RAUT wajah Presiden Sukarno tampak menahan kesal teramat sangat. Sambil duduk, ia dihadapkan pada selembar kertas yang harus ditandatangani. Di sisi kanan Bung Besar, berdiri Jenderal Soeharto bersama istrinya, Fatimah Siti Hartinah. Di belakang mereka bertiga, berdiri seorang muda berkulit gelap—yang sayangnya saya tak tahu siapa.
Begitulah sekilas cerita yang bisa saya rangkai dari sebuah foto yang jarang beredar ke publik luas. Lembar kertas yang harus dibubuhi cap resmi Sukarno itu, kini kita kenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Surat misterius yang mengantarkan Soeharto naik ke tampuk tertinggi pemerintahan, dengan menggulingkan Sukarno.
Cerita yang kemudian terekam dari foto tersebut, sejatinya, telah dilatari perjalanan melelahkan sebuah aksi coup d’etat (kudeta pemerintahan) angkatan bersenjata Indonesia di bawah kendali seorang jenderal paling berbakat dalam politik Indonesia. Pada dini hari 1 Oktober 1965, enam orang perwira tinggi dari Staf Umum Angkatan Darat, termasuk Menteri/Panglima Angkatan Darat, Jenderal Ahmad Yani, dibangunkan di kediaman mereka. Diculik lantas dibunuh oleh kelompok bersenjata yang berasal dari satuan Kostrad. Sementara Menteri Keamanan Nasional, Jenderal Abdul Haris Nasution, berhasil meloloskan diri.
Peristiwa itu mengakibatkan keadaaan kacau-balau serta kegoncangan hebat di Indonesia. Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan. Riwayat Partai Komunis Indonesia (PKI) tamat. Pembantaian massal merebak di Jawa dan Bali. Dua tahun berselang Sukarno dilucuti sebagai presiden pertama Indonesia.
Lelaki perbawa yang pernah memegang kemudi kekuasaan sebagai Pemimpin Besar Revolusi, dihukum tanpa keputusan pengadilan. Saat menjalani penahanan rumah yang dikenakan Soeharto padanya, ia akhirnya berpulang pada 21 juni 1970—membawa sebuah bab yang hilang dari sejarah negeri ini. Pada tanggal yang sama sembilan tahun sebelumnya, lahir bayi Joko Widodo di Solo, yang kelak akan mengikuti jejak Sukarno.
Namun, keajaiban sejarah punya caranya sendiri. Tak ada yang sungguh benar bisa bersembunyi di bawah kolong langit dunia. Remah-remah ruang waktu pada masa lalu tetap menjadi kegandrungan manusia hingga kini. Pun begitu dengan kehidupan kita, yang kelak akan menyejarah bagi generasi pelanjut di masa datang.
Rahasia besar yang disimpan rapat oleh Soeharto, akhirnya bocor dan sampai ke tangan saya sebagai sebuah tulisan utuh dalam duapuluh tiga bab. Dokumen itu saya terima dari seseorang penyintas sejarah berinisial DP, yang juga sempat mengunggah arsip itu pada 2 Juli 2014 pukul 00.52. Dalam bab keduabelas, tertera pengakuan Soeharto terkait Supersemar.
“Pada 11 Maret 1966, tiga orang jenderal bawahanku, telah kuutus membawa surat kepada Presiden Sukarno, yang isinya telah diatur sedemikian rupa, bahwa aku, Soeharto, takkan bertanggungjawab mengenai keamanan negeri, seandainya tidak diberikan kekuasaan penuh menumpas G30S/PKI di Indonesia. Aku meminta tiga jenderal itu agar mendesak Presiden, supaya ia bersedia membuatkan surat perintah khusus kepadaku. Kelak surat itu disebut sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).
Meskipun redaksinya telah kuubah dari perintah pengamanan Jakarta, menjadi ‘pelimpahan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto.’ Seketika itu kami umumkan isi surat tersebut, dan kami nyatakan pada masyarakat bahwa surat tersebut adalah mukjizat dari Tuhan yang dianugerahkan kepada rakyat dan bangsa Indonesia.
Sebagai gebrakan awal, kendati dengan cara-cara teror dan kekerasan, kami pun berhasil membubarkan Partai Komunis di seluruh Indonesia. Dalam beberapa hari, limabelas menteri pendukung Sukarno berhasil kami tangkap. Aku berpura-pura tidak tahu ketika Sukarno menyatakan kaget mendengar gebrakan ini. Kabarnya ia bertanya-tanya, kenapa Soeharto melakukan tindakan yang tidak dikonsultasikan lebih dahulu? Maka dalam hati aku menjawab, mengapa harus dikonsultasikan? Ini adalah politik, dan politik adalah siasat.
Kejituan siasat harus diraih dengan sekuat mungkin tanpa perlu konsultasi dari pihak mana pun. Sejarah tentang mereka akan kami gelapkan. Biar sajalah angkatan muda tidak mengenal sejarah bangsanya sendiri. Ya, semua itu bermula dari Supersemar. Bukankah itu suatu siasat jitu untuk menciptakan iklim perebutan kekuasaan berdasarkan cara-cara konstitusional..?”
Nama Soeharto disebut oleh Kolonel Latief dalam Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S (2000) di depan Mahmilub. Dalam buku lain, Sewindu Dekat Bung Karno, karya Bambang S. Widjanarko (1988), anggota Detasemen Kawal Pribadi Bung Karno, nama Soeharto muncul dua kali sebagai pembantah perintah panglima tertinggi angkatan bersenjata—yang tak lain adalah Presiden Sukarno.
Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Kostrad, secara otomatis “naik pangkat” menggantikan Jenderal Ahmad Yani (Panglima AD) yang gugur pada dini hari 1 Oktober 1965. Pada penutupan Subbab 1 Oktober 1965 karya Bambang Widjanarko itu, kita dapat menemukan tulisan seperti ini:
“Malam itu saya menginap di Istana Bogor. Pagi hari 2 Oktober 1965, Bandara Halim yang telah ditinggalkan Bung Karno pada dini hari 1 Oktober, diserbu dan diduduki pasukan Kostrad. Hari yang sarat kejadian itu takkan pernah saya lupakan. Hari yang merupakan titik balik perjalanan hidup Bung Karno, dan juga berubahnya jalan sejarah bangsa Indonesia. Hand of God nama patung perunggu indah yang berdiri tegak di halaman belakang Istana Bogor, sebenarnya telah bergerak dan mengubah arah perjuangan rakyat Indonesia tercinta.”
Mungkin hanya Kolonel Bambang Widjanarko yang tahu persis bahwa malam 1 Oktober 1965 itu, Soeharto-lah yang memberi ia perintah agar membawa Bung Karno keluar dari Halim. Gerakan kudeta militer yang dipimpin Kolonel Latief, Brigadir Jenderal Supardjo Rustam, dan Letnan Kolonel Untung (ketiganya anak buah Soeharto) di Lubang Buaya, berujung buntung karena dalam waktu singkat dihantam 60 ribu pasukan yang pada 29 September 1965, sudah dicemaskan Latief sebagai belum jelas keberpihakannya.
Soeharto ternyata tak seperti yang diperkirakan Latief. Ia justru menjadi panglima penggebuk G30S dengan mengerahkan, terutama, pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan pasukan Kostrad.
Penting diketahui, kala itu Soeharto menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Dengan kuasanya, ia bisa menggerakkan pasukan dengan kualifikasi Banteng Raiders di tubuh Angkatan Darat, untuk bertindak. Seperti yang dilihat oleh para anggota DKP saat melarikan Bung Karno ke Bandara Halim, bahwa di sekitar lapangan Gambir, Monas, sudah ada pasukan raiders dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang jumlahnya berkompi-kompi. Kesimpulannya, kudeta yang konon dirancang oleh Dewan Jenderal itu, ternyata juga dikudeta oleh jenderal jenius, Soeharto.
Permainan politik tingkat tinggi semacam ini takkan bisa terwujud bila tidak menyertakan kiprah para telik sandi. Sudah bukan rahasia umum bila sejak era 1950-an, Indonesia telah disusupi para telik sandi Central Intelligence Agency (CIA-Amerika), Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB-Soviet), dan SAS/M16 milik Inggris. Dalam dokumen bertarikh 1975 dengan judul “Summary of Facts: Investigation of CIA Involvement in Plans to Assassinate Foreign Leaders,” terekam pembicaraan dalam tubuh CIA untuk mengakhiri hidup Presiden Sukarno. Pembicaraan itu tidak ditindaklanjuti karena Richard Nixon, wakil presiden Amerika Serikat kala itu, tidak setuju dengan rencana tersebut.
Masih dalam rangka memfasilitasi bantuan rahasia kepada militer Indonesia, Amerika Serikat bekerja sama dengan Jenderal Sukendro yang pernah belajar di University of Pittsburgh. Salah seorang penghubung dalam kontak militer tingkat tertinggi CIA untuk membahas segala permintaan militer Indonesia yang menunjang pembersihan unsur komunisme. Sedari peralatan komunikasi, persenjataan, serta perlengkapan lainnya dengan total nilai lebih dari US$1 juta.
Jejak telik sandi CIA di Indonesia memang bukan hal baru. Banyak buku yang membahas soal penggalangan dan mata-mata CIA telah diterbitkan. “Legacy of Ashes, the History of CIA” karya Tim Weiner, jurnalis The New York Times, salah satunya. Pemenang Pulitzer itu mengulas rinci kegiatan telik sandi CIA di negeri ini dan membuat geger Tanah Air, setelah buku itu diterbitkan ke dalam edisi bahasa Indonesia.
Buku tersebut menyebut Adam Malik Batubara, mantan Menteri Luar Negeri yang juga Wakil Presiden Indonesia ketiga, sebagai agen CIA. Ia direkrut menjadi agen CIA oleh Clyde Mcavoy, seorang perwira tinggi CIA. “Ia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut,” kata Clyde Mcavoy.
