Tgl terbit: Rabu,
04 Oktober 2017
Kado Untuk Hari TNI Ke-72
Tentara Profesional Dalam Tarik Ulur Politik Nasional
Pendahuluan
Memperingati Hari
Jadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang jatuh setiap tanggal 5 Oktober,
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) secara rutin
mengeluarkan catatan tahunan perihal kinerja dan kualitas unsur pertahanan
Republik Indonesia yang dimandatkan diberikan kepada institusi TNI. Tahun
ini, KontraS ingin kembali menengok pada konsepsi supremasi sipil yang pada
hakikatnya menjadi ruang penjuru kendali dari berjalannya mekanisme
pertahanan yang tunduk pada kontrol akuntabilitas, keterbukaan,
prinsip-prinsip hukum yang selaras dengan hak-hak asasi manusia.
Tahun ini nampaknya
telah terjadi guncangan signifikan pada ruang supremasi sipil, ditandai
dengan beberapa manuver politik di tubuh TNI yang tidak diimbangi dengan
kemampuan aktor sipil demokratik untuk memberikan pesan dan arahan yang
jelas. Catatan ini akan sedikit banyak memeriksa beberapa poin perihal relasi
sipil dan militer yang sehat. Catatan ini juga akan diikuti dengan catatan
pemantauan KontraS atas kinerja aparat TNI di lapangan, yang juga diikuti
dengan standar-standar hak asasi manusia yang turut mengikat gestur aparat
TNI selain tentu saja aturan-aturan hukum yang harus ditegakkan.
TNI dan Akuntabilitas Hukum
Belakangan kita
dikejutkan dengan pernyataan Panglima TNI yang berseloroh perihal pembelian
ribuan senjata api tanpa sepengetahuan Presiden Joko Widodo. Pernyataan yang
dikeluarkan pada tanggal 22 September 2017, tidak lebih dari 24 jam langsung
direspons oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Wiranto melalui judul surat terbuka “Penjelasan Menkopolhukam tentang Isu
Politik Terkini” yang menjawab setidaknya dua situasi, yakni perihal
kembalinya wacana komunisme dan rumor pembelian senjata.
Jika melihat gestur
Wiranto, kami kuat menduga bahwa Presiden Joko Widodo tengah menggunakan
suara dan posisi Wiranto selaku Menkopolhukam untuk menjawab suasana
kontroversial yang digalang oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Panglima Gatot
yang diangkat menduduki posisi prestisius pada medio 2005 memiliki sejumlah
sepak terjang politik yang terjal dan minim koreksi atas ucapan dan
keinginannya untuk bermain-main pada ranah politik.
Setidaknya KontraS
mencatat sebelum pro kontra pembelian senjata api, retorika Panglima Gatot
setidaknya muncul dan menguat pada beberapa momen:
Mei 2016, Panglima
Gatot mengeluarkan analisis bahwa Indonesia akan masuk pada zona proxy war,
dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.
Menjelang hari jadi
ke-71, Panglima Gatot meminta untuk dipulihkannya kembali hak berpolitik
aparat TNI.
Ia hadir bersama
dengan ribuan pendemo 212 di akhir tahun 2016. Panglima menggunakan peci
putih. Pembelaannya adalah ia hadir di tengah kerumunan massa untuk menjaga
kesatuan NKRI dan kepresidenen Joko Widodo.
Februari 2017,
Panglima Gatot sempat bersitegang dengan Menteri Pertahanan Jenderal Purn.
Ryamizard Ryacudu dengan keluhannya yang mengatakan bahwa dirinya tidak mampu
mengelola anggaran matra laut, darat dan udara, karena Peraturan Menteri
Nomor 28/2015 mengatakan bahwa kewenangan anggaran pertahanan berada di bawah
Menhan.
Mei 2017, Panglima
Gatot berseteru dengan Polri dengan menolak penyelidikan Mabes Polri atas
tuduhan makar untuk berbagai gelombang demonstrasi kelompok Islam yang
menguat di akhir tahun 2016. Penolakan makar ia sampaikan sebagai upaya untuk
mengajak warga tidak takut dengan situasi politik terkini.
Masih di bulan yang
sama, Mei 2017, Panglima Gatot hadir di tengah Rapat Pimpinan Nasional Partai
Golkar, membacakan puisi berjudul Tapi Bukan Kami, berisi kritikan kepada
pemerintah untuk situasi nasional mutakhir.
Juni 2017, Panglima
Gatot memimpin ibadah tarawih berjamaah di bawah guyuran hujan sebagai bagian
dari ‘Silahturahmi safari Ramadhan 2017’ bersama dengan ribuan santri dan
ulama.
Instruksi Panglima
untuk melakukan nonton bareng film G30S/PKI yang ternyata tidak hanya
diinstruksikan kepada jajaran internalnya, melainkan juga ajakan kepada warga
sipil di sekitar markas TNI.
Setidaknya delapan
situasi di atas bisa menggambarkan secara implisit bahwa sebenarnya TNI
sebagai aktor masih memiliki ambisi untuk mengembalikan lagi spirit Dwi
Fungsi ABRI: Militer yang sibuk berpolitik. Perlu diingat
bahwa hampir seluruh elit TNI yang tersisa dan ada saat ini dididik dalam
iklim Dwi Fungsi. Mereka diharapkan untuk mengisi jajaran paling elit negeri
ini. Mereka dilatih untuk menjadi kekuatan yang tidak sekadar berdiam di
dalam barak dan mengasah ketrampilan untuk membela negara. Hingga saat ini
pun, naluri untuk turut campur dalam soal-soal politik dan kemasyarakatan
masih tetap tinggi di kalangan TNI. Selain itu, TNI masih memiliki
infrastruktur kekuasaan hingga ke desa-desa di seluruh Indonesia dalam bentuk
sistem komando teritorial.
Rentetan kegaduhan
politik nasional yang kembali menyeret TNI dalam pusaran gelanggang politik
tersbeut memang tidak terlepas dari lemahnya peran sipil dalam upaya
pengawasan yang dilakukan. Dalam hal ini, minimnya upaya koreksi serta
evaluasi yang dilakukan oleh Komisi I DPR RI sebagai perwujudan kedaulatan
rakyat serta gagalnya Presiden dalam menegakan simbol supremasi sipil, tak
pelak menjadi magnet kuat yang menyeret TNI kedalam pusaran politik.
Menitir pendapat
Ulf Sundhaussen keterlibatan militer dalam politik lebih disebabkan oleh
kelemahan pihak sipil dalam mengelola pemerintahan. Sundhaussen mencoba
mengelaborasikan beberapa faktor krusial yang menyebabkan terjadinya hal tersebut.
