Pundra Rengga Andhita | 06:00 WIB - Jumat, 23 Februari 2018
Pundra Rengga Andhita / Beritagar.id
Dengan alasan kemanusiaan, ia nekat menulis trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk, walaupun ancaman di depan mata, termasuk tuduhan
simpatisan PKI.
“Saya bukan simpatisan PKI. Saya NU tulen. Saya lahir dari keluarga NU," kata Ahmad Tohari ketika Beritagar.id menemuinya, Rabu (14/02/2018).
Tohari, 70 tahun, merupakan salah satu sastrawan masyhur
di tanah air. Ronggeng Dukuh Paruk, trilogi yang ia tulis pada 1981, masuk
dalam jajaran karya sastra berpengaruh di Indonesia. Novel ini telah disatukan
dan diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Cina, dan Jepang.
Keberaniannya dalam menulis tidak diragukan lagi. Ketika
penekun sastra lain memilih diam, ia justru mengangkat tema paling sensitif di
masanya. Ia mafhum, persepsi orang terhadap tulisannya pasti akan melekat juga
di dirinya.
Setelah trilogi itu terbit, identitas Tohari disinyalir
bagian dari kelompok tertentu. Namun ia menegaskan, dirinya warga Nahdliyin
tulen. Lahir dan besar dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).
Tohari lahir pada 13 Juni 1948. Ia merupakan putra asli
Banyumas. Ia menuntaskan jenjang pendidikan mulai tingkat dasar, menengah dan
atas di kota di Jawa Tengah itu.
Ia juga pernah menimba ilmu di Fakultas Ilmu Kedokteran
Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas
Jenderal Soedirman (1975-1976).
Meski sempat bekerja sebagai redaktur di beberapa media
cetak Jakarta, namun hampir sebagian besar hidupnya ia habiskan di kota
kelahirannya.
Tohari besar dalam lingkungan keluarga santri. Ayahnya,
Madiryat, pernah nyantri dan bekerja sebagai pegawai Kantor Urusan
Agama. Ia merupakan tokoh NU terkemuka di desanya. Mardiyat sempat menjabat
sebagai ketua NU setingkat cabang kala itu.
Sedangkan ibunya, Saliyem, merupakan tipe perempuan
mandiri, ikut membantu suami melalui bertani dan berdagang. Diryat dan Saliyem
berhasil mengantar 12 anaknya ke kehidupan mapan.
Tohari merupakan anak keempat dari pasangan itu. Ia
tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang hangat. Nilai kasih sayang,
kedisiplinan, kejujuran, kesederhanaan dan keharmonisan yang sarat akan muatan
agama menjadi pemandangannya sehari-hari. Nilai itu juga yang mendekatkannya ke
masyarakat.
Di kehidupan nyata, Tohari memang mengenal beberapa
penari ronggeng. Namun Srintil, tokoh dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk,
bukan yang dikenal akrab olehnya. Perjumpaan Tohari dengan Srintil terjadi
secara tidak sengaja. Semua bermula dari bidikan pelurunya yang meleset. | Pundra
Rengga Andhita /Beritagar.id
Bertemu
"Srintil"
Sebelum Tohari memutuskan menulis novel trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk, ada pergulatan keras di batinnya. Kontestasi politik nasional yang
tidak mendukung, membuatnya ragu untuk lanjut menulis atau setop, membiarkan
kisah itu hanya bersemayam di kepala.
Tohari menyadari, jika lanjut menulis ada dua kelompok
yang harus dihadapi. Kelompok pertama dari kalangannya sendiri, yakni NU.
Sedangkan yang kedua, tentara, perpanjangan tangan dari rezim Orde Baru.
Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel inspiratif yang
melalui beberapa rezim kekuasaan di Indonesia. Terbit pada 1982, novel ini
ditulis dalam tiga seri, yakni, Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus
Dini Hari, dan Jantera Bianglala.
Selain difilmkan, Sang Penari (2011), novel ini
juga diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda,
Jerman, Jepang, terbaru, Spanyol dan Italia.
Entah mengapa, ketika novel ini terbit, banyak pihak yang
menganggap Tohari bagian dari kelompok kiri. Bahkan sampai sekarang, anggapan
itu masih sayup terdengar di telinganya.
Anggapan itu juga yang menuntun langkah kami, menemui
Tohari di rumahnya yang terletak di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto.
"Dari masjid agung Jatilawang, ke arah barat sekitar tiga kilometer. Nanti setelah menemukan pangkalan becak di sebelah kiri, rumah saya tepat di seberang jalan," ujar Tohari memberikan lokasi rumahnya.
Awalnya kami agak kesulitan menemukan rumah Tohari,
sempat terlewati cukup jauh. Kami menyadari setelah bertanya pada penduduk
setempat. Semua orang yang kami tanya tahu letak rumah Tohari. Bahkan seorang
polisi yang kebetulan sedang bertugas tidak keberatan mengantarkan kami.
