Jimmy Radjah | 22 Feb 2018 12:00:00
Seharian kemarin (Rabu, 21/2/2018), dari puluhan Whatsapp group yang saya ikuti, muncul satu video berdurasi enam menit berisi kekerasan fisik. Di video itu seorang pria dewasa dari sebuah ormas memberhentikan motor yang dikendarai pemuda seusia anak kuliahan. Pria dari ormas yang tidak bisa membedakan komunisme dengan PKI itu lantas melakukan kekerasan fisik pada si pemuda karena di baju pemuda itu terpasang pin berlogo palu arit. Kekerasan dan intimidasi berlanjut oleh beberapa orang terhadap pemuda tersebut sampai kemudian dihentikan oleh seorang polisi.
Di grup yang lain, ada tautan berita seorang guru SMA di Lebak, Banten, ditangkap polisi karena menyebarkan berita hoaks 15 juta anggota PKI dipersenjatai untuk membantai ulama. Di grup berbeda, tautan informasi mengunggah kembali pernyataan Ketua Presidium Alumni 212 Slamet Maarif bahwa ada 22 juta kader PKI tidak tersentuh hukum. Yang terjadi malah polisi memerkarakan orang-orang yang mewanti-wanti kebangkitan PKI.
Video dan tautan berita itu bukan kabar baru. Beberapa waktu lalu, video dan tautan informasi yang sama juga pernah beredar. Semacam ada upaya untuk kembali menampilkan video dan informasi serupa lainnya, melalui medsos, di waktu-waktu tertentu. Fungsinya tak ubahnya obat yang harus dicekokkan agar “penyakit” tidak kambuh. Tujuannya satu: mengingatkan bahaya bangkitnya PKI. Tak peduli informasi itu hoaks atau sahih.
Padahal kalau nalar bekerja normal, di era milenial ini komunisme cuma ideologi kosong. Tak bertaji. Gulung tikar. Bangkrut. Komunis hanya dibicarakan di ruang akademik atau wilayah kajian sebagai pisau analisis dalam membedah masalah. Di tingkat praksis, komunis tidak lagi laku. Di Rusia komunis sudah diemohi. Di China, partai disana hanya satu dan berideologi komunis. Tapi China menjalankan praktik ekonomi kapitalisme. Vietnam? Ah, negara itu malah jadi tujuan investasi pelaku kapitalisme global. Di Indonesia, dengan bantuan teknologi yang kian murah, nafsu konsumerisme mengepung kita dari perkotaan hingga pelosok. Dengan realita itu kita patut bertanya: dengan cara apa komunisme bisa bangkit?
Namun ketakutan atas bangkitnya komunis (baca: PKI) terus-menerus digelorakan dengan cara yang terkadang menafikan nalar. Ketakutan—yang terkadang menyesatkan, dibangun di masyarakat dan menjadi alat represi psikologis sampai di tingkat domestik. Kalau ada yang menolak pembodohan semacam itu, bersiaplah disebut anti-Islam.
Saat ini dibangun argumen bahwa pemerintah membiarkan ‘bangkitnya’ PKI. Indikasinya: umat Islam diperlakukan tidak adil. Tiga tahun pemerintahan Jokowi dinilai tendensius terhadap kelompok Islam penegak syariat. Ada indikasi pemerintah Islam phobia. Ulama Muslim dianiaya kian marak belakangan ini. Bukan cuma itu, ada pula perusakan masjid, penyerangan gereja, dan persekusi terhadap Biksu Budha.
Di saat bersamaan, dimunculkan kesan bahwa pemerintah adalah kepanjangan tangan neoliberalisme dan kapitalisme global. Kita dihantui kekhawatiran utang yang lebih dari Rp4000 triliun, hampir mendekati batas rasio utang 30 persen. Pemerintah utang ke siapa? Siapa lagi kalau bukan negara maju ata lembaga donor yang menganut kapitalistis.
Dengan realita itu, logika apa yang bisa membenarkan pemerintah memberi angin ke bangkitnya komunisme? Yang terjadi malah kita kian mesra dengan praktik neoliberalisme. Memberi kesempatan komunis bangkit artinya bersiap proposal utang tidak disetujui oleh donor.
Ndilalah, di masyarakat beberapa tahun belakangan kerap terdengar anggapan kepemimpinan Soeharto di era Orde Baru selama 32 tahun dianggap lebih baik ketimbang sekarang. Di era Soeharto, semua serba murah, cari makan dan cari pekerjaan gampang.
Dalam acara haul Soeharto di Masjid At-Tin TMII yang dihadiri banyak pelaku aksi 212 dan (saat itu) kandidat pasangan cagub Anies-Sandi serta Prabowo Subianto, Titiek Soeharto menyebut reformasi telah gagal karena kondisi negara ini tak berubah signifikan. Utang pemerintah bejibun.
Baru-baru ini, Tommy Soeharto menyoroti utang pemerintah yang semakin tinggi. Mungkin Tommy lupa bahwa di era bapaknya berkuasa, meskipun utang pemerintah di kisaran Rp500 triliun, jumlah itu mencapai 57 persen dari batas rasio utang.
Sekarang, di 2018, setidaknya ada tiga partai politik yang dibesut Cendana--atau setidaknya pernah berafiliasi dengan Cendana, disahkan oleh KPU sebagai parpol peserta pemilu 2019. Rezim represif ini cuma butuh waktu kurang dari 20 tahun untuk mencoba kembali eksis di jagat politik Indonesia.
Saya setuju bahwa sekarang kondisi negara saat ini sedang genting karena ada arus balik. Jadi, siapa yang comeback, PKI atau Cendana?
Sumber: WahyuTink.Com
0 komentar:
Posting Komentar