Pertama, ia mengaitkannya dengan alasan-alasan yang bersifat internal di
kalangan militer. Alasan ini memiliki hubungan dengan kepentingan militer
untuk menjaga otonomi militer terhadap intervensi sipil hingga kepentingan
lebih luas berupa masalah kesejahteraan dan ekonomi. Kedua, yang lebih
penting adalah terletak pada kegagalan sistem politik yang dikelola oleh
politisi sipil.
Menjadi tantangan
jelang 20 tahun pencabutan Dwi Fungsi ABRI adalah bagaimana TNI menjadi
organisasi pertahanan profesional, tidak bermain politik, mampu
mempertanggungjawabkan perilaku dan praktik militeristik yang tidak
terkoreksi? Pertanyaan tersebut akan kami refleksikan pada temuan pemantauan
kami berikut ini:
Sepanjang 2016 s/d
2017 misalnya, KontraS mencatat sedikitnya telah terjadi 138 peristiwa
kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan anggota TNI, dan mengakibatkan
15 orang tewas, 124 orang luka-luka, 63 orang sempat mengalami penangkapan
sewenang-wenang, dan 61 orang lainnya mengalami kerugian lainnya akibat peristiwa
tersebut.
Penganiayaan warga
sipil menjadi bentuk pelanggaran paling sering terjadi dengan 65 peristiwa,
diikuti dengan intimidasi dan ancaman dengan 38 peristiwa, dan berbagai
bentuk keterlibatan tentara dalam arena bisnis dengan jumlah 42 kasus dan/
peristiwa sepanjang periode tersebut. Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan
Jawa Timur adalah 3 provinsi terdepan yang mencatat praktik kekerasan masih
dilakukan oleh aparat TNI. Data dapat dilihat dari beberapa bagan berikut
ini:
Meskipun terdapat
kecenderungan menurunnya angka kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan
anggota TNI sejak September 2016 hingga Agustus 2017, geliat politik dari
balik barak tentara semakin masif dipertontonkan jelang tahun-tahun sukses
politik belakangan ini.
Hadirnya perwujudan
militer dalam ranah sipil dalam bentuk penyuluhan bela negara, diskursus
ideologi, pembangunan pertanian, hingga pembubaran diskusi dan aktivitas
berkumpul secara damai, menjadi tanda bahwa supremasi sipil belum mampu
mengontrol kebijakan dan operasionalisasi TNI.
Desakan untuk
mengembalikan TNI ke gelanggang politik tidak hanya hadir dalam wacana hak
politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang disampaikan oleh Panglima
TNI pada 4 Oktober 2016, namun menjadi senyawa diskursus dalam beberapa
proses pengambilan keputusan politik dan kebijakan guna memperbesar ruang
bagi kewenangan TNI dalam ranah sipil, seperti; pelibatan TNI dalam
penanggulangan terorisme, revisi UU pemilihan umum, hingga penerbitan nota
kerja sama yang pada akhirnya justru memangkas kewenangan presiden sebagai
simbol supermasi sipil dalam proses perlibatan TNI dalam ranah sipil di
Indonesia.
Membaca Kebijakan Pertahanan Negara Indonesia
Indonesia merupakan
Negara Kepulauan terluas di dunia yang terdiri atas lebih dari 17.504 pulau
dengan 13.466 pulau telah diberi nama. Sebagai Negara Kepulauan yang memiliki
laut yang luas (5,8 juta km2 yang terdiri dari 2,8 km2 Perairan Pedalaman,
0,3 juta km2 Laut Teritorial, dan 2,7 juta km2 ZEE.) dan garis pantai
yang panjang (95.181 km), sektor maritim menjadi sangat strategis bagi
Indonesia, baik ditinjau dari aspek ekonomi dan lingkungan, sosial-budaya,
yuridis dan pertahanan keamanan.
Secara legal formal,
Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional untuk
menjamin keamanan wilayah kelautan, khususnya sebagai Sea Lines Of
Communication (SLOC). SLOC dan SLOT ini bagaikan urat nadi bagi kehidupan
banyak bangsa di dunia, termasuk bagi bangsa Indonesia sendiri. Bagi sebagian
besar negara di kawasan Asia Timur, di mana kebanyakan struktur ekonominya
berorientasi kepada bidang ekspor dan impor, ketergantungan pada keberadaan
SLOC/SLOT menjadi semakin penting.
Hal tersebut
bersamaan dengan makin dominannya kekuatan industri dunia di Asia Timur
seperti Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, seiring kebutuhan minyak dari
Timur Tengah, yang dari tahun ke tahun makin meningkat pesat. Sejalan
dengan hal itu, pola hubungan antar bangsa, cenderung bergeser ke arah
semakin menonjolnya kepentingan ekonomi dibandingkan kepentingan lainnya,
sehingga menimbulkan tuntutan terwujudnya stabilitas keamanan kawasan
regional.
Kementerian
Pertahanan pada tahun 2015 mencatat, dalam perspektif keamanan tradisional,
kawasan Asia-Pasifik memiliki peluang dan tantangan yang sangat kompleks,
serta faktor risiko yang dapat menimbulkan konflik antarnegara. Perkembangan
yang perlu dicermati dan berpengaruh terhadap stabilitas keamanan adalah
kebijakan ekonomi dan militer Tiongkok, sengketa di Laut Cina Selatan. dan
kebijakan penyeimbangan kembali (rebalancing) AS di kawasan Asia Pasifik,
yaitu: keamanan melalui kehadiran kekuatan militer, ekonomi melalui Trans
Pacific Partnership (TPP) untuk mengimbangi Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP) serta diplomacy engagement.
Dok. MERICS, DW 2015
Sementara dalam
perspektif keamanan non-tradisional, kawasan ini memiliki sejarah panjang
penyelundupan narkotika, penyelundupan manusia, penyelundupan senjata,
perompakan di laut, pencurian kekayaan alam, serta separatisme. Selain itu,
terorisme merupakan isu sentral keamanan global yang memanfaatkan
perkembangan teknologi informasi melalui jejaring sosial untuk memperkuat
jaringan globalnya guna mendapatkan persenjataan, dukungan finansial maupun tempat-tempat
berlindung.
Kementerian
Pertahanan juga memberikan prediksi ancaman saat ini dan masa depan yang
digolongkan menjadi tiga jenis yaitu ancaman militer baik bersenjata maupun
tidak bersenjata, ancaman nonmiliter, dan ancaman hibrida. Sumber ancaman
dapat berasal dari dalam maupun luar negeri, serta dilakukan oleh aktor
negara maupun nonnegara, yang bersifat nasional, regional dan internasional.
Adapun dampak yang ditimbulkan meliputi segala aspek kondisi sosial terdiri
atas ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.
Berdasarkan
pontensi serta prediksi ancaman tersebut, kebijakan pertahanan Indonesia
kemudian disusun berdasarkan prinsip demokrasi, hak asasi manusia,
kesejahteraan umum, lingkungan hidup, hukum nasional, hukum internasional
serta supermasi sipil. Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara merupakan
pedoman dalam mempersiapkan pertahanan negara yang handal, yaitu mampu
menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa,
memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara yang dilandasi kepentingan
nasional, serta memperkuat jati diri sebagai negara kepulauan dan negara
maritim dengan menempatkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD).
Dalam hal ini,
pertahanan negara dibangun guna mencitakan kekuatan pertahanan negara
kepulauan dan negara maritim yang tangguh melalui postur pertahanan dengan
prinsip defensif aktif dalam rangka mendukung poros maritim dunia. Sementara
itu pembangunan dan pengembangan TNI sebagai komponen utama pertahanan
militer Indonesia juga dilakukan dengan prinsip right sizing dan zero
growth, dalam arti mempertahankan jumlah personel dan mengembangkan
profesionalisme TNI melalui sistem pertahanan, kelembagaan, kerjasama
internasional, regulasi, anggaran, serta teknologi dan alutsista yang
memadai.
Disisi lain, kebijakan
penyelenggaraan pertahanan negara juga mengamanatkan pentingnya mekanisme
pengawasan dalam rangka mewujudkan pertahanan sebagai negara maritim dan
kepulauan yang tangguh serta mendukung profesionalisme TNI. Pengawasan
internal dan eksternal sesuai dengan mekanisme dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tersebut dilakukan secara efektif dan efisien
atas penyelenggaraan pertahanan negara yang telah dirumuskan, penggunaan
anggaran pertahanan, hingga bentuk-bentuk tindak lanjut atas rekomendasi yang
dikeluarkan guna menjamin akuntabilitas, transparansi, serta proporsionalisme
penyelenggaraan pertahanan negara.
Kontrol sipil
menjadi salah satu bagian yang penting dalam hal ini guna mengawal TNI
sebagai alat pertahanan negara yang professional. Hal ini sejalan dengan
teori kontrol sipil obyektif yang diajukan oleh Samuel P. Huntington. Menurut
teori itu, cara paling optimal dalam menegaskan kontrol terhadap angkatan
bersenjata adalah dengan memprofesionalkan mereka. Hal ini berbeda dengan
kontrol subyektif, yang melibatkan pembatasan-pembatasan (restriksi) hukum
dan kelembagaan terhadap otonomi militer. Dalam kontrol obyektif oleh sipil,
profesionalisme militer dapat berkembang karena militer dipisahkan jauh dari
gelanggang politik.
Artinya, harus ada
perubahan signifikan dalam mereformasi tubuh kelembagaan TNI. Revisi UU No.
31/1997 tentang Peradilan Militer dan membawa kontrol sipil melalui
penggunaan peradilan pidana umum untuk memberikan efek jera terhadap tindakan
kriminal yang dilakukan oleh unsur aparat TNI menjadi keniscayaan yang harus
dilakukan.
TNI Diantara Inovasi Dan Distorsi
Sementara itu,
dalam rangka transparansi serta akuntabilitas penggunaan anggaran pertahanan,
langkah maju diambil oleh Panglima TNI dengan berkordinasi aktif bersama
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna upaya pemberantasan korupsi yang
masih marak terjadi dalam ketiga matra di tubuh TNI.
Terkait dengan
ancaman konflik Laut Cina Selatan, sebuah langkah diplomasi yang tepat
diambil oleh TNI pada 6 Oktober 2016 dengan melaksanakan gelar kekuatan
besar-besaran yang melibatkan sekitar 2000 personel disekitar wilayah Natuna
yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Meski demikian, Panglima
TNI menjelaskan bahwa tidak akan melakukan latihan perang bersama negara lain
terkait konflik Laut Cina Selatan guna meredam eskalasi ketegangan di
kawasan.
Namun demikian,
secara internal gelar kekuatan besar-besaran kedua juga kembali dilakukan
pada 15 Mei 2017 dengan menggelar operasi latihan Pasukan Pemukul Reaksi
Cepat (PPRC) yang melibatkan 5900 prajurit TNI AL, AU, dan AD di Natuna.
Sementara itu,
sebagai upaya kesigapan dan bentuk dari diplomasi kapal perang terhadap
ancaman konflik laut cina selatan, Komando Armada Republik Indonesia Kawasan
Barat (Koarmabar) TNI Angkatan Laut mengerahkan berbagai jenis kapal perang
dalam latihan perang di Laut Natuna, Kepulauan Riau pada 25-30 April 2017.
Seorang ahli teori diplomasi bernama James Cable menjelaskan bahwa Gunboat
Diplomacyadalah penggunaan ancaman dengan menggunakan kekuatan angkatan
laut, dalam aksi peperangan, untuk mengamankan keuntungan atau mencegah
kekalahan, di dalam situasi perselisihan internasional atau dalam situasi
bermusuhan dengan negara lain di dalam wilayah atau kedaulatan wilayah mereka
sendiri.
Inovasi lainnya
yang dilakukan oleh TNI adalah operasi intelijen dan kerjasama militer dengan
Armed Forces of the Philipipines (AFP) yang dilakukan dalam upaya pembebasan
warga negara Indonesia (WNI) yang sandera kelompok teroris Abu Sayyaf pada 8
September 2017 lalu. Masih terkait dengan kelompok teroris ini, beberapa
kerjasama yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dalam
penanggulangan perompakan antara Indonesia-Filipina adalah Patroli
Terkoordinasi Filipina–Indonesia (Patkor Philindo) yang dilaksanakan oleh TNI
AL dan Republic Philipine Navy/RPN di perairan perbatasan laut kedua negara
dan Patroli Terkoordinasi Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Patkor
Malphindo) yang bertujuan untuk mengamankan perbatasan laut masing-masing
negara.
Seperti halnya
pisau bermata dua, selain inovasi dan keberhasilan-keberhasilan yang
dilakukan, catatan hitam masih mewarnai penyelenggaraan fungsi pertahanan
negara yang dilakukan TNI sepanjang 2016 hingga 2017 ini. Sejumlah kebijakan
TNI yang justru berlawanan dengan semangat pertahanan negara maritim dan
kepulauan, hingga semakin tergerus profesionalisme TNI dalam tarik-ulur
politik nasional, menjadi anomali yang terus berkembang hingga hari ini.
Catatan KontraS sepanjang satu tahun terakhir menjumpai banyak distorsi
tindakan, baik yang dilakukan oleh anggota TNI maupun panglima TNI sebagai
simbol institusi, yang bertolak belakang dengan visi-misi pemerintah hingga
prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil, dan tidak jarang mengakibatkan
kerugian hak asasi manusia.
Dalam kebijakan
postur dan pengembangan pertahanan negara misalnya, topangan kekuatan maritim
dan negara kepulauan justru bertolak belakang dengan peresmian 2 (dua)
Komando Teritorial, Kodam XIII/Merdeka dan XVIII/Kasuari, di Manado dan
Papua Barat pada 19 dan 20 Desember 2016 lalu. Selain secara jelas berlawanan
dengan semangat Zero Growth dan postur negara maritim/kepulauan dalam
Kebijakan Pertahanan Indonesia yang diamanatkan pemerintah, pendirian Kodam
tersebut hanya berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI tanggal 10
Oktober 2016. Pembentukan Kodam baru juga mengonfirmasi satu hal, bahwa
secara politis teritorial TNI AD masih kuat. Tidak ada lembaga negara lain
yang sanggup mengontrolnya, termasuk Presiden selaku Panglima Tertinggi dan simbol
supermasi sipil.
Sementara itu,
distorsi juga kembali terjadi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang
dilakukan TNI dan Komisi I DPR RI pada 7 Februari 2017 lalu. Dalam kesempatan
tersebut Panglima TNI mengeluhkan kewenangannya terkait anggaran TNI dan
pembelanjaan alutsista yang dipotong akibat hadirnya Permenhan Nomor 28 Tahun
2015 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara.
Dalam peristiwa
tersebut terlihat tidak adanya hubungan yang konstruktif diantara institusi
TNI dan Kementerian Pertahanan sebagaimana yang juga menjadi bagian penting
dalam Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan di Indonesia.
Salah satu catatan
hitam dalam penyelenggaraan pertahanan negara oleh TNI lainnya terkait dengan
kebijakan kerja-sama luar negeri dengan penghentian sepihak kerja-sama
militer dan pertahanan antara TNI dengan Australian Defence Force (ADF)
akibat insiden Insiden materi ajar kursus pelatihan bahasa di pangkalan
militer Perth, Australia pada Januari 2017 lalu. Hal ini jelas-jelas
berpotensi melanggar peraturan perundangan-undangan dalam hal pembatalan
hubungan kerja sama pertahanan dengan Australia, yang mana sesuai dengan UU
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebutkan bahwa
pembatalan kerja sama internasional hanya bisa dilakukan oleh seorang menteri
atau presiden.
Polemik pernyataan
Panglima TNI terkait informasi Intelijen yang meyebutkan masuknya 5000
senjata ilegal yang dipesan oleh salah satu institusi ke Indonesia juga
semakin menambah panjang distorsi terhadap fungsi penyelenggaraan kebijakan
pertahanan negara Indonesia. Lagi-lagi hal ini menunjukkan tidak adanya
relasi yang kuat dan sehat antara institusi, terlebih rencana penyerbuan ke
Badan Intelijen Negara dan Polri yang sempat disampaikan oleh Panglima TNI
dalam peristiwa tersebut juga merupakan bentuk pelanggaran serius Pasal 3 dan
Pasal 17 UU 34/2004 tentang TNI yang menegaskan bahwa kebijakan pengerahan
dan penggunaan kekuatan angkatan perang adalah otoritas sipil.
Presiden Joko
Widodo dalam polemik ini harus mengambil sikap serius guna merajut soliditas
antar lembaga keamanan. Sikap yang dikeluarkan oleh Menkopolhukam Wiranto
tidaklah cukup, mengingat gestur politik keamanan dan pertahanan tetap harus
ditunjukkan oleh Presiden Widodo.
Beberapa
Konsederasi Isu Lainnya
a. TNI dan Isu Terorisme
Kengototan Panglima
TNI yang menginginkan dilibatkannya TNI dalam penanganan Terorisme dalam RUU
Terorisme yang sedang digarap oleh DPR jelas merupakan satu langkah lebih
jauh memasuki ranah sipil, dalam hal ini penegakan hukum, yang dilakukan oleh
TNI. Oleh sebab itu TNI mendukung penuh revisi UU nomor 15 tahun 2003, gestur
tersebut bahkan semakin dikuatkan melalui pernyataan Panglima TNI yang
disampaikan dengan nada tak elegan dan perseteruannya dengan Kapolri, di mana
Kapolri telah menuding TNI banyak melakukan tindakan pelanggaran HAM
sedangkan Panglima bersikukuh menyatakan bahwa kehadiran TNI pada operasi
terorisme merupakan bagian dari operasionalisasi hukum humaniter
internasional. Kendati disetujui pemerintah, hal tersebut menjadi perdebatan
karena dianggap dapat berpotensi pada konflik kepentingan antar instansi.
Seperti yang diketahui sejauh ini hanya Polri yang memiliki kewenangan penuh
atas tindak penanggulangan terorisme di Tanah Air.
Pelibatan militer
secara langsung UU Terorisme, berpotensi menabrak supremasi sipil, membuka
ruang militer masuk ranah penegakan hukum, dan mengancam hak asasi manusia.
Terorisme adalah “tindak pidana” yang harus diatasi dengan pendekatan hukum
yang selama ini terbukti mampu mengurai jejaring terorisme dan mencegah
puluhan rencana aksi terorisme; dan Keterlibatan TNI akan memperlemah
akseptabilitas dan akuntabilitas kinerja pemberantasan terorisme, karena TNI
tidak tunduk dan bukan aktor dalam sistem peradilan pidana terpadu. Tidak ada
hak uji (habeas corpus) atas tindakan paksa yang dilakukan oleh TNI. Jika ini
terjadi akan membahayakan demokrasi, HAM, dan profesionalitas TNI itu
sendiri.
Keterlibatan TNI
melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP) tercantum dalam UU No. 34/2004
tentang TNI. Sepanjang pantauan KontraS, melalui UU tersebut sebenarnya TNI
telah memainkan banyak peran untuk terlibat pada serangkaian operasi
melumpuhkan teroris. Bahkan yang masih berlangsung hingga kini adalah operasi
untuk melumpuhkan 9 orang kelompok teror di Pegunungan Biru Poso, Sulawesi
Tengah; di mana TNI dan Badan Intelijen Strategi (BAIS, unit intelijen yang
bertanggung jawab secara penuh kepada Panglima TNI) masih terlibat aktif di
lapangan. Belajar dari kasus Poso, pelibatan militer dalam Operasi Tinombala
sejak 2005 tak berjalan efektif. Militer yang diterjunkan justru berbisnis
mencetak sawah dan tak pernah ada evaluasi yang dilakukan terkait operasi
ini.
Kita juga harus
ingat bahwa TNI hingga hari ini hanya terikat pada 2 alat ukur akuntabilitas:
(1) UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer – yang tidak memiliki ukuran
akuntabilitas yang ketat apalagi standar HAM, (2) Peraturan Panglima No.
73//IX/2010 tentang Penentangan Terhadap Penyiksaan dan Perlakuan Lain yang
Kejam dalam Penegakan Hukum di Lingkungan TNI. Hari ini Wiranto hadir sebagai
promotor kembalinya TNI di urusan hukum. Memasukkan TNI pada agenda ‘criminal
justice system' untuk penanganan terorisme akan berrisiko pada
praktik-praktik buruk yang minim ruang koreksi dan terbatasnya alat uji
akuntabilitas. Kasus-kasus seperti penyiksaan, tindakan keji, pembunuhan di
luar proses hukum, hingga penghilangan paksa potensial terjadi sepanjang
akuntabilitas TNI tidak dibenahi secara internal.
Menyeret TNI ke
dalam operasi anti terorisme hanya akan melipatgandakan operasi di dalam
operasi. Wilayah pertama yang akan mengalami dampak langsung adalah Poso,
Sulawesi Tengah di mana TNI dan Polri masih menjalankan operasi anti teror
secara bersama.
b. TNI dan Isu Penyiksaan Serta Tindakan Tidak
Manusiawi Lainnya
Kultur kekerasan
yang merupakan cerminan militeristik memang tidak bisa dilepaskan dari wajah
TNI hingga hari ini. Berbagai bentuk kekerasan dalam bentuk penyiksaan yang
dilakukan anggota TNI masih terus terjadi. Masih diterapkannya struktur Komando
Teritorial dengan tugas-tugas pembinaan lingkungan dimana TNI berhadapan
langsung dengan masyarakat menjadi salah satu faktor kerap terjadinya gesekan
dan berujung pada tindak penyiksaan yang dilakukan anggota TNI terhadap
masyarakat. Disisi lain minimnya mekanisme akuntabilitas dan transparansi
terhadap anggota TNI yang melakukan penyiksaan dalam proses peradilan militer
kerap memberi celah hukuman yang meringankan dan tidak memberikan efek jera
bagi pelaku maupun anggota TNI lainnya di kemudian hari.
Terkait dengan isu
penyiksaan serta tindakan tidak manusiawi lainnya, sepanjang 2016 hingga 2017
KontraS mencatat bahwa TNI masih kerap mempromosikan pendekatan penghukuman
di tempat dengan nuansa tidak manusiawi. Hal ini muncul pada kasus-kasus
seperti pembubaran paksa perpustakaan jalanan (Bandung, Jawa Barat),
penganiayaan kepada sejumlah jurnalis dan pekerja media untuk kasus sengketa
tanah (Medan, Sumatera Utara), dan penganiayaan bermotif emosi (peristiwa
banyak terjadi di Maluku Utara dan Sumatera Utara).
Peristiwa tersebut
terjadi terhadap sejumlah warga Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia, dan
Jurnalis dalam aksi demonstrasi menyoal sengketa lahan di Persimpangan Sari
Rejo, Medan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara, pada hari Senin, 15 Agustus
2016. Informasi yang kami terima, Lahan sengketa seluas 260 hektar di
Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia tersebut rencananya akan dibangun Rusunawa
(Rumah susun sederhana sewa) bagi Kosekhanudnas III dan Wing III Paskhas TNI
AU. Namun, sampai dengan saat kepemilikan tanah tersebut masih disengketakan
kedua belah pihak, adapun tanah yang merekadiami adalah mutlak milik warga.
Sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA) No.229 K/Pdt/1991, tanggal 18 Mei
1995 Junto (Jo) putusan Pengadilan Tinggi (PT) Medan No.294/Pdt/1990/PT-MDN,
tanggal 26 September 1990 jis Putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan
No.310/Pdt.G/1989/PN.Mdn, tanggal 8 Mei 1990 yang telah berkekuatan hukum
tetap alias Incraht.
Tindakan tersebut
diatas seharusnya dapat cegah. TNI yang profesional seharusnya dapat menghindari
tindakan-tindakan di luar proses hukum, termasuk dalam penyelesaian sengketa
lahan, seharusnya semua pihak, termasuk TNI AU setempat menghormati hak-hak
warga setempat menyampaikan dan memperjuangkan hak-haknya, bukan sebaliknya
warga dan jurnalis justru menjadi target kekerasan dan menjadi korban
pelanggaran HAM karena tindakan yang dilakukan anggota TNI AU setempat.
Hal-hal yang berkaitan dengan sengketa lahan, harus diselesaikan dengan
mengikuti mekanisme hukum yang tersedia, termasuk menghormati putusan BPN.
KontraS telah terlibat dalam pendampingan hukum.
Peristiwa
penganiayaan terhadap jurnalis Net TV di Madiun terjadi pada minggu 02
Oktober 2016 yang dialami oleh Soni Misdananto (yang selanjutnya disebut
sebagai korban) ketika sedang melakukan peliputan terkait dengan peristiwa
Lakalantas yang melibatkan Perguruan Pencak Silat dengan Masyarakat.
Peristiwa itu berawal ketika terjadi peristiwa Lakalantas yang melibatkan
Perguruan Pencak Silat dengan masyarakat di perempatan Ketaken, Madiun, Jawa
Timur. Setelah peristiwa Lakalantar tersebut, sejumlah orang yang diduga
merupakan anggota TNI AD Bataliyon Infantri Lintas Udara 501 Madiun,
mendatangi lokasi dan langsung memukuli anggota Perguruan Pencak Silat,
disaat yang bersamaan korban yang berada di lokasi kejadian langsung
melakukan peliputan dengan merekam peristiwa perkelahian tersebut, namun pada
saat korban sedang melakukan peliputan, korban tiba - tiba dipukul dan
ditendang setelah itu korban kemudian dibawa oleh sejumlah anggota ke Pos terdekat
dan meminta secara paksa kartu perekam dan langsung merusaknya. Akibat dari
peristiwa penganiyaan dan brutalitas sejumlah anggota TNI tersebut, korban
dibawa ke RSUD dr. Soedono. KontraS telah terlibat dalam pendampingan hukum.
