. Putri Mardika—bagian dari Budi Oetomo—yang didirikan pada 1912 adalah salah satunya. Organisasi ini mengusung agenda memajukan pendidikan anak-anak perempuan.

Sejak Kongres Perempuan I ini, masalah perempuan dalam perkawinan telah dibicarakan. R.A. Soedirman dari organisasi Poetri Boedi Sedjati misalnya, berbicara tentang bagaimana perempuan dapat dikawinkan oleh orangtuanya, kemudian harus tunduk kepada suaminya, dan dapat dicampakkan kapan saja oleh sang suami. 

Sementara perwakilan Poetri Indonesia mengkritik praktik perkawinan anak-anak yang berlangsung pada masa itu. Perkara poligami juga telah dibicarakan dalam kongres tersebut. Sebagian peserta kongres membela hukum perkawinan Islam, termasuk poligami, sedangkan lainnya justru dengan keras menentang.

Pada masa-masa berikutnya, wacana tentang poligami juga menjadi hal yang disoroti oleh organisasi-organisasi perempuan lain. Gerwani yang muncul pada pertengahan abad 20 merupakan organisasi yang vokal mendukung monogami. Dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, Saskia E. Wieringa (2010) menulis, Gerwani memandang poligami dan kawin paksa sebagai kejahatan sosial utama. 

Mereka berkaca dari Tiongkok dan Uni Soviet yang dianggap memperlakukan perempuan lebih baik karena adanya undang-undang perkawinan yang menjamin monogami.

Bukan hanya isu poligami saja yang menjadi fokus Gerwani dalam mengadvokasi hak perempuan. Organisasi tersebut juga melakukan protes terhadap praktik pergundikan serta pelecehan dalam perkawinan. Lebih lanjut, Gerwani mengagendakan perjuangan perempuan untuk mendapat hak setara dalam perkara tanah, mendapatkan kesempatan serupa laki-laki dalam pekerjaan, serta mendapat hak menduduki jabatan politik.

Sebelum berubah nama menjadi Gerwani, organisasi ini menamakan diri Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar). Kursus pemberantasan buta huruf dan penyediaan tempat penitipan anak adalah segelintir program yang dijalankan oleh Gerwis.

Terkait aktivisme Gerwani, Tirto mewawancarai Olin Monteiro, aktivis perempuan dari Peace Women Across The Globe (PWAG) Indonesia. Organisasi tempat Olin terlibat berfokus pada riset, dokumentasi dan pengetahuan perempuan.

“Secara pribadi aku menyayangkan pelarangan dan pengekangan aktivitas Gerwani karena situasi politik pada 1965 hingga sekarang. Kami sangat mengecam pembunuhan dan stigma terhadap Gerwani karena masyarakat tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi dulu,” ungkap Olin kepada Tirto dalam keterangan tertulis.

Perempuan yang menjadi Koordinator acara Women’s March ini juga menyatakan, pendidikan Sejarah di Indonesia perlu diperbaiki, khususnya terkait hal-hal negatif yang dilekatkan dengan Gerwani. Ia menilai, Gerwani memiliki kontribusi pada gerakan perempuan pada masa lampau.

Berkaca dari agenda-agenda organisasi-organisasi terdahulu, sejumlah isu serupa masih menjadi perhatian utama saat ini. Kekerasan fisik dan seksual  contohnya, menjadi sorotan utama CATAHU 2017 Komnas Perempuan. Sementara dari kelompok berafiliasi Islam, terdapat Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang diadakan  April 2017 lalu. 

Agenda yang dibawa oleh para ulama perempuan ialah pengentasan masalah perkawinan anak, perkawinan paksa, dan perusakan lingkungan serta dampaknya terhadap perempuan. Isu poligami juga sempat diperbincangkan oleh Dr. Nur Rofiah Bil Uzm pada acara tersebut. Menurutnya, poligami bukanlah tradisi Islam.

Sekalipun memiliki irisan, makna pembebasan perempuan yang diusung organisasi-organisasi dari waktu ke waktu terus bergerak. 

"Makna pembebasan perempuan mengikuti perspektif waktu dan ruang. Makna pembebasan perempuan pada awal sampai pertengahan abad ke-20 berbeda dengan abad milenium. Makna pembebasan pada geopolitik jajahan berbeda dengan Eropa Kontinental, atau metropolitan Jakarta berbeda dengan Merauke," demikian papar Ruth Indiah Rahayu, aktivis perempuan dan feminis pada Federasi Serikat Buruh Karya Utama dan Partai Rakyat Pekerja.

Ragam Agenda, Satu Cita-Cita

Perkara kebutuhan anak seperti susu menjadi hal yang nyaris tidak terpisahkan dari kehidupan perempuan. Pada tahun 1998, terjadi lonjakan harga susu anak hingga 400 persen. Suara Ibu Peduli  (SIP) muncul sebagai inisiatif dari Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) untuk mengurangi beban perempuan memenuhi kebutuhan krusial anak ini. Caranya, dengan menjual susu murah.

Apakah agenda SIP memang demikian sedari awal?

Gadis Arivia yang berafiliasi dengan YJP dalam penjelasannya mengenai Suara Ibu Peduli mengatakan bahwa ide awal pembentukan SIP adalah berkampanye menentang kekerasan terhadap perempuan. Menurutnya, SIP adalah gerakan politik pada masa awal reformasi yang bertujuan mendorong perempuan untuk terlibat dalam perubahan politik.

Pertemuan demi pertemuan dilakukan oleh staf YJP dan sejumlah aktivis perempuan lainnya, dan pembahasan pun bergulir ke rencana berdemonstrasi untuk melawan rezim Orde Baru.

Melakukan pergerakan tentunya butuh strategi tersendiri. Pada salah satu pertemuan, mereka memutuskan menggunakan kata “ibu-ibu” sebagai strategi kamuflase. Pada masa pemerintahan Soeharto, bahasa yang lebih kerap digunakan adalah “wanita” dan simpati cenderung diberikan kepada kegiatan ibu-ibu seperti Dharma Wanita. Alih-alih menggunakan nama Suara Perempuan Indonesia, para penggagas pun lebih memilih nama Suara Ibu Peduli untuk gerakannya.

Perlawanan terhadap Orde Baru yang dilakukan SIP pun tak ingin terlihat begitu frontal. Bukan spanduk bertuliskan “Turunkan Suharto” yang mereka pilih, melainkan menciptakan citra sebagai gerakan yang benar-benar peduli kebutuhan masyarakat (perempuan) saat itu, yakni susu anak. 

Intinya, Gadis dan sejumlah aktivis perempuan lainnya pintar-pintar memainkan “tanda” untuk menjalankan aktivisme mereka. Bagi mereka yang jeli, perjuangan SIP tidak berhenti pada “ibu-ibu” dan aktivisme membagikan susu serta makanan murah, tetapi pada penekanan pentingnya demokrasi, HAM, dan kebebasan menyatakan pendapat.

Selain perkara partisipasi perempuan dalam kegiatan politik, isu lain yang diangkat organisasi perempuan ialah lingkungan. Salah satu organisasi pengusung agenda tersebut ialah Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Simbar Wareh yang dibentuk tahun 2009. Mereka menentang rencana eksplorasi dan eksploitasi Pegunungan Kendeng Utara, Pati, untuk pabrik semen.

Aksi Gerwani dan Serikat-Serikat Perempuan Lainnya
Mengapa perempuan perlu peduli isu lingkungan? Karena perempuan jadi pihak yang terdampak pertama kali ketika kerusakan lingkungan terjadi. Dalam kasus petani-petani perempuan di Kendeng yang memprotes pembangunan pabrik semen, sumber air bersih dan ketersediaan tanah untuk bercocok tanam adalah hal krusial untuk melangsungkan hidupnya dan keluarga. 

Meski memiliki agenda bervariasi, cita-cita yang ingin diraih organisasi dan gerakan perempuan tetaplah satu.  Perbedaan agenda juga tidak menghalangi organisasi-organisasi perempuan bergandengan dan mengadakan kegiatan bersama. Women’s March pada Maret dan Feminist Festival pada Agustus silam adalah contoh kegiatan yang dilakukan dengan kerja sama berbagai organisasi perempuan. Konsolidasi macam inilah yang sangat memfasilitasi pencapaian-pencapaian pihak-pihak yang mengadvokasi hak perempuan.

Bukan hanya sesama organisasi perempuan saja yang perlu digandeng untuk membebaskan perempuan dari ketidakadilan. Menurut Ruth, dibutuhkan pula kerja sama antara organisasi perempuan dan organisasi yang memperjuangkan masalah perburuhan, petani, lingkungan, HAM, dan lainnya untuk mencapai gol ini. 

"Setelah reformasi, gerakan perempuan juga mengembangkan strategi kerja sama dengan penyelenggara negara, baik legislatif maupun eksekutif, untuk mewujudkan kebijakan yang adil bagi perempuan," imbuh Ruth.

Dalam perjalanan mereka, tentu ada tantangan yang dihadapi. Olin mengatakan, tantangan yang dihadapi di organisasinya ialah perkara waktu dan manajemen organisasi. Banyak program yang ingin dijalankan oleh organisasi-organisasi perempuan, sementara waktu begitu terbatas. Kesibukan tiap organisasi perempuan inilah yang sering menyulitkan kerja jaringan yang menuntut persiapan matang dalam jangka waktu panjang.

“Lalu ada masalah manajemen, apalagi dengan teman di pulau-pulau lain. Ada perbedaan iklim, cara, dan komitmen kerja antara kami. Menyamakan perbedaan organisasi dan cara manajemen kerja organisasi bukanlah hal yang mudah,” jelas Olin. Ia juga menambahkan, dibutuhkan waktu yang cukup panjang dalam proyek jaringan organisasi karena konten-konten yang diusung tiap organisasi beragam.

Perkara perbedaan cara pandang mengenai isu yang penting diangkat menurut Olin adalah bentuk dinamika gerakan organisasi-organisasi perempuan.

Isu poligami tadi misalnya. Pada dekade-dekade sebelumnya, masih ada yang tidak berkeberatan dengan hal ini. Namun pada saat bersamaan, ada organisasi yang teguh menentang praktik ini. Lantas beranjak ke masa sekarang, isu yang sama ditanggapi dengan perspektif atau argumen yang berbeda. 

Pro-kontra tentu masih ada. Namun, satu yang pasti, tidak semua perkumpulan perempuan otomatis mengusung semangat feminisme. Olin berpendapat, suatu organisasi dikatakan melakukan aktivisme bila yang diagendakan adalah perjuangan membela HAM dan keadilan gender. 

Anda progresif ketika berupaya menolak poligami, juga penindasan perempuan di ruang-ruang produksi/kerja. Anda adalah feminis ketika memperjuangkan hak-hak reproduksi dan seksualitas. Anda pejuang ketika mengupayakan imunisasi dan tak membikin pembedaan pendidikan yang layak bagi putra-putri Anda. 

Serikat tempat Anda bergabung adalah kelompok feminis jika menyuarakan keadilan bagi perempuan; melihat perempuan secara penuh sebagai manusia dan bukan gender kelas dua. 
Sumber: Trito.Id 

0 komentar:

Posting Komentar