Weiner bahkan menjabarkan ulasan lebih dalam tentang telik sandi CIA dengan merekrut pejabat tinggi di pemerintahan Indonesia. Pada pertengahan Oktober, sebelum peristiwa pemberontakan G-30-S berlangsung, CIA membentuk pemerintah bayangan di Jawa Tengah. Para elitenya adalah Sultan, Adam Malik, dan Soeharto.
Lain Amerika, lain pula dengan Inggris. Pada musim gugur 1965, Norman Reddaway diundang kepala Kementerian Luar Negeri Inggris, Joe Garner, ke kantornya. Reddaway masih muda. Kariernya di bidang propaganda terbilang moncer. Garner kemudian menyerahkan Reddeway segepok uang senilai 100.000 poundsterling sekaligus tugas “melakukan apa pun yang bisa dikerjakan demi menyingkirkan Sukarno.”
Pangkal persoalannya, papar Paul Lashmar dan James Oliver dalam buku Britain’s Secret Propaganda War 1948-1977, adalah sumber daya alam Indonesia.
Apa kabar dengan KGB? Sama saja. Badan Intelijen Soviet (sekarang Rusia), juga pernah merekrut seorang perwira TNI Angkatan Laut bernama Letnan Kolonel Susdaryanto pada 1980 demi mendapatkan peta kekayaan laut Indonesia secara utuh. Terkait sumber daya alam yang jadi lahan perebutan empat negara paling berpengaruh di dunia (Amerika, Inggis, Rusia, dan Cina), mari kita tilik sejenak fenomena yang ada di Papua sana. Sebut saja Marsekal Muda Purnawirawan Maroef Sjamsoeddin.
Sebelum menjabat sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, ia telah melintasi kariernya dalam dunia intelijen dengan jabatan terakhir, Wakil Kepala BIN, hingga Mei 2014. Pertanyaannya, kenapa BIN harus terlibat di sana?
Kedekatan Bung Karno dengan PKI yang notabene adalah partai komunis terbesar ketiga di dunia, dengan sekitar dua juta anggota dan tujuhbelas juta loyalis, wajar membuat Amerika ketar-ketir pada kiprah politik internasional pencipta Nasakom (Nasionalis-Sosialis-Komunis) itu. Kini, setelah PKI tak lagi eksis, Amerika mencari celah untuk meruyak ketahanan negara lain dengan meniupkan isu terorisme. Afghanistan, Irak, Libya, Tunisa, Mesir, dan Suriah, telah merasakannya.
Akhir kalam, saya ingin menutup tulisan ini dengan memetik beberapa poin penting dari riwayat hitam 1 Oktober 1965.
Pertama, Bung Karno tidak mungkin terlibat G30S dan sama sekali tak mendapatkan untung dari peristiwa berdarah ini. Kedua, PKI jelas bukan dalang G30S. Tudingan ini sangat tidak masuk logika, karena PKI pada waktu itu sedang berada di atas angin, dan pengaruh mereka terhadap Bung Karno cukup besar.
Ketiga, adanya perselisihan atau masalah dalam tubuh Angkatan Darat (AD), sebagaimana yang telah saya urai dalam tulisan sebelum ini yang berjudul “Misteri 1965, Cornell Paper, dan Generasi Strawberry”.
Sejatinya, saya pun turut mengagumi para pencetak sejarah besar manusia semisal Soeharto. Dalam Bab Lima catatan hariannya yang sempat saya singgung di atas, tertulis pengakuan berikut:
“Sekarang akulah presiden kedua Republik Indonesia. Presiden Sukarno sudah jatuh. Menyusul para pembantu dan pendukungnya harus “diganti” daripada “dijatuhkan.” Jadi, aku mengganti kepemimpinan Sukarno, seakan-akan akulah yang dipercaya menduduki tampuknya. Mereka semua harus “diamankan” bukan “ditangkap”). Ya, mereka adalah Para Pendiri Bangsa, para perintis berdirinya Republik, yang berupaya keras berkorban memerdekakan bangsa ini.
Siapa pula yang tidak mengenal Sukarno, satu-satunya pahlawan yang sanggup mempersatukan wilayah Nusantara, menciptakan persatuan di antara banyak suku, agama dan adicita. Ia berhasil merumuskan dasar negara serta memproklamasikan Republik Indonesia. Daya pukaunya saat berpidato, telah sanggup membuat rakyat bergerak penuh semangat, bahkan rela berkorban dan mati demi kemerdekaannya.”
Adakah di antara para pialang politik dewasa ini yang memiliki visi sejelas dan setegas Soeharto saat menjatuhkan Sukarno—dewa penolong pujaannya, dengan cara yang mungkin sulit dimengerti generasi muda Indonesia hari ini. Begitulah salah satu cara unik sejarah menerjemahkan ruang-waktu dalam hidup manusia.
1 Oktober 2017
0 komentar:
Posting Komentar