Beritagar.id / Pundra Rengga Andhita
“Saya bukan simpatisan PKI. Saya NU tulen. Saya lahir dari keluarga NU," kata Ahmad Tohari ketika Beritagar.id menemuinya, Rabu (14/02/2018).
Tohari, 70 tahun, merupakan salah satu sastrawan masyhur
di tanah air. Ronggeng
Dukuh Paruk, trilogi yang ia tulis pada 1981, masuk dalam jajaran karya
sastra berpengaruh di Indonesia. Novel ini telah disatukan dan diterbitkan
dalam bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Cina, dan Jepang.
Keberaniannya dalam menulis tidak diragukan lagi. Ketika
penekun sastra lain memilih diam, ia justru mengangkat tema paling sensitif di
masanya. Ia mafhum, persepsi orang terhadap tulisannya pasti akan melekat juga
di dirinya.
Setelah trilogi itu terbit, identitas Tohari disinyalir
bagian dari kelompok tertentu. Namun ia menegaskan, dirinya warga Nahdliyin
tulen. Lahir dan besar dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).
Tohari lahir pada 13 Juni 1948. Ia merupakan putra asli
Banyumas. Ia menuntaskan jenjang pendidikan mulai tingkat dasar, menengah dan
atas di kota di Jawa Tengah itu.
Ia juga pernah menimba ilmu di Fakultas Ilmu Kedokteran
Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas
Jenderal Soedirman (1975-1976).
Meski sempat bekerja sebagai redaktur di beberapa media
cetak Jakarta, namun hampir sebagian besar hidupnya ia habiskan di kota
kelahirannya.
Tohari besar dalam lingkungan
keluarga santri. Ayahnya, Madiryat, pernah nyantri dan bekerja sebagai
pegawai Kantor Urusan Agama. Ia merupakan tokoh NU terkemuka di desanya.
Mardiyat sempat menjabat sebagai ketua NU setingkat cabang kala itu.
Sedangkan ibunya, Saliyem, merupakan tipe perempuan
mandiri, ikut membantu suami melalui bertani dan berdagang. Diryat dan Saliyem
berhasil mengantar 12 anaknya ke kehidupan mapan.
Tohari merupakan anak keempat dari pasangan itu. Ia
tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang hangat. Nilai kasih sayang,
kedisiplinan, kejujuran, kesederhanaan dan keharmonisan yang sarat akan muatan
agama menjadi pemandangannya sehari-hari. Nilai itu juga yang mendekatkannya ke
masyarakat.
Pundra Rengga Andhita /Beritagar.id
Bertemu "Srintil"
Sebelum Tohari memutuskan menulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk,
ada pergulatan keras di batinnya. Kontestasi politik nasional yang tidak
mendukung, membuatnya ragu untuk lanjut menulis atau setop, membiarkan kisah
itu hanya bersemayam di kepala.
Tohari menyadari,
jika lanjut menulis ada dua kelompok yang harus dihadapi. Kelompok pertama dari
kalangannya sendiri, yakni NU. Sedangkan yang kedua, tentara, perpanjangan
tangan dari rezim Orde Baru.
Ronggeng Dukuh
Paruk merupakan novel
inspiratif yang melalui beberapa rezim kekuasaan di Indonesia. Terbit pada
1982, novel ini ditulis dalam tiga seri, yakni, Catatan Buat Emak, Lintang
Kemukus Dini Hari, dan Jantera
Bianglala.
Selain difilmkan, Sang
Penari (2011), novel ini juga diterjemahkan dalam beberapa bahasa
asing seperti Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, terbaru, Spanyol dan Italia.
Entah mengapa,
ketika novel ini terbit, banyak pihak yang menganggap Tohari bagian dari
kelompok kiri. Bahkan sampai sekarang, anggapan itu masih sayup terdengar di
telinganya.
Anggapan itu juga
yang menuntun langkah kami, menemui Tohari di rumahnya yang terletak di Desa
Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto. "Dari masjid agung Jatilawang, ke
arah barat sekitar tiga kilometer. Nanti setelah menemukan pangkalan becak di
sebelah kiri, rumah saya tepat di seberang jalan," ujar Tohari memberikan
lokasi rumahnya.
