KAMIS 05 OKTOBER 2017 09:48 WIB
Mungkin sebagian besar warga Indonesia tidak begitu mengenal Tumpang Pitu. Kawasan Gunung Tumpang Pitu adalah hutan yang sekaligus masuk kategori Kawasan Rawan Bencana (KRB). Tak hanya berfungsi sebagai kawasan resapan air serta tempat berkembiang-biaknya satwa lindung, Gunung Tumpang Pitu juga memiliki nilai penting bagi masyarakat karena berfungsi sebagai benteng alami dari terjangan tsunami.
Namun, saat ini kawasan itu terancam rusak. Pasalnya, pemerintah tetap berkeinginan untuk mengalihfungsikan Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu dan sekaligus mengizinkan penambangan di area tersebut. Pemerintah justru membuat kebijakan yang berbenturan dengan keselamatan warga.
Padahal, Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melarang kegiatan open pit mining (penambangan terbuka) di hutan lindung. Larangan ini rupanya disiasati oleh pemerintah dan korporasi dengan melakukan sejumlah langkah untuk menurunkan status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP). Sebab jika Tumpang Pitu statusnya masih hutan lindung, maka rencana penambangan emas di dalamnya akan terganjal dengan larangan Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Peledakan perdana di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu telah dilakukan pada 2016 silam. Selang waktu 4 bulan, telah terjadi banjir lumpur yang berdampak buruk tak hanya terhadap denyut pariwisata pantai Pulau Merah, sebuah tempat wisata yang berada di kaki Gunung Tumpang Pitu, tetapi juga berdampak pada pertanian. Kurang lebih 300 hektar ladang jagung mengalami gagal panen.
Bukan hanya ancaman kerusakan lingkungan hidup, penambangan di Tumpang Pitu juga menyisakan konflik dengan masyarakat lokal. Pada tahun 2011 dan 2015 terjadi benturan antara warga lokal dan perusahaan pertambangan. Benturan itu menyebabkan korban di pihak masyarakat.
Kerusakan lingkungan hidup dan jatuhnya korban dari masyarakat lokal akibat konflik dengan perusahaan akan menjadi keniscayaan jika pertambangan di Tumpang Pitu tetap diijinkan. Terkait dengan itulah, warga sering menggelar protes terhadap rencana pertambangan di Tumpang Pitu.
Rakyat Banyuwangi pun melawan tambang yang berpotensi merusak lingkungan hidup itu. Mereka berdemonstrasi, turun ke jalan menyuarakan perlawanan. Namun, alih-alih memperdebatkan argumentasi dari penolakan tambang itu, yang kemudian terjadi adalah politik kill the messenger (membunuh si pembawa pesan).
Pada bulan Mei lalu, Kepolisian Banyuwangi menetapkan empat orang sebagai tersangka penyebaran ajaran komunisme. Mereka adalah Andrean, Trimanto Budiawan, dan Ratna. Tuduhan itu bermula saat mereka menggelar aksi pemasangan spanduk berisi penolakan terhadap tambang emas di pegunungan Tumpang Pitu Banyuwangi. Mereka dituduh memasang gambar palu arit, lambang PKI, dalam spanduk demonstrasinya.
Pemberian label PKI masih efektif untuk membungkam suara rakyat hingga kini. Di Indonesia, bila label PKI sudah disematkan kepada seseorang maka, seolah-olah apa yang dikatakan oleh orang tersebut menjadi tidak relevan.
Upaya warga Banyuwangi untuk menyelamatkan alam di Tumpang Pitu dipatahkan dengan sebuah label PKI. Seakan-akan gerakan penolakan terhadap proyek tambang yang dinilai merusak lingkungan hidup sebagai gerakan untuk membangkitkan PKI.
Kejadian yang menimpa aktivis lingkungan hidup di Banyuwangi adalah preseden buruk bagi gerakan masyarakat yang sedang menuntut keadilan ekologi. Dihidupkannya hantu PKI telah membawa korban di Banyuwangi. Siapa yang diuntungkan dari dipeliharanya hantu PKI dalam kasus perlawanan warga terhadap tambang emas di Banyuwangi ini? Tentu bukan masyarakat banyak yang diuntungkan.
Sumber foto: ForBanyuwangi.Org
Sumber: Indonesiana.Tempo.Co
0 komentar:
Posting Komentar