Rumah Tohari terletak di pinggir ruas jalan raya nasional
Jatilawang-Wangon. Rumahnya adem, banyak pohon besar menaungi. Keteduhannya
mampu mengalihkan suara bising lalu lalang kendaraan.
Pintu rumahnya sudah terbuka, seolah menyadari kedatangan
kami sebelum sang empunya rumah menyambut. Tak selang berapa lama, istri
Tohari, Siti Syamsiah yang dinikahinya pada 1 Desember 1970, mempersilakan kami
duduk. Sambutannya hangat sekali.
Belum genap sepuluh menit, Tohari menyusul keluar.
Mengenakan peci hitam, sikapnya ramah, tanpa jarak dan senyum tidak berhenti
tersungging di wajahnya.
Namun senyum itu sempat hilang ketika Tohari menceritakan
masa mudanya yang muram, saat ia harus melihat guru sekolah dasarnya dieksekusi
tentara di lapangan setempat.
Batinnya berontak kala melihat gurunya mati karena diduga
terlibat PKI (Partai Komunis Indonesia). Massa yang menonton kala itu justru
bertepuk tangan seiring suara bedil dan timah panas menembus badan gurunya.
Ia menuturkan, sekitar tahun 1965, di desa Pekuncen,
Jatilawang -- desa yang menginspirasi nama Dukuh Paruk -- masyarakatnya terbagi
menjadi empat golongan. Nasionalis PNI (Partai Nasional Indonesia) sekitar 60
persen, NU 20 persen, PKI kira-kira 15 persen tapi menurutnya sangat aktif, dan
sisanya Muhammadiyah.
Pemisahan ini cukup jelas. Jadi, kalau ada yang gabung
dengan PKI, garis demarkasi siap memisahkan mereka. Seandainya pun bersaudara,
bisa saling tak tegur sapa, putus hubungan.
Pemisahan itu diperparah dengan kondisi kemiskinan.
Pekuncen kala itu dalam situasi kemarau panjang, tidak ada irigasi, persawahan
kering.
"Politik ekonomi berdikari melarang impor beras. Kami makan apa yang ada di situ. Semuanya miskin, kurang makan, termasuk saya," katanya.
Berbarengan dengan kemiskinan yang melanda Jatilawang,
Gerakan 30 September 1965 meledak, membuat pemilahan kelompok di masyarakat
makin tajam.
"Saya terhitung saksi mata, sekelas tukang kambing, tukang cari kayu, dihukum tanpa peradilan," tutur Tohari.
Ia tak sampai hati melihat orang-orang kampung yang masih
diduga terlibat harus ikut menerima risiko.
"Saya NU, sangat NU. Kalau pembubaran PKI saya setuju, penghukuman tokohnya juga setuju. Tapi orang kampung dibunuhi saya tidak setuju," tandasnya.
Sisi kemanusiaannya berontak. Ingatannya merekam semua
kejadian di desanya. Rekaman itulah yang mendorongnya menulis novel Kubah (1980),
yang diterbitkan Pustaka Jaya.
Kubah bercerita tentang seorang miskin bernama
Karman yang menjadi anggota PKI. Setelah peristiwa Gerakan 30 Sepetember 1965,
ia ditangkap dan dipenjara selama 12 tahun di Pulau Buru, sebelum akhirnya
pulang kampung dan menjadi muslim yang taat.
Tohari tak bisa menahan diri untuk tak menuliskan kisah
Karman. Ia mengaku telah sabar menunggu kemunculan karya sastra lain yang mau
mengangkatnya. Masa tunggu itu ia tujukan kepada senior-seniornya yang tak
berani menorehkan peristiwa tersebut dalam bentuk tulisan.
"Kalau pembubaran PKI saya setuju, penghukuman tokohnya juga setuju. Tapi orang kampung dibunuhi saya tidak setuju."
Ahmad Tohari
Jelang tahun 1982, Tohari tetap belum bisa berdamai
dengan masa lalunya. Ia merasa, Kubah belum tuntas mengangkat apa
yang terjadi di era 1965. Setelah melewati pergulatan panjang, ia memantapkan
diri, mengesampingkan kekuatirannya, lalu mulai menulis lagi.
Dalam bayangan Tohari, pintu masuk tragedi kemanusiaan
1965 bisa digambarkan melalui kisah penari ronggeng, yang kala itu identik
dengan pelacuran. Namun kegundahannya kembali muncul. Jika ia lanjut menulis akan
ada masalah besar yang menghampiri. Masalah itu datang dari pemerintah dan
kalangan pemuka agama.
