Minggu, 01 Oktober 2017

Palu Arit di Ladang NU

Budi Setiyono | 1 Okt 2017, 14:15

Peristiwa Madiun kerap menjadi titik bakar penentangan NU terhadap komunis.


Ketua CC PKI DN Aidit melirik ke arah Menteri Agama Saifuddin Zuhri yang menerima ucapan selamat dari Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal TNI AH NAsution pada Maret 1962. Foto: repro: "Berangkat dari Pesantren."

Sejak lama NU antipati terhadap PKI. Menurut Greg Fealy dan Katharine McGregor dalam “Nahdlatul Ulama and the Killing of 1965-66: Religion, Politics, and Remembrance”, dimuat jurnal Indonesia 89, April 2010, sejak didirikan pada 1926, para pemimpin NU secara konsisten menentang komunisme, mencela doktrinnya sebagai ateis, serta cita-cita mengenai kepemilikan kolektif atas kekayaan dan properti sebagai laknat menurut ajaran Islam.
“Tapi anti-komunisme NU, sampai akhir 1940-an, kurang intens dibandingkan rekan agamawan mereka dari kelompok modernis dalam organisasi seperti Muhammadiyah dan Persis,” tulis mereka.
Sikap itu berubah setelah sejumlah kiai NU, yang saat itu tergabung dalam Masyumi, menjadi korban dalam Peristiwa Madiun 1948.

Menghadapi PKI
Setelah menjadi partai politik, dalam beberapa isu NU mempertahankan sikap oposisinya terhadap PKI. Antara lain ditunjukkan dengan menolak pelibatan PKI dalam kabinet pada 1953 dan 1956. NU juga memprotes pembukaan Kedutaan Besar Uni Soviet di Jakarta, penggunaan tanda gambar “PKI dan orang-orang tak berpartai” dalam pemilu, dan dukungan menteri pertahanan terhadap dipersenjatainya veteran-veteran komunis untuk melawan Darul Islam.
Namun, tak seperti Masyumi, selama 1950-an NU cenderung akomodatif. NU, misalnya, mengutuk pembentukan Front Anti Komunis yang disokong sayap kanan ekstrem Masyumi. Ketika Masyumi menginisiasi acara Muktamar Ulama di Palembang pada 8-11 September 1957, yang menghasilkan rekomendasi mengharamkan komunisme, NU tak bersedia mengirimkan delegasi.
Menurut Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, NU secara politik memang tak setuju dengan keberadaan PKI, tapi banyak elite NU merasa bisa bersanding dengan pihak komunis, ketimbang terhadap kelompok muslim reformis.
PKI sendiri mengulurkan tangan atas kesediaan NU menjalin kerjasama dengan partai nasionalis dan kiri. Pada September 1954, PKI mengirimkan ucapan selamat atas penyelenggaraan Muktamar NU di Surabaya. Bahkan, editorial Harian Rakjat, koran PKI, selalu menempatkan NU di antara “partai-partai demokratik”.
Kekhawatiran NU mencuat setelah PKI meraih peningkatan luar biasa, termasuk di basis-basis NU, dalam pemilu DPRD. “Seusai pelaksanaan pemilu daerah, cabang-cabang NU di daerah lebih memandang PKI, dan bukan Masyumi, sebagai ancaman terbesar mereka,” tulis Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967.
Meningkatnya pengaruh PKI dan kedekatannya dengan Sukarno memaksa NU mengadopsi kebijakan akomodatif dan berpartisipasi dalam semua kabinet dan lembaga di era Demokrasi Terpimpin. Sikap ini mendapatkan kritik dari kelompok militan yang antikomunis seperti M. Munasir, Jusuf Hasyim, Subchan ZE, dan Bisri Syamsuri.
“Berbeda dengan para pemimpin moderat NU yang memandang PKI semata-mata sebagai masalah politik, kelompok militan memandang PKI sebagai ancaman fisik yang membahayakan Islam,” tulis Fealy.
Hubungan NU dan PKI memburuk pada 1960-an ketika PKI mengkampanyekan “aksi sepihak” sebagai upaya melaksanakan reformasi agraria (landreform) yang diamanatkan dalam UU No. 5/1960 atau Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Aksi Sepihak
Pada Oktober 1961, sebulan setelah Panitia Landreform mulai bekerja, Pengurus Besar Syuriah NU menggelar Bahtsul Masail atau forum diskusi untuk membahas masalah agraria. Forum menghasilkan fatwa yang mengharamkan landreform. Alasannya, melanggar himayatul mal(perlindungan properti) yang menjadi salah satu tujuan syariah.
Gita Anggraini dalam Islam dan Agraria menyebut, pengharaman itu bukanlah terhadap program landreform, “tetapi terhadap hal-hal yang mencederai prinsip dasar landreform, karena program landreform itu sendiri mendapat dukungan dari kalangan ulama.” Salah satunya DPR-GR, yang mensahkan UUPA, diketuai KH Zainul Arifin dari NU.
Namun, sebulan kemudian, rapat Dewan Partai menyimpulkan, UUPA “boleh” hukumnya kalau memang diperlukan untuk membantu fakir miskin dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, sedangkan jalan lain tidak ada.
Dalam praktiknya, banyak kiai atau pemilik tanah muslim tak rela kehilangan tanah mereka.
Terkait keengganan tuan tanah muslim, Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasionalmenekankan perlunya memahami persoalan tanah dalam hubungan dengan wakaf; bahwa tanah bisa dimiliki masyarakat, sedangkan pengelolaannya bisa dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Mereka yakin tanah wakaf tak masuk kategori tanah landreform. Namun, kaum komunis punya cara pandang berbeda.
Karena pelaksanaan UUPA berjalan lamban, PKI menggiatkan aksi ofensif melalui aksi sepihak. Selain PNI, aksi ini mendapat perlawanan dari NU, terutama para kiai dan pemimpin Ansor di daerah. Bentrokan, bahkan disertai kekerasan, pun tak terelakkan.
Presiden Sukarno turun tangan dan mengundang partai-partai dalam pertemuan di Bogor, yang menghasilkan Deklarasi Bogor. Namun, bentrokan masih terjadi di sana-sini.
Dalam putusan sidang dewan partai 20 Desember 1964, NU menyatakan siap melaksanakan Deklarasi Bogor. Namun NU juga meminta pelaksanaan UUPA secara konsekuen, “yang di dalamnya mengatur pelaksanaan land reform dan land use dan menjamin hak milik wakaf, waris, dan hak-hak lain yang diatur oleh Agama Islam.
“Mengenai tanah wakaf, jika merupakan tanah hibah palsu akan dikutuk,” ujar Idham Chalid dalam rapat dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), 19 Januari 1965.
Di jantung kekuatan NU di Jawa Timur, PKI bersikap defensif dan akhirnya menarik diri dari kampanye aksi sepihak. Bagi NU “kemenangan” itu peningkatan kepercayaan diri mereka dalam berhadapan dengan PKI.