Meski dalam dalam
Buku Saku Pedoman Hak Asasi Manusia untuk Angkatan Darat (AD) itu pun
tertulis bahwa “Sejuta musuh yang berhasil kau bunuh dalam pertempuran kau
adalah pahlawan. Tetapi satu orang rakyat terluka karena tindak kekerasan,
sejuta musuh yang kau bunuh tidak membebaskan dirimu dari jerat hukum atas
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang kau lakukan”, namun demikian dalam
perjalanannya kultur kekerasan dan penyiksaan serta tindakan tidak manusiawi
lainnya masih merupakan persoalan kelembagaan yang belum selesai hingga hari
ini, sebagaimana poin penataan kelembagaan yang juga merupakan salah satu
pokok penting kebijakan pertahanan Indonesia yang diamanatkan oleh
pemerintah.
c. TNI dan Isu Bisnis Serta Sumber Daya Alam
Di masa lalu,
militer Indonesia juga melakukan praktik bisnis untuk mendapatkan akses dana
diluar anggaran resmi negara melalui berbagai bentuk bisnis. Caranya bisa
melalui yayasan, koperasi, kerjasama sektor swasta, upah jasa keamanan,
penyewaan lahan, perlindungan aktivitas kriminal dan korupsi dengan cara penggelembungan
akuisisi persenjataan. Institusi TNI kini sudah bertransformasi untuk menjadi
lebih profesional dengan tidak membolehkan anggotanya untuk berbisnis dan
berpolitik. Pada tahun 2004 hingga 2009, sesuai dengan amanat UU TNI Pasal 34
dan 47, institusi ini mulai merestrukturisasi bisnis yang dimilikinya untuk
diserahkankan ke bawah pengawasan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan Kemhan.
Namun demikian,
saat ini yang terjadi adalah anggota TNI tidak terlibat secara langsung dalam
bisnis legal, namun menjabat sebagai komisioner perusahaan pemerintah dan
perusahaan pertahanan yang strategis. Selain itu salah satu pola bisnis yang
dilakukan TNI saat ini adalah penyediaan jasa keamanan bagi perusahaan yang
bergerak dalam bergagai sektor. Dalam sejumlah kasus, KontraS kerap menemukan
adanya anggota TNI yang memberikan jaminan keamanan bagi
perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran, seperti yang terjadi
di Surabaya, Jawa Timur, hingga perampasan lahan masyarakat oleh perusahaan di
Nabire, Papua.
Huntington
menyatakan hipotesis yang mendasari keinginan militer untuk mengakses sumber
daya yang dianggap penting demi untuk menjalankan fungsi menghadapi ancaman.
Upaya militer menguasai akses sumber daya ini berkaitan langsung dengan peningkatan
kemampuan militer (misalnya anggaran pertahanan untuk pembeliaan
persenjataan) dan kelangsungan hidupnya (misalnya kesejahteraan anggota)
namun upaya ini bertentangan dengan kebutuhan masyarakat sipil yang tidak
hanya berkutat dalam masalah pertahanan-keamanan namun juga kesejahteraan
mereka, sehingga melahirkan konsep supremasi sipil.
Disisi lain,
hadirnya sejumlah MoU yang dilakukan bersama dengan Kementrian serta Lembaga
yang bergerak dalam isu sumber daya alam juga memeberikan kemudahan bagi TNI
untuk kembali berkecimpung dalam isu bisnis dan sumber daya alam tanpa
melalui persetujuan Presiden dan DPR RI dalam konteks Operasi Militer Sebelum
Perang (OMSP). Maka tidak heran kerap dijumpai banyak anggota TNI yang kini
justru beralih profesi mengurusi masalah pertanian. Meskipun ketahanan pangan
merupakan salah satu isu penting dalam Kebijakan Pertahanan Negara, namun
tidak serta merta membenarkan pelibatan TNI dalam sektor pertanian.
Pelibatan TNI untuk
menggarap sektor pertanian berimplikasi juga pada kebijakan pemerintah
daerah. Salah satu kasus itu mencuat di Sumatera Barat. Gubernur Irwan
Prayitno mengeluarkan surat edaran pada 6 Maret 2017 yang mengancam
pengambilalihan lahan petani oleh TNI jika lahan sawah dibiarkan kosong lebih
dari 30 hari pasca panen. Selain poin pengambilalihan lahan, surat edaran itu
menyebutkan pula klausul pembagian hasil 80 persen untuk TNI dan 20 persen
untuk pemilik lahan.
d. TNI dan wilayah konflik Papua
KontraS setidaknya
telah memasukkan 8 surat komunikasi keterbukaan informasi publik (KIP) di
mana 4 di antaranya terkait dengan praktik brutalitas prajurit TNI di
lapangan, seputar kasus dugaan penculikan terhadap dua karyawan PT Kristalin
Ekalestari di Kampung Nifasi Nabire, keterlibatan prajurit TNI yang turut
menjaga properti PT Kristalin Ekalestari, jumlah pasukan BKO TNI di wilayah
Papua dan Papua Barat, dan termasuk kasus penembakan terhadap Rahmat
Amirullah Sitompul (guru) di wilayah Tanah Merah Boven Digoel. Tiga dari
komunikasi KontraS tidak mendapatkan jawaban, seperti jumlah pasukan yang
dilibatkan pada properti PT. Kristalin, jumlah pasukan BKO di wilayah Papua
dan Papua Barat, dan kasus penembakan. Komunikasi KIP ini merupakan langkah
strategis yang bisa digunakan untuk mengukur kualitas penegakan hukum dan
kehadiran TNI di lapangan yang padat dengan warga sipil. Tidak dijawabnya
surat memiliki pesan bahwa masih ada problem krusial yang belum bisa dijawab
pula oleh TNI.
Pandangan KontraS ke Depan
Salah satu puncak
keberhasilan reformasi TNI adalah memindahkan kebijakan pengerahan dan
penggunaan kekuatan angkatan perang dari militer ke tangan otoritas politik.
Untuk menyegarkan ingatan, dalam pembahasan Rancangan Undang Undang TNI pada
awal tahun 2000, siapa berwenang mengerahkan kekuatan TNI ini menjadi polemik
sengit. Saat itu, publik menyoroti “Pasal 19” dalam RUU, yang dipandang
kontroversial karena mengizinkan Panglima TNI “dalam keadaan mendesak”
mengerahkan kekuatan angkatan perang. Pasal itu, kemudian disepakati
digugurkan dan menegaskan kedudukan TNI berada di bawah Presiden (Pasal 3)
dan pengerahan kekuatan TNI adalah kewenangan Presiden (Pasal 17).
Berbagai tarik-ulur
politik yang kembali menyeret TNI ke dalam ruang-ruang sipil dan politik
dewasa ini, jelas tidak timbul dengan sendirinya dalam internal TNI.