Namun Tohari yang sudah melahap karya Pramoedya Ananta
Toer sampai tuntas ini lebih mengedepankan sisi kemanusian dibandingkan
kecemasannya. Ia nekat, berhenti bekerja sebagai redaktur di harian Merdeka,
Jakarta, agar fokus menulis. Tohari pulang ke Jatilawang menggunakan vespa
sambil memboyong mesin tik Brother di boncengannya.
Setelah itu, lahir trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.
Novel yang berlatar belakang kondisi sosial budaya masyarakat setempat di era
1965an yang mengisahkan kisah cinta antara Srintil, penari ronggeng, dan Rasus,
tentara.
Di kehidupan nyata, Tohari memang mengenal beberapa
penari ronggeng. Namun Srintil bukan salah satu dari yang dikenal akrab
olehnya. Perjumpaan Tohari dengan Srintil terjadi secara tidak sengaja.
Kisah itu bermula dari hobi Tohari berburu burung di
pedalaman hutan Jatilawang. Tohari masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Biasanya bidikan Tohari akurat. Namun siang itu
bidikannya meleset. Peluru yang hanya menyerempet sayap, membuat burung
perkutut incarannya masih bisa terbang rendah.
Tohari lantas mengejarnya sampai masuk lebih dalam lagi
ke hutan, mengarah ke curug (air terjun). Di situ langkahnya terhenti karena mendengar
gemericik air yang tidak biasa. Tohari lalu mencari sumber suara, tak dinyanya,
mendapati seorang perempuan muda berparas cantik nan elok sedang mandi.
Belakangan diketahui, perempuan itu penari ronggeng yang
"dipelihara" pejabat setempat. Perempuan itu yang akhirnya
menginspirasi Tohari melahirkan karakter Srintil di novelnya.
Ketika seri pertama selesai, Tohari membawa naskah itu ke
penerbit Gramedia. Bak gayung bersambut, Gramedia memberikan respon positif,
meminta Tohari agar menyodorkan seri berikutnya dengan cepat.
Proses penulisan seri kedua lebih mendebarkan bagi Tohari
karena mulai masuk ke ranah sensitif, peristiwa pasca 1965. Untungnya penerbit
masih mau menerima.
Selanjutnya, ketika seri ketiga selesai penerbit justru
angkat tangan. Menurut mereka seri itu belum saatnya muncul karena rezim
Soeharto masih berkuasa, kecuali dengan proses sensor di beberapa bagian.
Alhasil naskah itu terbit namun tidak utuh.
Naskah yang tidak utuh membuat Tohari kesal. Ia ingin
naskah ini terbit tanpa sensor, meski harus menunggu Soeharto lengser.
Dalam masa menunggu, seorang sastrawan Amerika yang juga
pendiri Yayasan Lontar, John McGlynn mendatangi Tohari. Ia mengutarakan maksud
ingin menerbitkan Ronggeng Dukuh Paruk dengan judul The Dancer tanpa
sensor. Rencananya, McGlynn akan menerbitkan The Dancer bersama
naskah terbungkam lain dari berbagai negara.
Tawaran dari McGlynn disampaikan Tohari ke Gramedia. Jika
Gramedia tidak mau menerbitkannya tanpa sensor, Tohari akan mengambil semua
naskahnya. Alhasil, trilogi tersebut terbit ulang secara utuh di kemudian hari,
tahun 2002. Beberapa bagian yang hilang dikembalikan.
Foto yang terpajang di rumah
sastrawan Ahmad Tohari. Tampak Gus Dur (Presiden RI keempat) sedang duduk di
samping kirinya. Sejak 1981 keduanya berteman akrab dan aktif di lingkungan
Nahdlatul Ulama. | Pundra Rengga Andhita /Beritagar.id
Diciduk tentara
Tohari paham betul, usai trilogi Ronggeng Dukuh
Paruk terbit kali pertama pada 1986, hanya tinggal menunggu waktu masalah
akan menghampiri. Benar saja. Matahari belum genap naik di atas kepala,
rumahnya didatangi tentara. Mereka mengantarkan surat perintah untuk membawa
Tohari.
Kebetulan Tohari sedang di Jakarta. Istrinya yang
menerima surat. Sambil meneteskan air mata, pikiran Syamsiah berkecamuk.
Tangannya gemetar memegang surat itu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana
kehidupan kelima anaknya tanpa Tohari.
Mendapati Tohari tidak di rumah, rombongan tentara itu
menanyakan posisi Tohari di Jakarta. Meski berat hati, tidak ada pilihan bagi
Syamsiah untuk menutupi. Tepatnya 2 Juli 1986, Tohari diciduk tentara. Ia
dibawa ke Kopkamtib, sejenis markas tentara kala itu.
