08/02/2018 | Fathiyah Wardah
Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa Zeid Ra’ad al-Husein dalam
konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/2).
Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa, Zeid
Ra’ad al-Husein meminta Jaksa Agung Indonesia untuk segera membawa pelaku
pelanggaran HAM berat masa lalu ke pengadilan.
Indonesia harus mengambil langkah konkrit untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, demikian ujar Komisaris
Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa Zeid Ra’ad al-Husein dalam konferensi
pers di Jakarta, mengakhiri kunjungan kerja selama tiga hari pada 5-7 Februari.
Ia mengakui bahwa hal ini sulit dilakukan, tetapi tetap penting diupayakan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah
menyoroti sembilan kasus utama pelanggaran HAM yang harus diselesaikan, di
antaranya kasus 1965-1966, penembakan misterius (1982-1985), Peristiwa
Talangsari Lampung (1989), penghilangan orang secara paksa (1997-1998),
peristiwa kerusuhan Mei (1998) dan kasus Trisakti-Semanggi I dan II
(1998-1999).
"Saya mendesak Jaksa Agung untuk menangani kasus ini khususnya dengan membawa pelaku ke pengadilan dan memprioritaskan pemberian ganti rugi yang sudah lama tertunda kepada korban," ujar Zeid.
Ia juga menyoroti sejumlah isu lain seperti pembahasan
rancangan KUHP, Papua, diskriminasi kelompok minoritas; serta persekusi LGBT
dan kelompok keagamaan minoritas, seperti GKI Yasmin, Ahmadiyah, dan Syiah.
Menurutnya, pandangan ekstremis yang dimainkan di
arena politik dan semakin meningkatnya hasutan dengan menggunakan isu
diskriminasi, kebencian atau kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia –
termasuk di Aceh – sangat mengkhawatirkan.
Zeid mengatakan kelompok LGBT – lesbian, gay,
biseksual dan transgender – di Indonesia menghadapi stigma, ancaman dan
intimidasi yang terus meningkat. Retorika kebencian terhadap kelompok ini
tambahnya sering dimanfaatkan untuk tujuan politik.
Zeid juga menyayangkan penerapan undang-undang
penistaan agama yang menurutnya tidak jelas, karena kerap digunakan untuk
menghukum kelompok minoritas. Ia berharap tidak ada lagi diskriminasi
berdasarkan kepercayaan, warna kulit, rasa atau jenis kelamin.
Lebih jauh komisaris tinggi ini menyampaikan
keprihatinan atas semakin banyaknya laporan penggunaan kekuatan yang berlebihan
oleh petugas keamanan, pelecehan, penangkapan sewenang-wenang dan penahanan di
Papua.
"Kami mendesak masyarakat Indonesia untuk maju bukan mundur dalam hal hak asasi manusia, dan menolak upaya untuk mengizinkan bentuk diskriminasi baru dalam undang-undang," tandas Zeid.
Selama kunjungannya, Zeid menemui berbagai pihak,
mulai dari aktivis HAM, korban pelanggaran HAM, pemerintah, dan bertemu
langsung dengan Presiden Joko Widodo.
Korban yang ditemui Zeid antara lain seorang ibu
petani yang berbicara tentang hak atas tanah dan kekhawatiran atas kehilangan
tanahnya karena industri ekstraktif, seorang laki-laki di Papua yang putranya
tewas ditembak, seorang ibu yang kehilangan putranya dalam aksi kekerasan tahun
1998 di Yogyakarta, seorang ibu sepuh yang telah 53 tahun memperjuangkan
keadilan setelah dipenjarakan dan dicap komunis, dan beberapa penganut agama
minoritas yang menginginkan tempat untuk ibadah. Istri mendiang aktivis HAM
Munir – Suciwati – juga ikut menemuinya.
Zeid mengatakan ia juga telah mendapat informasi soal
perusahaan pertambangan dan kayu yang kerap menjadi sumber masalah pelanggaran
HAM akhir-akhir ini. Ia mendorong dilakukannya dialog dengan masyarakat adat
lokal dan warga setempat yang terkena dampak proyek tersebut.
Koordinator
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani
mengatakan sedianya pemerintah tidak menjadikan kedatangan Komisaris Tinggi HAM
PBB sebagai ajang diplomasi HAM semata, tetapi justru untuk mengambil langkah
yang signifikan guna menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
"Ini pemerintah sudah dianggap positif memberikan ruang kepada komisi HAM PBB untuk datang, tetapi kita perlu pertanyakan motivasi apa, kalau motivasinya untuk pencitraan dan sebagai alat diplomasi kita sangat menyayangkan. Ini seharusnya lebih, caranya komisi HAM PBB ini mengeluarkan yang spesifik dan mengambil tindakan-tindakan untuk memastikan pemerintah Indonesia menjalankan kewajibannya dalam penyelelesaian pelanggaran HAM berat. Indonesia sendiri juga harus mengambil langkah aktif dengan menindaklanjuti sejumlah desakan masyarakat sipil dan korban pelanggaran HAM yang telah disampaikan kepada komisi HAM PBB," ungkap Yati.
Menteri Luar
Negeri Indonesia Retno Marsudi menambahkan tidak ada satu negara pun memiliki
sebuah sistem yang sempurna dalam memajukan dan menjamin perlindungan HAM.
Karena itu, penguatan kerja sama antar negara dan badan-badan HAM regional amat
penting.
"Perlindungan dan pemajuan HAM dalam tingkat nasional harus berlangsung secara sistematis dan mengalami kemajuan. Tindakan konkret di tingkat nasional mesti dilakukan dalam kerangka legislatif dan konstitusional harus didorong, Agenda-agenda HAM harus menjadi arus utama dan menjadi sentral di pemerintahan lokal, lembaga HAM nasional harus diperkuat, kampanye dan pendidikan HAM mesti diintensifkan," kata Retno.
Kunjungan
Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa Zeid Ra’ad al-Husein ke
Indonesia ini bersamaan dengan peringatan 70 tahun deklarasi universal HAM PBB,
sekaligus 25 tahun peringatan Deklarasi Wina dan Program Aksi. Setelah
Indonesia, Zeid akan ke Papua Nugini dan Fiji.
Pemerintah
Indonesia juga mengundang Zeid untuk mengunjungi Papua, meskipun belum ada
rincian lain tentang tawaran ini. [fw/em]
Sumber: VoA Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar