Sabtu, 07 Oktober 2017

Bursa Saham Tragedi Kemanusiaan

Oktober 7, 2015 | Oleh: Anom Astika 



LEWAT tanggal 30 September, tepatnya 1 Oktober, publik negeri ini seolah sudah tidak lagi membicarakan segala hal terkait isu seputar tragedi kemanusiaan 1965. Sebelumnya, sejak awal Agustus 2015, wacana “1965” kembali mengudara terkait beredarnya isu bahwa Presiden Jokowi akan minta maaf, baik kepada keluarga korban pelanggaran HAM 1965 maupun beberapa kasus pelanggaran HAM berat lain yang terjadi semasa rezim Soeharto berkuasa.
Terlebih lagi ketika Komnas HAM menyatakan pada 27 September 2015 bahwa pembentukan Tim Rekonsiliasi sedang diupayakan oleh pemerintah bekerja sama dengan Komnas HAM. Tak pelak, polemik pun semakin ramai tentang apakah Presiden Jokowi akan minta maaf atau tidak kepada keluarga korban pelanggaran HAM 1965.
Namun, seperti biasa yang terjadi pada tahun-tahun sebelum periode Reformasi, tatkala wacana “1965” mulai diudarakan, yang menjadi pokok pembahasan adalah “apakah wacana itu mendukung PKI” atau “apakah wacana itu mendukung kebenaran yang dibuat oleh rezim Soeharto.” Tidak harus menunggu kedatangan bulan September, setiap aktivitas publik yang dianggap memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dengan “wacana 1965” dinilai sah untuk dihentikan oleh pihak aparat keamanan di tingkat lokal atau kelompok-kelompok masyarakat yang tidak suka dengan wacana itu.
Sama halnya dengan isu permintaan maaf Presiden Jokowi. Saat muncul ke ruang publik, mereka yang menolak isu tersebut mengajukan argumen bahwa “permintaan maaf” justru akan menghidupkan kembali PKI. Bahkan, argumen itu kemudian diperkaya dengan pernyataan bahwa keberadaan Neo-PKI sudah semakin menguat, terutama di media-media sosial. Argumen tersebut selanjutnya menyasar pada terma-terma psikologi. Salah seorang pimpinan ormas keagamaan, misalnya, menyatakan tidak setuju akan permintaan maaf tersebut karena trauma dengan PKI yang di masa lalu pernah berusaha membubarkan ormasnya. Namun, jika itu persoalannya, apakah pemimpin ormas tersebut bisa menunjukkan dengan jelas para pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat ini sedang mengalami trauma akibat masyarakat dan para pengguna media sosial menggaungkan tuntutan pembubaran PKS yang “terlibat” kasus korupsi impor daging sapi?
Contoh lain yang senada juga dikemukakan Taufiq Ismail. Menurut sastrawan ini, komunisme perlu diberantas karena telah melakukan holocaust terhadap puluhan juta jiwa di seluruh dunia, sekian kali lipat dari yang pernah dilakukan rezim Nazi Hitler. Itu bukan kritisisme, tetapi sekadar protes konsumen terhadap harga daging di toko A lebih mahal daripada di toko B. Karena itu, jangan membeli daging di toko A. Anehnya, persoalan holocaust kemudian dibahasakan dengan logika jual-beli barang di pasar.
Celakanya, logika jual-beli barang dan atau logika kuantitas jumlah korban juga menjadi dasar bagi mereka yang mendukung “kebijakan” permintaan maaf. Seperti dikemukakan Aan Anshori dalam tulisannya di situs Indoprogress.com,  bahwa “Problem terbesar Peristiwa 65 terletak pada banyaknya jumlah korban yang dibantai saat itu.” Persoalannya, apakah jika jumlahnya tidak besar lantas pengganyangan nyawa manusia karena perbedaan keyakinan politik atau karena “ketidaksukaan/dislike” terhadap seseorang/kelompok menjadi sah, rasional, dan dapat dibenarkan? Atau apakah pengganyangan nyawa manusia dengan jumlah lebih sedikit, tetapi dengan kualitas (maaf) meminum darah sang korban—sebagaimana digambarkan dalam film Look of Silence karya Joshua Oppenheimer—menjadi sah, rasional, dan dapat dibenarkan?
Salah satu problem, tentunya bukan yang terbesar dan belum cukup terjelaskan serta menjadi terang benderang terkait tragedi kemnusiaan 1965, adalah tentang keadaan sosial, politik, dan ekonomi negeri ini—baik lokal maupun nasional—sebelum kejadian dan bagaimana situasi tersebut berperan besar dalam membentuk semacam kesadaran politik dengan “menunjuk siapa yang disebut lawan” dan karenanya “layak dan pantas” tidak diperlakukan sebagai manusia.
Sebagai contoh kasus di Bali. Kekerasan tidak bermula dari pertentangan politik PKI versus PNI, melainkan berawal dari pertentangan dalam tubuh PNI. Keputusan Presiden Soekarno memilih Suteja sebagai kepala daerah ketimbang Mantik yang memenangi semacam pilkada gubernur Bali saat itu menimbulkan konflik keras dalam tubuh PNI. Di tingkat masyarakat terjadi semacam “polemik” antara “yang mempertahankan tradisi” dengan “yang memperbarui tradisi.” Pihak pertama menginginkan tradisi Bali tidak berubah dengan segala aturannya. Pihak kedua, sebenarnya juga tidak menolak tradisi, lebih menekankan perihal “keekonomian” tradisi agar tidak membebani masyarakat miskin di Bali. Singkatnya, pertentangan antara tradisional dan rasionalitas modern. Karena itu, menjadi cukup jelas mengapa sasaran kekerasan di Bali adalah para pendukung Suteja cq pendukung Soekarno yang diduga dan atau dinyatakan sebagai “anggota” PKI serta anggota PKI sendiri. Juga menjadi jelas mengapa dalam banyak kasus kekerasan tersebut, para korban rata-rata dibawa ke pura untuk disucikan sebelum nyawa mereka dicabut.
Hal kedua yang menarik adalah mengapa sebagian besar dari sasaran kekerasan tersebut justru mereka yang berprofesi sebagai guru. Sejumlah data menyebut angka 30.000-92.000 guru dibunuh. Sementara Harian Kompas pada awal 1965 mengutip pernyataan pemerintahan Soekarno bahwa Indonesia masih membutuhkan 60 ribu guru. Apa sebenarnya yang berbahaya dari 92 ribu orang guru itu sampai nyawa mereka perlu dicabut? Apakah, misalnya, karena aktif melakukan aksi pemberantasan buta huruf maka dia menjadi sah, rasional, serta layak dan pantas untuk dibunuh?
Hampir semua sejarah negeri yang membangun keberadaban, ujar Walter Benjamin, selalu bersanding dengan sejarah kebiadaban. Akan tetapi, itu bukan berarti sebuah pembenaran terhadap berlakunya kebiadaban sebagai logika dasar kemajuan berpikir manusia; tidak sama arti dengan semakin banyak dirimu membunuh maka semakin cerdaslah dirimu. Begitu pula sebaliknya. Walaupun diperlukan sekian ratus ribu kali Presiden Jokowi minta maaf kepada semua korban kekerasan tidaklah secara langsung mengandaikan keberadaban sebuah negeri. Hal yang jauh lebih penting di sini adalah cara pandang dalam melihat realitas sosial serta keterbukaan menerima sejarah bahwa apa pun yang sudah dibangun selama 20 tahun awal masa kemerdekaan sampai dengan 1965 adalah hasil kerja mereka yang beradab. Juga untuk alasan yang sama adalah kebiadaban untuk menghancurkan hasil karya 20 tahun tersebut dengan segala macam skenario politik. Di situlah titik paling menjijikkan dari tragedi kemanusiaan 1965.***
Sumber: Prisma.Com 

0 komentar:

Posting Komentar