Awalnya kami agak
kesulitan menemukan rumah Tohari, sempat terlewati cukup jauh. Kami menyadari
setelah bertanya pada penduduk setempat. Semua orang yang kami tanya tahu letak
rumah Tohari. Bahkan seorang polisi yang kebetulan sedang bertugas tidak
keberatan mengantarkan kami.
Rumah Tohari
terletak di pinggir ruas jalan raya nasional Jatilawang-Wangon. Rumahnya adem,
banyak pohon besar menaungi. Keteduhannya mampu mengalihkan suara bising lalu
lalang kendaraan.
Pintu rumahnya
sudah terbuka, seolah menyadari kedatangan kami sebelum sang empunya rumah
menyambut. Tak selang berapa lama, istri Tohari, Siti Syamsiah yang dinikahinya
pada 1 Desember 1970, mempersilakan kami duduk. Sambutannya hangat sekali.
Belum genap
sepuluh menit, Tohari menyusul keluar. Mengenakan peci hitam, sikapnya ramah,
tanpa jarak dan senyum tidak berhenti tersungging di wajahnya.
Namun senyum itu
sempat hilang ketika Tohari menceritakan masa mudanya yang muram, saat ia harus
melihat guru sekolah dasarnya dieksekusi tentara di lapangan setempat.
Batinnya berontak
kala melihat gurunya mati karena diduga terlibat PKI (Partai Komunis
Indonesia). Massa yang menonton kala itu justru bertepuk tangan seiring suara
bedil dan timah panas menembus badan gurunya.
Ia menuturkan,
sekitar tahun 1965, di desa Pekuncen, Jatilawang -- desa yang menginspirasi
nama Dukuh Paruk -- masyarakatnya terbagi menjadi empat golongan. Nasionalis
PNI (Partai Nasional Indonesia) sekitar 60 persen, NU 20 persen, PKI kira-kira
15 persen tapi menurutnya sangat aktif, dan sisanya Muhammadiyah.
Pemisahan ini
cukup jelas. Jadi, kalau ada yang gabung dengan PKI, garis demarkasi siap
memisahkan mereka. Seandainya pun bersaudara, bisa saling tak tegur sapa, putus
hubungan.
Pemisahan itu
diperparah dengan kondisi kemiskinan. Pekuncen kala itu dalam situasi kemarau
panjang, tidak ada irigasi, persawahan kering.
"Politik ekonomi berdikari melarang impor beras. Kami makan apa yang ada di situ. Semuanya miskin, kurang makan, termasuk saya," katanya.
Berbarengan
dengan kemiskinan yang melanda Jatilawang, Gerakan 30 September 1965 meledak,
membuat pemilahan kelompok di masyarakat makin tajam.
"Saya terhitung saksi mata, sekelas tukang kambing, tukang cari kayu, dihukum tanpa peradilan," tutur Tohari.
Ia tak sampai
hati melihat orang-orang kampung yang masih diduga terlibat harus ikut menerima
risiko.
"Saya NU, sangat NU. Kalau pembubaran PKI saya setuju, penghukuman tokohnya juga setuju. Tapi orang kampung dibunuhi saya tidak setuju," tandasnya.
Sisi
kemanusiaannya berontak. Ingatannya merekam semua kejadian di desanya. Rekaman
itulah yang mendorongnya menulis novel Kubah (1980), yang diterbitkan
Pustaka Jaya.
Kubah bercerita tentang seorang miskin
bernama Karman yang menjadi anggota PKI. Setelah peristiwa Gerakan 30
Sepetember 1965, ia ditangkap dan dipenjara selama 12 tahun di Pulau Buru,
sebelum akhirnya pulang kampung dan menjadi muslim yang taat.
