Tahanan politik perempuan ini orang-orang terdidik yang
beraktivitas dalam politik, seni, dan pendidikan. Diasingkan di Kamp Plantungan
selama belasan tahun tanpa diadili.
Nur Janti - 04 Oktober 2017
Tahanan politik perempuan di
Kamp Plantungan.
KAMP Plantungan terletak di kaki Gunung Prau, Kendal,
Jawa Tengah. Tempat sangat terpencil ini jadi “Pulau Buru”-nya tahanan politik
perempuan. Mereka yang diasingkan ke Kamp Plantungan merupakan tahanan politik
golongan B, yakni terindikasi aktif dalam organisasi komunis tetapi tidak cukup
bukti untuk diadili.
“Mereka sebagian besar orang-orang yang punya aktivitas politik, seni, maupun olahraga. Mereka orang-orang terdidik,” kata sejarawan Amurwani Dwi Lestariningsih kepada Historia.
“Mereka yang diasingkan di Plantungan ada yang aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), mahasiswa anggota CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), simpatisan PKI, tapi ada juga yang salah tangkap.”
Misalnya, Sumilah berusia 14 tahun ditangkap di
Yogyakarta. Sumilah yang sebenarnya tinggal di Desa Brosot, sedangkan dia di
Prambanan. Ada pula perempuan yang ditangkap sebagai jaminan atas suaminya,
seperti Ratih, istri Ooloan Hutapea, anggota Politbiro CC PKI. Ratih tidak
berafiliasi dengan organisasi PKI apa pun. Begitu pula dengan istri Nyono,
ketua SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), juga tidak aktif
dalam gerakan.
Ada sekira 500 tahanan politik perempuan yang ditahan di
Kamp Plantungan. Tujuh di antaranya sebagai berikut:
Umi Sardjono
Anggota DPR-GR ini ditangkap lantaran mengetuai Gerwani,
organisasi perempuan berafiliasi dengan PKI. Dia ditangkap bersama beberapa
anggota Gerwani di Senayan.
Annie Pohlman dalam Women, Sexual Violence and
Indonesian Killings of 1965-66 memuat wawancaranya dengan Umi. Umi
mengungsi ke Senayan lantaran terjadi kerusuhan dan pengrusakan pasca 1 Oktober
1965. Rumahnya turut kena sasaran. Ia mengepak barang-barangnya lalu menginap
di kantin dan wisma DPR di Senayan.
Baru satu malam menginap Umi ditangkap lalu dibawa ke
Kodam. Dia diinterogasi berhari-hari. Dalam setiap interogasi, dia menolak
tuduhan bahwa Gerwani menari telanjang dan menyiksa para jenderal. Dia ditahan
di Penjara Bukit Duri, lalu dipindah ke Kamp Plantungan.
Lebih lengkap baca Umi Sardjono: Pembuka Jalan Gerakan Perempuan
Salawati Daud
Dia dikenal sebagai tokoh yang membawa ideologi kiri ke
Sulawesi Selatan. Berkat kampanye masifnya di Tanah Toraja, PKI menang di
wilayah ini pada pemilu 1955. Hal ini memuluskan jalannya untuk menjadi anggota
DPR Fraksi PKI. Anggota Gerwani ini pernah menjabat sebagai walikota Makassar
ketika Sulawesi sedang berhadapan dengan Westerling.
Pada hari penangkapannya, Salawati sedang menuju ke parlemen.
Dia kemudian dibawa ke markas Kostrad, kemudian ditahan di Kamp Bukit Duri. Dia
dipindah ke Kamp Plantugan pada gelompang pemindahan pertama.
Mia Bustam
Dia bernama asli Sasmia Sasmojo yang aktif di Seniman
Muda Indonesia. Pada 1962-1963, dia menjadi Ketua Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakyat) Yogyakarta. Dia pernah berkuliah di Universitas Rakyat, universitas
yang didirikan PKI. Dia juga merupakan istri pertama pelukis S. Sudjojono. Dia
memutuskan untuk berpisah dengan Sudjojono karena menolak dipoligini.
Dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp, Mia
menceritakan detik-detik penangkapannya.
“Terdengar suara tembakan. Orang-orang berbaju hijau berlompatan turun dari truk dan salah seorang dari mereka berteriak, ‘Semua yang berada di dalam keluar!’”
Mia ditangkap pada 23 November 1965 di Yogyakarta. Dia
ditahan di Polres Sleman lalu dipindah ke Vredeburg pada Desember 1965. Pada
April 1966, dia dipindahkan ke Wirogunan Yoyakarta hingga 1971, kemudian
akhirnya di Kamp Plantungan. Pada 1976 dia dipindahkan lagi ke penjara Bulu,
Semarang dan dibebaskan pada 1978. Setelah keluar dari pengasingan dia
mendirikan organiasi mantan tahanan politik perempuan di Jawa Tengah dengan
nama Sri Tanjung.
Dra. Bra.
Murtiningrum
Murtiningrum adalah dosen bahasa Inggris di salah satu Universitas
di Yogyakarta yang aktif dalam HSI (Himpunan Sarjana Indonesia). Dia memiliki
darah keraton Yogyakarta. Meski kakaknya, Sultan Hamengkubuwono IX, dia tetap
kena ciduk rezim Orde Baru.