Aksi Militan
Peristiwa 30 September 1965 mencemaskan para pemimpin NU. Beberapa kiai dan tokoh senior NU disembunyikan di tempat yang aman. Sementara yang lainnya, terutama tokoh-tokoh muda militan, pindah ke rumah Wahid Hasyim di Matraman dan Subchan ZE di Jalan Banyumas, Menteng; keduanya di Jakarta Pusat.
Sementara tokoh-tokoh senior bersembunyi, kelompok militan mengadakan pertemuan dengan para pejabat militer, yang dekat dengan Soeharto, yang merebut kembali kendali ibukota keesokan harinya. Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan kampanye anti-PKI, termasuk pembentukan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP-Gestapu) dan Badan Koordinasi Keamanan Jam’iyah Nahdlatul Ulama (BKKJNU).
Inisiatif diambil kelompok militan tanpa berkonsultasi dengan Idham Chalid, yang masih bersembunyi, atau Wahab Chasbullah, yang sedang berada di Jombang. “Bahkan jika Idham dan Wahab ada, mereka mungkin tak berdaya menghentikan kelompok militan,” tulis Fealy dan McGregor.
Dengan dua organ itu dimulailah aksi pengerahan massa hingga pengganyangan PKI, dengan persetujuan Angkatan Darat. Yang terparah terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurut Fealy, ada beberapa faktor penyebab. Yang paling kuat adalah pengaruh psikologis bahwa mereka hanya punya dua pilihan: dibunuh atau membunuh. Mereka juga mengambil pelajaran dari Peristiwa Madiun dan aksi sepihak.
“Aksi kekerasan cenderung lebih banyak terjadi di daerah-daerah yang lebih sering mengalami aksi sepihak,” tulis Fealy.
Kekerasan terhadap PKI mulai berhenti pada Februari 1966.
Persoalan belum rampung karena Presiden Sukarno enggan membubarkan PKI. Tokoh-tokoh senior NU, yang sudah mengambilalih kendali partai, juga masih merapat ke Sukarno.
Namun kedudukan Sukarno terus melemah. NU akhirnya mengakhiri hubungannya dengan Sukarno dan mendukung rezim baru, Soeharto.
Sumber: Historia.Id 

0 komentar:

Posting Komentar