Reporter: Fadrik Aziz Firdausi | 06 Februari, 2018
Presiden Sukarno membuka sidang Konstituante. FOTO/Wikicommon
Sidang Konstituante tak hanya membahas soal dasar negara. Keberhasilan merumuskan pasal-pasal HAM kerap terlewat dari pengamatan.
Narasi sejarah Konstituante umumnya berkisar soal perdebatan antara pengusung Pancasila dengan Islam sebagai dasar negara. Konstituante adalah lembaga legislatif hasil Pemilu 1955 yang bertugas menyusun undang-undang dasar.
Selain Konstituante, ada pula Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjalankan fungsi parlementer. Anggota Konstituante adalah perwakilan partai-partai politik peserta Pemilu. Betapa pentingnya lembaga ini, partai-partai mengirimkan kader-kader terbaik mereka ke Konstituante, bukan ke DPR.
Setelah dua tahun melewati perdebatan yang berlarut-larut dan antagonistik soal dasar negara, Konstituante dianggap gagal merumuskannya. Sukarno akhirnya mengambil keputusan politik melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan lembaga ini dan kembali memberlakukan konstitusi yang sudah tak terpakai: Undang-Undang Dasar 1945.
Padahal Konstituante tak segagal itu. Selain soal dasar negara, Konstituante juga membahas satu pokok lain yang tidak kalah penting, yaitu hak asasi manusia (HAM). Tidak seperti perdebatan dasar negara yang buntu, pembahasan tentang HAM berjalan mulus dan menghasilkan beberapa konsensus penting.
Sidang Konstituante sebenarnya bukan forum pertama yang membicarakan HAM dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia. Persoalan itu sudah diwacanakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945. Sebagian anggota BPUPKI berpendapat bahwa pasal-pasal tentang HAM perlu dimasukkan dalam konstitusi. Saat itu terjadi perdebatan apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam undang-undang dasar atau tidak.
Selain Konstituante, ada pula Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjalankan fungsi parlementer. Anggota Konstituante adalah perwakilan partai-partai politik peserta Pemilu. Betapa pentingnya lembaga ini, partai-partai mengirimkan kader-kader terbaik mereka ke Konstituante, bukan ke DPR.
Setelah dua tahun melewati perdebatan yang berlarut-larut dan antagonistik soal dasar negara, Konstituante dianggap gagal merumuskannya. Sukarno akhirnya mengambil keputusan politik melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan lembaga ini dan kembali memberlakukan konstitusi yang sudah tak terpakai: Undang-Undang Dasar 1945.
Padahal Konstituante tak segagal itu. Selain soal dasar negara, Konstituante juga membahas satu pokok lain yang tidak kalah penting, yaitu hak asasi manusia (HAM). Tidak seperti perdebatan dasar negara yang buntu, pembahasan tentang HAM berjalan mulus dan menghasilkan beberapa konsensus penting.
Sidang Konstituante sebenarnya bukan forum pertama yang membicarakan HAM dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia. Persoalan itu sudah diwacanakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945. Sebagian anggota BPUPKI berpendapat bahwa pasal-pasal tentang HAM perlu dimasukkan dalam konstitusi. Saat itu terjadi perdebatan apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam undang-undang dasar atau tidak.
Dalam Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 (2009), A.B. Kusuma mencatat perdebatan itu berdasarkan pidato-pidato dalam BPUPKI. Ada Sukarno dan Soepomo yang mengajukan usul bahwa hak-hak warga negara tak perlu masuk konstitusi. Di lain kubu, ada Hatta dan Yamin yang tegas menuntut pencantuman pasal-pasal spesifik tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Menurut Sukarno, hak-hak warga negara yang dasarnya merujuk pada pemikiran liberalisme dan individualisme Barat tak perlu masuk konstitusi. Baginya, negara Indonesia lebih baik berdiri di atas fondasi asas kekeluargaan dan gotong-royong.
“[...] Grondwet yang berisi droits de I’ homme et du citoyen itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya,” kata Sukarno dalam pidato di muka BPUPKI, 15 Juli 1945.
Menurut Sukarno, hak-hak warga negara yang dasarnya merujuk pada pemikiran liberalisme dan individualisme Barat tak perlu masuk konstitusi. Baginya, negara Indonesia lebih baik berdiri di atas fondasi asas kekeluargaan dan gotong-royong.
“[...] Grondwet yang berisi droits de I’ homme et du citoyen itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya,” kata Sukarno dalam pidato di muka BPUPKI, 15 Juli 1945.
Hatta sependapat dengan Sukarno soal penolakan liberalisme dan individualisme. Tetapi, ia khawatir tanpa adanya jaminan hak individual, negara akan terjebak dalam otoritarianisme. Yamin setali tiga uang dengan Hatta. “Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam undang-undang dasar.”
Perdebatan serupa muncul lagi setelah Pemilu 1955. Sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan UUD 1945, diskursus HAM dibuka kembali dalam sidang-sidang Konstituante.
“Diskusi ini merupakan pernyataan paling jelas, paling bebas dan paling baik mengenai kesadaran tentang hak asasi manusia di kalangan rakyat Indonesia,” tulis Adnan Buyung Nasution dalam Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (2009).
Perdebatan serupa muncul lagi setelah Pemilu 1955. Sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan UUD 1945, diskursus HAM dibuka kembali dalam sidang-sidang Konstituante.
“Diskusi ini merupakan pernyataan paling jelas, paling bebas dan paling baik mengenai kesadaran tentang hak asasi manusia di kalangan rakyat Indonesia,” tulis Adnan Buyung Nasution dalam Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (2009).