Tohari dintegrogasi selama lima hari. Ia dipaksa mengaku
sebagai PKI. Berulang-ulang kali Tohari menegaskan,
"Saya bukan simpatisan PKI. Apalagi bagian dari PKI. Saya orang NU," kata Tohari berusaha meyakinkan sang interogator.
Ia juga mengungkapkan ke mereka alasan yang mendorongnya
menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Tohari miris melihat orang-orang di
kampungnya yang masih terduga PKI ikut menjadi korban eksekusi. Sisi
kemanusiaannya terpanggil. Apalagi sedari kecil Tohari sudah diajarkan untuk
mencintai sesama manusia.
Namun alasan itu tidak membuat mereka berhenti
mengintegrogasinya. Baru di hari kelima Tohari dilepas. Itu pun karena salah
satu dari mereka menyerahkan kertas, meminta Tohari untuk menulis,
"Sebutkan orang yang bisa kami hubungi untuk meyakinkan kami bahwa kamu NU," kata interogator kepada Tohari.
Tanpa pikir panjang, Tohari mencantumkan nama Gus Dur,
lengkap beserta nomor teleponnya. Sontak, nama itu membuat mereka diam. Sikap
mereka langsung berubah menjadi lebih manis. Tohari diberikan nasi bungkus
sebelum diantarkan pulang.
"Saya sempat menantang mereka, silakan jika masih ingin menginterogasi saya," katanya mantap. Satu nama itu membuat urusannya selesai. Kedekatan Tohari dengan Gus Dur sudah lama, dimulai dari tahun 1981.
"Saya sudah bareng Gus Dur di Muktamar NU Situbondo (1984). Sudah bareng merumuskan penerimaan asas tunggal," kisahnya. Bahkan Gus Dur terhitung beberapa kali menginap di rumahnya.
Namun, meski urusan dengan tentara selesai, masih ada
kelompok lain yang harus dihadapi, yakni kalangannya sendiri, NU. Mereka
mempertanyakan alasan Tohari mengangkat topik ronggeng yang memiliki citra
buruk kala itu.
Meski berulang kali Tohari meyakinkan, Ronggeng
Dukuh Paruk itu sarat muatan dakwah tapi tetap saja tidak membuat mereka
puas. Menurut Tohari, Gus Dur pernah mengutarakan, di Indonesia ada dua penulis
bergelar pengarang porno. Hanya saja mereka berbeda cara mengatasi tuduhan itu.
"Pengarang pertama memilih banting setir. Karyanya disisipi ayat. Kalau Tohari justru balik bicara: bukan novelnya yang porno tapi otakmu yang porno," kata Gus Dur dikisahkan oleh Tohari.
Tohari menilai mereka tidak mampu melihat pesan
tersembunyi yang ingin disampaikan lewat novel itu. Salah satu pesannya
terletak pada pergulatan batin Srintil yang akhirnya hijrah dari penari
ronggeng menjadi ibu rumah tangga.
Seorang pelacur sekalipun berhak mendapat kesempatan
kedua dalam hidupnya dan diterima kembali ke masyarakat. "Tuhan itu maha
pemaaf," kata Tohari.
Kalangan itu juga mempertanyakan sikap Tohari yang
terkesan mendukung kelompok kiri. Padahal Tohari sudah menegaskan bahwa itu
semata-mata atas dasar kemanusiaan.
"Saya keberatan disebut simpatisan PKI. Saya tidak masuk kasta politik. Saya murni NU. Domain saya sastra," tegasnya.
Lewat Ronggeng Dukuh Paruk, Tohari ingin
menyampaikan pesan agar semua manusia saling mencintai sesamanya. Menurut dia,
dendam hanya akan membumihanguskan kemanusiaan.
Di kemudian hari, konsistensi Tohari menulis topik yang
menitikberatkan pada kemanusiaan mengantarkan dirinya mendapatkan banyak
penghargaan, dari dalam dan luar negeri. Ia sering diundang menjadi pembicara
dalam forum ilmiah nasional dan internasional.
Semua itu tidak membuatnya jumawa, ia justru makin
menunduk. Kini, di usianya yang senja, Tohari hanya ingin hidup damai dan
tenteram. Ia tidak lagi menulis novel. Sisa hidupnya dihabiskan untuk mengasuh
Pondok Pesantren Al Falah di desanya.
Sesekali, undangan menjadi pembicara tetap ia penuhi.
Tujuannya bukan hanya sebatas membagi ilmu tetapi juga meluruskan persepsi
orang terhadapnya: Tohari itu sastrawan dan budayawan yang NU tulen, bukan
simpatisan PKI.
Penulis Ahmad Tohari ketika
ditemui di kediamannya di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto, Jawa Tengah
pada Rabu (14/02/2018). Pundra Rengga Andhita /Beritagar.id
Sumber: Beritagar.Id
0 komentar:
Posting Komentar