Eko Prasetyo
Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS Al Hujurat (49): 6)
Kebenaran itu alami, tetapi berbohong perlu usaha serta pikiran yang tajam dan luwes (Bruno Verschuere)
Di Negeri yang tanpa sejarah, masa depan dikuasai oleh mereka yang menguasai ingatan, yang merumuskan konsep dan menafsirkan masa lalu (Michael Sturner)
Orang yang bodoh waspada terhadap segala sesuatu kecuali dirinya sendiri (Plato)
SOEHARTO memang sudah dikubur. Makamnya tak banyak pengunjung. Museumnya juga sunyi dari tamu. Mungkin orang malas mendoakannya. Bisa jadi orang enggan mengingatnya. Tapi itu tak membuat Soeharto hilang dari ingatan. Film tentangnya akan diputar kembali. Soeharto yang berkaca mata dan berbaju tentara. Melihat mayat tujuh jendral yang dibuang di Lubang Buaya. Disana ia berdiri sebagai pahlawan. Dipuja banyak orang karena meyakini PKI sebagai biang keladi semuanya. PKI yang menculik Jenderal. PKI yang buat ekonomi jadi merana. PKI yang telah merusak segalanya. Ibarat jagoan, Soeharto memiliki kemampuan sempurna: mengubah PKI dari partai biasa jadi musuh abadi semua orang Indonesia. Kisah palsu itu kini ditayangkan kembali dan semua orang diharapkan menontonnya. Cerita bohong hendak beredar lagi.
Hantu komunis itu didaur ulang dengan cara lama. Ditiupkan kepercayaan kalau komunis sedang berusaha tegak. Mungkin akan berontak, mungkin akan menculik dan bisa jadi akan membunuhi tokoh agama. Tere Liye mengumpamakan bangkitnya PKI dengan rejim Pol Pot. Bunuh jutaan orang dengan keji. Fantasinya melompat dari masa silam ke masa depan. Seolah PKI sudah ada di balik pintu dan akan menikam satu persatu. Tak hanya itu PKI bisa memecah hubungan persaudaraan. PKI mungkin melebihi iblis kekejiannya[1]. Seorang ilmuwan politik juga komentar sinis soal temuan tak ada siksaan. Katanya temuan itu salah. Secara sederhana semua berujung pada kesimpulan sama: PKI berontak. Film Pengkhianatan itu bukti paling sahih. Padahal secara kisah banyak kritik atas film itu. Juga banyak adegan yang merusak fakta: posisi Bung Karno hingga peran penting petinggi PKI. Namun semua itu dibungkus oleh keyakinan buta bahwa film itu penting dan tak ada kebohongannya. Mungkin kita pantas bertanya mengapa kebohongan bisa tampil percaya diri pada saat ini?
Orang menyukai kebohongan selama itu menguntungkan keadaan. Begitulah yang terjadi hari ini: upaya untuk memintai pertanggung jawaban atas pembunuhan massal mulai mencuat. Kisah sebenarnya atas apa yang terjadi di malam 30 September terkuak terang-benderang. Bahwa ada konflik di tubuh militer[2] sekaligus tak ada penjagalan yang dilakukan oleh Gerwani[3]. Malahan PKI beserta simpatisan dan warga tak bersalah dibunuhi dengan keji. Investigasi bahkan film tentang pembantaian itu ditonton di banyak tempat. Salah satunya yang populer film Jagal dan Senyap karya Joshua Oppenheimer. Kala kebenaran itu terkuak maka pelaku yang terlibat mulai salah tingkah. Tak hanya pelaku tapi sistem politik yang bertumpu pada kisah PKI bisa berantakan. Ketakutan pada kebenaran itu membuat upaya untuk mencipta dalih muncul. Bangkitnya PKI jadi panggung sempurna untuk memenuhi keinginan itu. Film Pengkhianatan G30S jadi referensi satu-satunya untuk menyalahkan PKI. Kebohongan itu dibangun untuk menyelamatkan muka para pembunuh bersama sistem politiknya.
Kebohongan film itu disusun untuk menutupi cela yang terlanjur terbuka. Secara ilmiah hal itu didokumentasikan oleh Bella DePaulo, psikolog sosial yang meneliti tentang kebohongan. Riset itu dilakukan dengan meminta 147 orang dewasa dalam upaya mengelabui orang lain. Ternyata hasilnya mengejutkan: banyak orang meyakini sebagian dusta, meski dusta itu bertentangan dengan bukti yang gamblang. Serupa dengan evolusi strategi pengecohan di dunia hewan, kamuflase: ‘Berbohong sangatlah mudah, ketimbang cara-cara lain memperoleh kekuasaan’ karena tiap orang begitu mudah percaya jika sumber informasi itu dari mereka yang mendapat otoritas. Film Pengkhianatan itu bermula dari pesanan penguasa. Maka Soeharto dengan riang memutuskan untuk mewajibkan siapa saja menonton film Pengkhianatan itu: kekuasaanya saat itu berusaha mencipta mitos tentang PKI sebagai organisasi kumpulan para monster. Di film itu Soekarno jadi pihak yang lemah dan salah. Kebohongan itu bahkan membuat kecewa salah satu keluarga Jenderal yang diculik[4].
Tapi mengapa kebohongan itu digemari? Riset kebohongan meneliti lebih jauh: dengan memulai uji coba soal panjang garis maka banyak partisipan ‘membenarkan’ garis yang keliru karena sebagian besar punya sikap serupa. Bohong itu dipercayai karena banyak orang meyakini. Soeharto dulu dengan mahir mengolah isu PKI untuk segala soal yang dihadapi dan tak dapat diatasinya. Keyakinan pada PKI jadi massal dan tuduhan atasnya dianggap kebenaran umum. Kenapa kebohongan itu bisa mudah dipercaya? Dalilnya sederhana tak mungkin orang banyak berbohong. Yang merisaukan dari riset ini: ketika dihadapkan pada pandangan mayoritas, banyak orang tidak hanya akan mengadaptasi pandangan itu untuk dirinya sendiri: mereka juga akan meyakinkan diri sendiri, orang lain, akan kebenarannya[5]. Rumus itulah yang jadi kebijakan Soeharto dalam memutar film Pengkhianatan 30 September dan hal ini mau diulang lagi. Setidaknya mereka yang ingin mengulang pemutaran film itu meng-imaginasi kan kalau ‘penonton’ bisa ‘diyakinkan’ lagi. Secara aktif mereka ingin mengulang kembali. Mereproduksi kebohongan secara massal guna ‘membenarkan’ keyakinan yang mereka percayai.
Percaya kalau PKI brengsek. Meyakini bahwa PKI bisa bangkit. Malah PKI dapat terbit dengan keinginan yang sama: menculik. Kepalsuan keyakinan itu muncul melalui banyak perantara: media sosial atau ceramah seorang yang mengaku sebagai ahli PKI. Hebatnya, kebanyakan para pembohong punya keyakinan seragam: semua orang mudah dibohongi karena mereka ingin kepuasan informasi. Meski tak benar tapi PKI adalah informasi yang bisa menyatukan apapun dan apa saja. Jikalau ada masalah yang sulit diatasi maka PKI bisa jadi sumber penyebabnya. PKI tak lagi sekadar organisasi di masa silam tapi sumber persoalan hari ini dan masa depan. Bayangkan cara berfikir gila seperti ini kalau menjamur akan memudahkan massa hidup di alam rimba. Sebut siapa saja PKI maka halal orang itu untuk dianiaya. Cara pikir yang punya dampak pada rusaknya ketrampilan kognitif dan keseimbangan emosional. Lantas kenapa orang gampang menularkan kebohongan ini?
Psikolog Nobuhito Abe di Kyoto mencoba mengurai otak orang yang suka bohong[6]. Risetnya memberi hasil yang unik: ketamakan dapat membuat orang lebih suka berbuat bohong. Dengan memindai otak para pembohong dirinya mendapatkan bukti kalau nucleus accumbens-struktur pada otak depan basal yang memegang peran penting dalam pemrosesan imbalan-kian aktif jika berbuat curang. Singkatnya, para pembohong melakukan tindakannya karena ada imbalan yang menggembirakan. Soeharto dulu mengail keuntungan dengan pemutaran film itu: trauma atas kata PKI hingga menggunakan kata PKI sebagai bahasa cacian. Berhasil Soeharto dalam membuat rangkaian horor tentang 30 September sehingga dibangun monumen kekejian yang diperingati tiap akhir September[7]. Lebih dari itu tiap kritik, gugatan bahkan kesangsian atas kebijakan Soeharto serta merta akan di cap sebagai PKI. Membayangkan dusta selama 32 tahun diproduksi terus-menerus membuat informasi yang benar sekalipun akan mudah dihapus. Mereka yang hobi berbohong dan didukung oleh posisi, pangkat, otoritas mampu menciptakan apa yang dikatakan-meski dusta-jadi mudah diterima. Soeharto saat itu sukses menggelar kebohongan tersebut dan ironisnya mau dilanjutkan lagi oleh para fansnya.