Murtiningrum ditempatkan di blok C. Menurut Amurwani
dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, tempat itu
untuk tahanan dengan klasifikasi berat, seperti dosen dan seniman yang punya
nama besar dan dikenal publik.
Tiap blok memiliki ketua dan wakil ketua yang bertugas
mengkoordinasi tugas dan piket para tahanan politik. Mereka juga menjadi
penghubung antara tahanan politik dengan petugas. Murtiningrum dipercaya oleh
teman-temannya untuk menjadi wakil ketua blok C. Mereka percaya dia cukup
cerdas dan kompeten untuk menampung aspirasi.
“Ketua blok harus pandai-pandai ‘bermain’ agar mendapat kepercayaan dari petugas kamp sekaligus tidak membiarkan petugas betindak sewenang-wenang terhadap para tahanan politik,” tulis Amurwani.
Sri Kayati
Perempuan bangsawan lain yang kena ciduk adalah Sri
Kayati. Kendati berdarah Kasunanan Surakarta, dia menjadi anggota Lekra dan
CGMI Surakarta. Bahkan, suaminya, Rewang adalah anggota CC PKI.
“Mereka yang punya ideologi yang di kala itu dilarang langsung ditangkap. Termasuk anggota keraton,” Kata Amur.
Sri Kayati ditangkap saat mencari suaminya di Surabaya.
Pada saat penangkapan, petugas mengatakan bahwa Kayati hanya ditangkap
sementara dan bila Rewang sudah tertangkap dia akan dibebaskan. Pada
kenyataannya, hal itu tidak terjadi.
Kayati dipenjara selama 14 tahun tanpa pernah diadili.
Selama tiga tahun ditahan di Undaan, Surabaya, dia menyaksikan bagaimana
tahanan perempuan disiksa dan menerima beragam pelecehan seksual. Dia
dipindahkan ke Kamp Plantungan pada 1971.
Dra. Heryani
Busono Wiwoho
Guru bahasa Inggris ini anggota HSI Yogyakarta. Suaminya,
Dr. Busono Wiwoho merupakan pembantu dekan III Fakultas Psikologi UGM, sebelum
akhirnya mejadi tahanan politik. Heryani mulai menjadi tahanan politik pada
1965 dan dibebaskan pada 1978.
Ketika Heryani ditangkap, anaknya berusia 4 dan 7 tahun.
Selama 13 tahun ditahan, dia menitipkan anaknya kepada keluarga. Di Kamp
Plantungan, dia menjadi ketua Blok C bersama Murtiningrum sebagai wakilnya.
Dr. Sumiyarsi
Siwirni Caropebeka
Sumiyarsi terpilih menjadi anggota dewan eksekutif HSI
beberapa waktu sebelum 30 September 1965. Sebagai bendahara di oraganisasi
sarjana yang dianggap berafiliasi dengan PKI ini, rumahnya digeledah pada 13
Oktober 1965. Penggeledah itu bukan oleh aparat, melainkan preman Pasar Senen.
Ketika penggeledahan ini, Sumiyarsi sedang dalam
perjalanan menuju ke rumah. Namun, di tengah jalan dia melihat perabotan
rumahnya dikeluarkan kemudian dibakar. Ia mencoba menyelamatkan diri dengan
bersembunyi di rumah tetangganya, Prof. Suprapto SH., seorang pengacara dan
anggota pimpinan HSI pusat.
Dalam penggeledahan ini, para preman menemukan dokumen
yang berisi permintaan sekretaris comite agar Sumiyarsi menuliskan surat
keterangan izin libur bagi orang-orang PKI yang akan berlatih dalam rangka
Dwikora. Dari sinilah, Sumiyarsi kemudian dikenal sebagai “dokter lubang
buaya.”
Kala itu, Sumiyarsi menjadi panitia Konferensi Asia
Afrika Oceania (KAAO). Berkat kebaikan rekannya yang juga panitia konferensi
KAAO, dia dapat menyelamatkan diri dan menginap di Hotel Indonesia.
Berbekal honor sebagai panitia, Sumiyarsi menyelamatkan
diri dari kejaran militer dengan berpindah-pindah ke berbagai tempat. Mulanya,
dia bersembunyi di Semarang, kemudian ke Salatiga selama sebulan, lalu kembali
ke Semarang lagi, setelahnya ke Surabaya. Namun, di Surabaya tidak aman, dia
pindah ke Bandung.
Pada Februari 1967, dia pindah ke Sukabumi karena Bandung
juga tidak aman. Di Sukabumi, dia menginap di rumah seorang mantri bersama
beberapa orang lain yang juga bersembunyi. Di tempat inilah dia ditangkap.
Sumiyarsi dibawa ke kantor polisi Sukabumi kemudian
dipindah ke tahanan di Jalan Braga, Bandung. Setelah dua bulan, dia dipindahkan
ke penjara Kebayoran Baru, kemudian dipindah lagi ke penajra Pesing, Jakarta.
Dia kemudian dipindah ke Sarang Kalong, baru setelahnya
dipindah ke penjara Bukit Duri. Dari Bukit Duri, dia dipindah bersama dengan
tahanan politik golongan B lainnya ke Kamp Plantungan.
0 komentar:
Posting Komentar