Kepentingan para pelaku politik, gagalnya pemimpin sipil dalam menegakkan
supremasinya, hingga lemahnya kontrol dan pengawasan yang dilakukan terhadap
fungsi TNI dalam penyelenggaraan pertahanan negara menjadi jam pasir yang
siap mengubur demokrasi dan hak asasi manusia di kemudian hari.
Samuel Huntington
membagi masuknya militer ke dalam politik menjadi delapan kategori.
Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut
Perebutan kekuasaan
yang dilakukan oleh militer sebagai reaksi terhadap kekacauan, kemacetan,
korupsi, dan sikap reaksioner dari rezim sipil terdahulu.
Militer yang
dimotori oleh para perwiranya, biasanya mempunyai semangat tinggi untuk
mengerahkan perhatiannya pada tindakan pembaharuan.
Adanya pendekatan
rasional terhadap problema sosial dari kelompok militer telah mambentuk
perwira-perwira yang mampu dan dapat di andalkan sebagai modernisator (modernisator
par excellence).
Adanya sikap tidak
peduli dan menentang terhadap kebutuhan pembangunan lembaga-lembaga politik
maka rezim sipil menganggap militer tidak mempunyai kepentingan politik yang
harus diperjuangkan.
Pada umumnya
bilamana terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh militer, hal ini dinyatakan
sebagai untuk sementara waktu dan akan dikembalikan pada rezim sipil jika
keadaan politik sudah stabil.
Apabila
pengambilalihan kekuasaan politik dari militer ke tangan sipil, tidaklah
berarti persoalan telah selesai karena sewaktu-waktu dapat timbul kudeta
militer yang baru. Hal ini merupakan kecenderungan yang paling besar dan
sering terjadi di beberapa negera berkembang.
Kemungkinan akan
terjadi kudeta militer dengan alasan serupa.
Bilamana militer
tetap mempertahankan kekuasaannya maka mereka perlu menciptakan
lembaga-lembaga politik yang berwenang mengesahkan dan melembagakan kekuasaan
mereka.
Berkaca dari hal
tersebut, melalui laporan singkat ini KontraS sebagai lembaga masyarakat
sipil yang konsen terhadap isu demokrasi dan hak asasi manusia kembali
meminta;
Pertama, Pemerintah
dalam hal ini Presiden dan DPR sebagai simbol supremasi sipil untuk melakukan
pembenahan yang menyeluruh atas kinerjanya dalam upaya penegakan hukum dan hak
asasi manusia, menciptakan mekanisme kontrol yang efektif, serta tidak
terhanyut dalam negosiasi politik kekuasaan yang justru semakin melemahkan
posisi Pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbagai tindakan provokasi politik tidak boleh membuat pemerintah mengambil
keputusan terburu-buru. Pemerintah harus menunjukkan bahwa kepemimpinan yang
utuh masih hadir memimpin aktor keamanan dan pertahanan di Republik. Lakukan
komunikasi politik dengan baik, dan instruksi yang jelas tidak menggunakan
bahasa bersayap sehingga membuat banyak kalangan rentan melakukan tafsir
ganda.
Kedua, Komisi I DPR
RI untuk secara cermat menjalankan amanatnya guna memberikan koreksi dan
evaluasi yang menyeluruh atas kinerja penyelenggaraan pertahanan negara, baik
yang melibatkan TNI sebagai Komponen Utama pertanahan Militer, maupun
komponen lainnya dalam dalam upaya pertahanan nirmiliter. Revisi UU No.
31/1997 menjadi kemutlakan dan prioritas pembahasan yang harus dilakukan oleh
pemerintah, sekaligus juga mendorong hadirnya ruang kesejahteraan kepada para
prajurit TNI.
Ketiga, Berbagai
otoritas pemantau kinerja kelembagaan independen negara seperti KPK, Komnas
HAM dan Komnas Perempuan harus bisa memiliki posisi tawar signifikan guna
memberikan masukan yang terarah menggunakan prinsip hukum dan HAM yang
terukur. Temuan KontraS atas beragam bentuk pelanggaran hukum dan HAM yang
masih dilakukan aparat TNI di lapangan juga telah menunjukkan minimnya
pengawasan eksternal atas tubuh lembaga ini.
Keempat, Panglima
TNI harus mampu menahan diri dengan tetap fokus pada agenda profesionalisme
prajurit sesuai dengan amanat Buku Putih Pertahanan. Panglima TNI juga harus
melakukan inovasi dengan mengajak instansi dan berkomunikasi aktif bersama
dengan Kementerian Pertahanan untuk melibatkan TNI sebagai institusi global
guna merawat perdamaian dan keamanan dunia, sebagaimana yang dimandatkan
dalam Piagam PBB 1948.
Dirgahayu TNI.
Tetaplah menjadi serdadu Republik yang profesional dan berintegritas hukum
dan paham HAM!
________________
Ulf
Sundhaussen, The road to power: Indonesian military politics, 1945-1967,
Oxford Univesity, 1982.
Media
Online, “Panglima berharap TNI punya hak politik”, antaranews.com, 5 Oktober
2016. Dapat diakses di: http://www.antaranews.com/berita/588422/
panglima-berharap-tni-punya-hak-politik
Media
Online, “Panglima TNI: Menolak Revisi UU Terorisme itu Bodoh”, kbr.id,
1 Juni 2017. Dapat diakses di:
http://kbr.id/berita/06-2017/panglima_tni__menolak_revisi_uu_terorisme_itu_
bodoh/90398.html
Media
Online, “Panglima TNI: Keributan UU Pemilu Karena Tidak Musyawarah Mufakat”,
jawapos.com, 5 Agustus 2017. Dapat diakses di:
https://www.jawapos.com/read/2017/08/05/148903/panglima-tni-keributan-uu-pemilu-karena-tidak-musyawarah-mufakat
Pasal
17 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia; (1) Kewenangan dan Tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada
pada Presiden. (2) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI, Presiden harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Peraturan
Presiden Nomor. 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun
2015-2019
Keputusan
Menteri Pertahanan RI Nomor: KEP/435/M/V/2016 tentang Kebijakan Pertahanan
Negara Tahun 2017
Peraturan
Menteri Pertahanan Nomor. 19 Tahun 2015 tentang Kebijakan Penyelenggaraan
Pertahanan Negara 2015-2019
Huntington,
Samuel. The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military
Relations. New York: Belknap Press, 1957
Website
resmi KODAM XVI Pattimura, “RDPU : Pangdam XVI/Pattimura Jadi Narasumber
di Komisi VII DPR”, kodamxvipattimura.mil.id, 7 September 2017. Dapat
diakses di:
http://kodam16pattimura.mil.id/news/detail/1840-RDPU-:-Pangdam-XVI/Pattimura-Jadi-Narasumber-di-Komisi-VII-DPR
Media
Online, “Panglima TNI akan ke KPK, Bahas Kasus Korupsi Libatkan Militer”,
detik.com, 26 Mei 2017. Dapat diakses di:
https://news.detik.com/berita/d-3512033/panglima-tni-akan-ke-kpk-bahas-kasus-korupsi-libatkan-militer
Media
Online, “TNI Tak Latihan Militer dengan Asing di Laut China Selatan”,
cnnindonesia.com, 5 oktober 2016. Dapat diakses di:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161005092535-20-163372/tni-tak-latihan-militer-dengan-asing-di-laut-china-selatan/
Media
Online, “5.900 Prajurit TNI Persiapan Latihan Pemukul Reaksi Cepat Di
Natuna”, beritatrans.com, 15 Mei 2017. Dapat diakses di:
http://beritatrans.com/2017/05/15/5-900-prajurit-tni-persiapan-latihan-pemukul-reaksi-cepat-di-natuna/
Media
Online, “TNI AL Koarmabar Latihan Perang Besar-Besaran di Laut Natuna”,
RRI.co.id, 27 April 2017. Dapat diakses di: http://www.rri.co.id/post/berita/386828/nasional/tni_al_
koarmabar_latihan_perang_besarbesaran_di_laut_natuna.html
Cable,
James (1981). Gunboat Diplomacy. Basingstoke: Palgrave Macmillan.
Media
Online, “Panglima TNI: Terima Kasih Filipina Bebaskan Sandera WNI”, liputan6.com,
8 September 2017. Dapat diakses di:
http://news.liputan6.com/read/3087247/panglima-tni-terima-kasih-filipina-bebaskan-sandera-wni
Media
Online, “Upaya Atasi Perompak di Perairan Perbatasan Indonesia-Filipina”,
maritimnews.com, 31 Mei 2017. Dapat diakses di:
http://maritimnews.com/upaya-atasi-perompak-di-perairan-perbatasan-indonesia-filipina-bagian-i/
Media
Online, “2 Kodam Diresmikan, Merdeka di Manado dan Kasuari di Papua Barat”,
detik.com, 17 Januari 2017. Dapat diakses di:
https://news.detik.com/berita/d-3398567/2-kodam-diresmikan-merdeka-di-manado-dan-kasuari-di-papua-barat
Media
Online, “Kewenangan Panglima Dipangkas, Komisi I DPR Agendakan Rapat Khusus”,
detik.com, 7 Februari 2017. Dapat diakses di:
https://news.detik.com/berita/d-3416113/kewenangan-panglima-dipangkas-komisi-i-dpr-agendakan-rapat-khusus
Media
Online, “Panglima: Pancasila dilecehkan, TNI akhiri kerja sama dengan Australia”,
antaranews.com, 5 Januari 2017. Dapat diakses di:
http://www.antaranews.com/berita/605014/panglima-pancasila-dilecehkan-tni-akhiri-kerja-sama-dengan-australia
Media
Online, “Sebar Isu Pembelian 5.000 Senjata, Panglima TNI Dinilai Sedang
Berpolitik”, Kompas.com, 24 September 2017. Dapat diakses di:
http://nasional.kompas.com/read/2017/09/24/22023031/sebar-isu-pembelian-5000-senjata-panglima-tni-dinilai-sedang-berpolitik
Media
Online, “Dukung RUU Terorisme, Panglima TNI: Bodoh Kalau Gunakan UU Saat
Ini”, Detik.com, 1 Juni 2017. Dapat diakses di:
https://news.detik.com/berita/d-3517412/dukung-ruu-terorisme-panglima-tni-bodoh-kalau-gunakan-uu-saat-ini
Lebih
lanjut lihat: KontraS, Surat Terbuka Tindak Kekerasan TNI AU Kepada Jurnalis
dan Warga: http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2314).
Lebih
lanjut lihat: Kasus Kekerasan Jurnalis di Madiun, Cermin Brutalitas Aktor
Keamanan di Indonesia:
http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2322).
Bagian
1. Umum poin (d). Kepala Staff Angkatan Darat Letjen. Endriartono Sutarto,
Buku Saku: Pedoman Prajurit TNI AD dalam Penerapan Hak Asasi Manusia (HAM),
Cilangkap: Mabes TNI AD, 2000.
Lihat,
Buku Putih Pertahanan Indonesia, Kementrian Pertahanan, 2015
Lihat
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, (Ithaca: Cornell
University Press, 1978) dan Joern Broemmelhoerster dan Wolf-Christian Paes
(Eds), The Military as an Economic Actor, (New York: Palgrave, 2003).
Media
Online, “Dibekingi Aparat, 4 Perusahaan Buang Limbah Sembarangan”,
Beritalima.com, 25 Oktober 2016. Dapat diakses di:
https://www.beritalima.com/2016/10/25/dibekingi-aparat-4-perusahaan-buang-limbah-sembarangan/
Media
Online, “Panglima TNI Harus Hentikan Keterlibatan TNI Dalam Konflik Lahan
Di Kampung Nifasi Kab. Nabire Papua Dan Tindak Oknum Pelaku Kekerasan”,
Globalnews.co.id, 7 Maret 2017. Dapat diakses di:
http://globalnews.co.id/2017/03/07/panglima-tni-harus-hentikan-keterlibatan-tni-dalam-konflik-lahan-di-kampung-nifasi-kab-nabire-papua-dan-tindak-oknum-pelaku-kekerasan/
Samuel
Huntington, The Soldier and the State, (New York: Vintage House, 1957), hlm.
20.
Media
Online, “Mengupas Kembali Keterlibatan TNI di Pertanian : Wujudkan
Ketahanan Pangan”, Berita360.com, 13 Juni 2017. Dapat diakses di:
http://berita360.com/mengupas-kembali-keterlibatan-tni-di-pertanian-wujudkan-ketahanan-pangan/
Media
Online, “Ini Alasan Ombudsman Persoalkan TNI Terlibat Urusan Petani”,
Tempo.co, 14 Juni 2017. Dapat diakses di:
https://nasional.tempo.co/read/884488/ini-alasan-ombudsman-persoalkan-tni-terlibat-urusan-petani
Media
Online, “LBH Padang kritik surat edaran Gubernur Sumbar terkait petani”,
Antaranews.com, 8 Maret 2017. Dapat diakses di:
http://www.antaranews.com/berita/616872/lbh-padang-kritik-surat-edaran-gubernur-sumbar-terkait-petani
|
Sumber: KontraS.Org
0 komentar:
Posting Komentar