Mengumpan. Kredit ilustrasi: Alit Ambara
Kajian kebohongan menunjukkan hal ini: ‘Orang cenderung menganggap informasi yang sering didengar itu benar. Jadi setiap kali kita membantahnya, kita beresiko mempersering kemunculan informasi itu, yang ironisnya malah mengurangi keefektifan bantahan itu dalam jangka panjang’. Tentu ini riset psikologis yang memberitahu tentang kekuatan berita bohong. Namun riset ini berguna untuk menguak resiko yang bisa muncul jika orang terus-menerus terpapar kebohongan. Otak terbiasa menelan informasi palsu hingga dirinya berada dalam situasi yang dinamakan: otaknya beku dalam waktu. Kita ingat akan penculikan para Jenderal, diseret di atas lantai berdarah, kemudian dilucuti dengan iringan nyanyian hingga dimasukkan dengan bengis ke sebuah lubang. Film brutal itulah yang mau disantap oleh warga, yang menurut penuturan Panglima TNI: buta sejarah. Padahal melalui adegan yang dulu ditonton berulang-ulang itu menciptakan kebiasaan berfikir yang manipulatif. Menyalahkan pada PKI dan terbiasa menilai keonaran yang muncul sebagai ulah PKI. Pada saat itulah otak dan kesadaran kritis kita mogok karena secara rutin disuapi oleh informasi keji tentang malam 30 September.
Kini mengapa kebiasaan buruk itu mau dihidupkan lagi? Karena aktivitas ini hendak mengubah kebenaran yang kini sedang ditaburkan. Banyak anak-anak muda mulai percaya bahwa kisah tentang PKI tak seburuk itu. Mereka yang lebih melek informasi, terbuka menerima pandangan baru dan tak mudah didoktrin begitu saja. Bahkan secara berani mereka memutar film tentang pembantaian orang-orang yang kena tuduh PKI atau malah membuat film edisi millenial soal G 30 S. Langkah ini menguatirkan dan makin mengancam. Hanya untuk menentangnya perlu serangan yang masuk akal. Salah satunya memutar film itu. Inilah yang disebut dengan upaya untuk ‘menyamarkan’ maksud[8]. Disebutlah dengan lupa sejarah. Padahal film Pengkhianatan adalah peragaan lupa yang sebenarnya: lupa bahwa Soekarno saat itu dibuat tak berdaya, lupa kalau Soeharto diuntungkan oleh keadaan dan lupa pula kalau PKI sebenarnya partai resmi dan legal saat itu. Pertanyaannya kemudian mengapa ada yang bersikukuh mementaskan film itu?
Mungkin inilah masa sulit yang memberi pintu masuk bagi pikiran aneh, menggelikan sekaligus ber-aroma diktator. Pada saat mana kesulitan ekonomi menghimpit, pengangguran meledak, kompetisi politik sedang berjalan dan kekecewaan terbit maka muncul gagasan yang bisa merangsang emosi. PKI salah satunya. Kesempatan dan momentum bersatu. Diramulah pandangan-pandangan ekstrem yang diolah sedemikian rupa hingga membakar emosi massa. Massa yang memang mudah tersulut apa saja, terutama soal penanggung jawab semua kesulitan ini. PKI jadi idiomnya. Inilah fenomena yang dulu melahirkan dan mampu mempertahankan kekuasaan Soeharto: pawai politik menentang PKI dan membuat media komunikasi baru berupa film yang menuduh PKI. Serupa dengan Hitler yang berhasil jadi Kanselir Jerman pada Januari 1933 tanpa melanggar hukum atau melawan undang-undang. Hitler sengaja menaruh bahaya Yahudi sebagai musuh utama ras Aria. Tiap diktator selalu berusaha memberi harapan dengan memusuhi apa saja yang dianggap bisa memusnahkan harapan itu. PKI tampil sebagai musuh untuk menambal harapan palsu yang sedang diidam-idamkan.