Sidang-Sidang Pembahasan
Sebelum secara resmi dibahas pada masa persidangan 20 Mei hingga 13 Juni 1957, Konstituante memutuskan pasal-pasal tentang HAM akan menjadi salah satu materi UUD. Mayoritas anggota Konstituante sepakat pengakuan atas HAM sama pentingnya dengan dasar negara. Sidang pleno sepakat HAM harus masuk dalam UUD.Hasil itu ditindaklanjuti Subkomisi HAM yang dibentuk Panitia Persiapan Konstitusi. Subkomisi ini bertugas merumuskan materi-materi penting tentang HAM yang akan dibahas dalam masa sidang 1958.
Adnan Buyung Nasution mencatat ada 66 usulan dan rumusan hak-hak asasi yang sedianya akan dibahas. Subkomisi HAM mengambil referensinya dari banyak sumber legal, di antaranya: Universal Declaration of Human Rights 1948, UUD 1945, 1949, dan 1950, Union Statue yang disetujui dalam Konferensi Meja Bundar 1949, serta Indische Staatsregering 1925.
Ketua Konstituante Wilopo dalam sidang pleno Konstituante 4 November 1957 sempat mengkhawatirkan bahwa pembahasan soal HAM ini akan sama alotnya dengan pembahasan dasar negara. Tetapi, setelah mendengar laporan dari subkomisi HAM, Wilopo merasa optimis. Tidak seperti pembahasan dasar negara yang gaduh, pembahasan soal HAM berjalan lebih mulus dan banyak kesepakatan tercapai.
Konstituante mulai menyidangkan materi-materi HAM yang akan dimasukkan dalam UUD dalam masa sidang 28 Januari hingga 11 September 1958. Ada 113 anggota Konstituante yang berbicara dalam 30 sidang yang digelar selama periode itu. Menurut Adnan Buyung Nasution, perdebatan tentang HAM sangat berkebalikan dengan perdebatan tentang dasar negara.
Ada dua segi penting yang disorotinya. Pertama, materi HAM lebih konkret daripada dasar negara yang abstrak. Konstituante membahas soal perlindungan nilai-nilai kemanusiaan yang mudah dilanggar dan perlindungan terhadap kaum lemah dan terpinggirkan.
Kedua, lebih mudah tercapai konsensus dalam soal HAM daripada soal dasar negara yang didominasi antagonisme ideologis. Salah satu konsensus yang disepakati adalah HAM dianggap sebagai “batu ujian” terhadap kebijakan pemerintah yang tidak demokratis dan praktik pemerintahan yang melanggar hukum.
Polemik Kelompok Islam vs Sekuler
Meski begitu, bukan berarti sidang-sidang tentang HAM sepi perdebatan. Semua anggota Konstituante bisa bersepakat soal urgensi HAM bagi UUD, tetapi masing-masing kelompok tetap punya justifikasinya sendiri-sendiri. Dalam soal ini, Konstituante terbelah menjadi tiga kubu.Adnan Buyung Nasution menjelaskan, “Mula-mula terdapat perbedaan pendapat mengenai HAM antara mereka yang melihat dari sudut agama dan mereka yang berpandangan sekuler. Yang pertama menganggap ajaran agama atau Tuhan sebagai landasan HAM, sementara di kalangan yang berpandangan sekuler terlihat adanya dua pandangan yang berbeda: yang melihat HAM berasal dari hakikat manusia sebagai pribadi, dan HAM berakar dalam perkembangan masyarakat.”
Partai-partai Islam umumnya bersepakat soal kebebasan beragama, tetapi berbeda pendapat dengan kelompok sekuler soal konsekuensinya. Oemar Salim Hubeis dari Masyumi, misalnya, mengemukakan bahwa Islam menjamin kebebasan beragama. Tetapi, menurutnya, dengan bersandar pada Alquran, Islam tidak dapat menerima seorang muslim yang berpindah agama “seperti mengganti baju”.
Setali tiga uang dengan rekan separtainya, Sajid Husein Abubakar juga melontarkan keberatan jika pasal tentang hak berpindah agama dicantumkan dalam UUD. Ia berpendapat bahwa hal itu layaknya sebuah seruan. Alasannya, seseorang tidak boleh sengaja dirangsang untuk meninggalkan agamanya dengan memberi legitimasi di dalam UUD.
Bahkan Sajid Husein Abubakar menuntut agar umat Islam dikecualikan dari pasal ini jika Konstituante tetap menyetujuinya. Kepada sidang pleno, ia mengemukakan rumusannya, “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir dan agama, menurut keyakinannya masing-masing. Dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama dan kepercayaan kecuali bagi pemeluk agama Islam.”
22 Pasal tentang HAM
Pada 12 Agustus 1958, Konstituante membentuk Panitia Perumus yang bertugas menyimpulkan hasil perdebatan dalam sidang pleno. Panitia Perumus menghasilkan 24 hak asasi yang kemudian divoting pada sidang pleno tanggal 9-10 September. Pada hari terakhir perdebatan, 10 September 1958, sidang pleno menyetujui 19 hak asasi yang akan dimasukkan dalam UUD.Sementara soal kebebasan berpindah agama dan hak untuk menyebarluaskan agama ditangguhkan. Kedua pasal itu dikembalikan pada Panitia Persiapan Konstitusi agar disusun rumusan yang bisa diterima semua partai.
Dalam prosesnya, Panitia Persiapan Konstitusi lalu merumuskan sejumlah peraturan konstitusional sebagai tambahan bagi 19 hak asasi yang telah disetujui sidang pleno. Proses perumusan itu menghasilkan 22 pasal UUD tentang HAM. Putusan akhir tersebut mendapat dukungan aklamasi dalam sidang pleno sehingga sah sebagai keputusan Konstituante pada Desember 1958.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar