Shanti Norita | 1 Februari 2018
Saya masih ingat jelas pada malam menjelang 30 September. Ketika masih di sekolah dasar, saya sangat menanti-nanti malam itu. Malam di mana saya bisa menonton film yang hanya diputar setahun sekali. Sedikit berbeda dengan yang lainnya, saya selalu antusias menunggu film ‘Pemberontakan G30S/PKI’.
Saat itu saya tidak menganggapnya sebagai film propaganda yang traumatis. Saya melihatnya sebagai film horor penuh adegan seru yang berdarah-darah. Adegan yang paling saya tunggu adalah ketika anak Jendral D.I. Panjaitan membasuh muka ayahnya yang tertembak. Spektakuler dan dramatis. Saat itu saya tidak merasa ada yang salah dengan film tersebut, toh hanya film kan?
Pada kehidupan sehari-hari, saya tidak pernah membahas isu 1965. Dari film itu, yang saya tahu kalau Soeharto itu pahlawan dan PKI itu jahat. Meski begitu, saya tidak pernah membicarakan ataupun mendiskusikan kesimpulan saya itu dengan orang lain baik di rumah ataupun di sekolah. Tidak pernah ada pembahasan secara menyeluruh di ruang kelas maupun di meja makan rumah. Seakan semua orang dengan ikhlas mengiyakan kebenaran yang ada pada film itu.
Semua berubah di era reformasi. Saya sadar film yang saya tonton waktu kecil itu banyak direkayasa untuk keperluan pemerintahan saat itu. Setelah baca sana-sini, saya tahu bahwa Soeharto tidaklah seheroik yang saya kira. Tokoh protagonis di film favorit saya itu ternyata adalah tokoh antagonis di dunia nyata. Siapa mengira?
Meski begitu, saya bukanlah orang yang kemudian tergugah melakukan ini-itu terkait hal tersebut. Bisa dikatakan saya termasuk cenderung apatis. Selama ini saya hanya menyimpannya, sampai kemudian saya diminta menulis untuk Ingat65.
Bagi saya, Ingat65 adalah suatu gerakan dan ajakan yang ingin membuka atau lebih tepatnya menceritakan kisah sejarah yang sesungguhnya terjadi di tahun-tahun kelam Indonesia. Menurut saya apa yang dilakukan oleh Ingat65 sebagai upaya membantu bangsa ini untuk lebih menjadi bangsa yang menerima dan mengakui sejarahnya sendiri, baik sejarah kelam maupun sejarah yang baik/heroik. Seperti kata George W Bush, “A great nation does not hide its history. It faces its flaws, and corrects them.”
Saya merasa ada yang salah pada peristiwa yang terjadi di tahun 1965. Namun sampai saat ini belum banyak yang mau menyadarinya. Pemerintahan Jokowi saat ini pun turut andil membuat kesimpangsiuran peristiwa tersebut.
Janji Beliau untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia termasuk yang berkaitan dengan peristiwa 1965 masih terkatung-katung. Bagaimana bangsa ini bisa “move on” dan menjadi bangsa yang besar, jika menolak membereskan masa lalu yang kelam. Saya yang apatis ini pun ikutan meringis.
Sumber: Medium.Com
0 komentar:
Posting Komentar