Seperti halnya
“Genjer-Genjer” yang diciptakan M. Arief, lagu “Garuda Pancasila” juga
diciptakan seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Ia bernama Sudharnoto.
Karena militer dan
Orde Baru menganggap Lekra sama dengan PKI, Sudharnoto yang pernah bekerja di
RRI Jakarta kemudian dikejar-kejar dan dibui. Setelah keluar penjara sekitar
1968—1969, ia bekerja sebagai penjual es dan sopir taksi. Nasibnya memang
sedikit lebih beruntung daripada M. Arief yang hilang setelah peristiwa 30
September.
Di mata Orde Baru,
kesalahan Arief sangat fatal: menciptakan “Genjer-Genjer”pada 1942 dengan
konteks penderitaan rakyat menghadapi invasi Jepang dan lagu itu digemari Njoto
(tokoh PKI) yang sedang singgah ke Banyuwangi. Lho, apa hubungannya dengan dia
sebagai pencipta lagu? Tidak ada. Watak fasis tak perlu alasan yang masuk akal
atas segala sesuatu.
LBH Jakarta dan
YLBHI yang secara historis membela semua kelompok dan ideologi (termasuk kubu
Islam garis keras) difitnah sebagai “sarang PKI” dan diserang. Patung Tani yang
merupakan simbol mobilisasi umum untuk merebut Papua dari Belanda juga disebut
simbol PKI.
Buku Das
Kapital yang berisi dasar-dasar pemikiran Komunisme justru disebut
“mengajari generasi muda menjadi kapitalis”.
Hanya karena
sama-sama berjenggot, foto Mikhail Bakunin yang dicetak di kaos merah salah
satu peserta yang datang ke LBH dikira foto Karl Marx dan dianggap sebagai
bukti keberadaan komunis di acara itu. Padahal Bakunin penentang Komunisme
(negara) seperti yang terjadi di Soviet yang dianggapnya sama menindasnya
dengan Kapitalisme.
Kelompok fasis yang
membalut identitasnya dengan agama bahkan ngotot menyebut Jokowi adalah komunis
meski kebijakan dan proyek-proyek pembangunannya justru sangat kapitalistis dan
menimbulkan konflik di mana-mana: reklamasi Teluk Jakarta, sawah sejuta hektare
di Papua yang akan dikelola perusahaan (bukan rakyat), atau PLTU-PLTU dan
bendungannya yang tidak mencerminkan keadilan ekologis.
Kelompok ini tidak
mau tahu dan tidak peduli.
Jokowi dan Istana
tetap disebut mendukung kebangkitan PKI. Padahal ia tidak merebut dan
membagi-bagikan tanah kepada petani seperti BTI atau PKI. Ia hanya
membagi-bagikan sertifikat yang secara jelas menguatkan konsep kepemilikian
pribadi terhadap tanah. Jauh dari ide tanah sebagai faktor produksi yang harus
dikuasai secara komunal.
Dengan sertifikasi,
tanah yang milik pribadi lebih mudah dibeli dan dikuasai modal, seperti kasus
komunitas Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat. Beda dengan tanah di Baduy
Dalam atau Tenganan Pegringsingan di Karangasem yang tak dapat diperjualbelikan
ke pemodal resort atau hotel karena milik adat.
Jokowi harus
disebut PKI. Begitu juga PDIP yang dalam sejarahnya merupakan fusi partai
nasional seperti PNI dan agama (non-Islam). Meski dalam sejarahnya PNI dan PKI
sengit berkonflik (sesengit saling serang antara koran Suluh
Indonesia milik PNI dan Harian Rakyat milik PKI).
Tapi, gerombolan
ahistoris ini tentu tak peduli.
PDIP dianggap sama
dengan komunis. Padahal menjadi Marhaenis saja partai ini gagapnya setengah
mati. Kader-kadernya seperti Ganjar Pranowo di Jawa Tengah lebih sibuk membela
pabrik semen daripada para petani seperti Pak Marhaen yang sedang
mempertahankan sumber air untuk mengairi sawahnya sendiri yang sepetak dua
petak.
Partai ini bahkan
mendukung Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang kebijakan pembangunannya
menggusur, bahkan dengan melibatkan tentara. Ahok sendiri adalah pejabat yang
dengan enteng menyebut warga bantaran Waduk Pluit sebagai “komunis” karena
dianggap menduduki “tanah negara”.
Bagi kelompok
sejenis “massa 299”, semua itu tak penting dan tak relevan. Mereka kawin-mawin
dengan para jenderal dan pensiunan yang rindu masa-masa kejayaan Dwifungsi ABRI
Orde Baru. Yang bisa memegang tongkat komando, tapi juga bisa duduk di
pemerintahan sebagai pejabat yang mengatur APBN atau APBD. Yang bisa
mengerahkan pasukan, tapi juga bisa duduk di DPR ikut membuat undang-undang.
Yang tetap
mempertahankan baret dan seragamnya, tapi juga bisa duduk di komisaris
perusahaan negara, daerah, dan swasta.
Siapa yang tak
rindu masa-masa itu? Dan jalan paling murah untuk mewujudkannya adalah
menggalang sentimen anti-Komunisme dibalut agama. Karena itu, semua harus
di-PKI-kan. Semua adalah PKI.
Padahal merekalah
yang PKI: Penduduk Kurang Informasi.
Mojok.Co
0 komentar:
Posting Komentar