Memang film Pengkhianatan ini ingin menyuguhkan superioritas Soeharto dan tentaranya. Efek nyata dari tragedi ini kita baca bersama: orang seperti kesurupan membunuhi mereka yang kena tuduh PKI. Tanpa belas kasihan, yang dituangkan dalam film Jagal, orang bisa menyiksa sesamanya dengan cara buas. Bukan hanya para pembunuh itu termakan propaganda tapi juga merumuskan perilaku amoralnya sebagai keputusan mulia. Mereka menjadi psikopat yang merespon kisah apa saja tentang PKI dengan rasa emosional ketimbang rasional. Bayangkan pria yang membunuh banyak orang yang kena tuduh PKI itu dengan santai menceritakan secara urut rangkaian pembantaian: sama halnya dengan teriakan PKI-PKI yang muncul dalam demonstrasi. Pada penelitian yang lebih detail, para psikopat biasanya muncul dalam ciri kesulitan memproses informasi linguistik, sulit mengenali ekspresi wajah orang lain dan respons empatinya lemah. Ia maniak dalam bersikap pada umumnya. Enggan dipertanyakan keputusannya dan merasa benar pernyataannya. Dan itu semua bersumber pada motivasi mementingkan diri sendiri-ada unsur narsistis-di dalamnya: mencari aman dan ingin peroleh posisi. Ini ciri khas yang hanya ada pada diri seorang psikopat.
Kini Film itu berusaha kembali ke khalayak umum. Film yang banyak dikritik dan miskin pujian[9]. Bahkan jika ditelaah lebih jeli: film ini benar-benar berbahaya bagi kesehatan otak dan jiwa. Misi film itu tak lain memupuk sifat haus darah. Karena puncak adegan film itu adalah pembantaian: massa penonton diajak untuk membenci, meracuninya dengan emosi buta dan mengarahkannya untuk bertindak. Pada siapa saja dan apapun yang identik dengan PKI. Jika usaha ini berhasil kita bukan merangsang orang untuk membenci PKI tapi juga mengantarkan orang untuk sakit jiwanya. Karena film ini meramu dua hal yang ada dalam diri orang sakit jiwa: karisma dan sifat tega. Karisma seseorang yang berhasil menimbulkan kebencian dan sikap tega dalam menangkap apapun yang dianggap sebagai PKI. Ernst Kretchmer menulis: ‘ada yang lucu dengan penderita sakit jiwa (phsychopaths). Di masa normal kita memberi pendapat sebagai seorang ahli tentang mereka. Di masa kemelut politik mereka malah memerintah kita’[10]. Semoga saja Allah melindungi kita dari tontonan film yang bisa merusak Iman dan akal. Dan Allah jauhkan kita dari orang-orang yang gila jiwanya. Amiin Ya Robbal Allamin.***
———–
[1] Tere Liye: Sumur Tua: dengan kalimat satir tulisannya itu menyorot hubungan persaudaraan Sakirman dan Jenderal S Parman, dua saudara yang berpisah di jalan, dirumuskan dalam kalimat yang menghakimi: kebencian macam apa yang tega adiknya dibantai, 24 september 2017
[2] Lih John Rossa Dalih Pembunuhan Massal, Hasta Mitra, 2008
[3] Banyak informasi bohong disiarkan film Pengkhianatan terutama soal Gerwani dalam peristiwa Lubang Buaya. Uraian detail mengenainya dapat dibaca pada Saskia Eleonora Wierenga, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garda Budaya, 1999
[4] Lih Nani Nurachman Sutojo, Kenangan tak Terucap: Saya, Ayah dan Tragedi 1965, Kompas, 2013
[5] Lih Andrew Newberg & Mark Waldman, Gen Iman dalam Otak: Born to Believe, Mizan, 2013
[6] Lih National Geographic: Ada Dusta Di Antara Kita, Juni 2017
[7] Bahkan dibuat diorama pada monumen Lubang Buaya hingga muncul pertanyaan apa memang itu gambar yang akurat atau hanya fitnah. Sebab pada saat itu hanya pers tentara yang menyiarkan dan menginformasikan adegan tersebut. Fakta yang memberitahu pada kita kalau tentara diuntungkan atas situasi ini. Lih Asvi Warman Adam, “Pengendalian Sejarah Demi Kekuasaan”, dalam 1001 Tahun Nusantara, Kompas 2010
[8] Kajian mengenai ini diperoleh dari karya populer dari Charles Duhigg, The Power of Habit, KPG, 2015
[9] Banyak kalangan melihat ini film propaganda karena pertama, Soeharto yang membuatnya dan mewajibkan saat itu semua penduduk menontonnya; kedua, film ini penuh rekayasa dengan selera Orba; ketiga, film ini hanya fokus pada Soeharto dan propaganda bahaya komunis; keempat, film yang penuh kekerasan dan darah dengan durasi panjang 3 jam; kelima, film ini melenceng dari fakta sejarah; dan keenam, yang penting film ini bertentangan dengan semangat reformasi. Lih Tempo.co 17 September 2017
[10] Lih Donald B Calne, Batas Nalar: Rasionalitas & Perilaku Manusia, KPG, 2004 Sumber: Indoprogress.Com
0 komentar:
Posting Komentar