Tohari tak bisa
menahan diri untuk tak menuliskan kisah Karman. Ia mengaku telah sabar menunggu
kemunculan karya sastra lain yang mau mengangkatnya. Masa tunggu itu ia tujukan
kepada senior-seniornya yang tak berani menorehkan peristiwa tersebut dalam
bentuk tulisan.
"Kalau
pembubaran PKI saya setuju, penghukuman tokohnya juga setuju. Tapi orang
kampung dibunuhi saya tidak setuju."
Ahmad Tohari
Jelang tahun
1982, Tohari tetap belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Ia merasa, Kubah belum
tuntas mengangkat apa yang terjadi di era 1965. Setelah melewati pergulatan
panjang, ia memantapkan diri, mengesampingkan kekuatirannya, lalu mulai menulis
lagi.
Dalam bayangan
Tohari, pintu masuk tragedi kemanusiaan 1965 bisa digambarkan melalui kisah
penari ronggeng, yang kala itu identik dengan pelacuran. Namun kegundahannya
kembali muncul. Jika ia lanjut menulis akan ada masalah besar yang menghampiri.
Masalah itu datang dari pemerintah dan kalangan pemuka agama.
Namun Tohari yang
sudah melahap karya Pramoedya Ananta Toer sampai tuntas ini lebih mengedepankan
sisi kemanusian dibandingkan kecemasannya. Ia nekat, berhenti bekerja sebagai
redaktur di harian Merdeka, Jakarta, agar fokus menulis. Tohari pulang
ke Jatilawang menggunakan vespa sambil memboyong mesin tik Brother di boncengannya.
Setelah itu,
lahir trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk. Novel yang berlatar belakang kondisi sosial budaya masyarakat
setempat di era 1965an yang mengisahkan kisah cinta antara Srintil, penari
ronggeng, dan Rasus, tentara.
Di kehidupan
nyata, Tohari memang mengenal beberapa penari ronggeng. Namun Srintil bukan
salah satu dari yang dikenal akrab olehnya. Perjumpaan Tohari dengan Srintil
terjadi secara tidak sengaja.
Kisah itu bermula dari hobi Tohari berburu burung di pedalaman hutan
Jatilawang. Tohari masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Biasanya bidikan
Tohari akurat. Namun siang itu bidikannya meleset. Peluru yang hanya
menyerempet sayap, membuat burung perkutut incarannya masih bisa terbang
rendah.
Tohari lantas mengejarnya
sampai masuk lebih dalam lagi ke hutan, mengarah ke curug (air terjun). Di situ
langkahnya terhenti karena mendengar gemericik air yang tidak biasa. Tohari
lalu mencari sumber suara, tak dinyanya, mendapati seorang perempuan muda
berparas cantik nan elok sedang mandi.
Belakangan
diketahui, perempuan itu penari ronggeng yang "dipelihara" pejabat
setempat. Perempuan itu yang akhirnya menginspirasi Tohari melahirkan karakter
Srintil di novelnya.
Ketika seri
pertama selesai, Tohari membawa naskah itu ke penerbit Gramedia. Bak gayung
bersambut, Gramedia memberikan respon positif, meminta Tohari agar menyodorkan
seri berikutnya dengan cepat.
Proses penulisan seri kedua lebih mendebarkan bagi Tohari karena mulai
masuk ke ranah sensitif, peristiwa pasca 1965. Untungnya penerbit masih mau
menerima.
Selanjutnya,
ketika seri ketiga selesai penerbit justru angkat tangan. Menurut mereka seri
itu belum saatnya muncul karena rezim Soeharto masih berkuasa, kecuali dengan
proses sensor di beberapa bagian. Alhasil naskah itu terbit namun tidak utuh.
Naskah yang tidak
utuh membuat Tohari kesal. Ia ingin naskah ini terbit tanpa sensor, meski harus
menunggu Soeharto lengser.
Dalam masa
menunggu, seorang sastrawan Amerika yang juga pendiri Yayasan Lontar, John
McGlynn mendatangi Tohari. Ia mengutarakan maksud ingin menerbitkan Ronggeng
Dukuh Paruk dengan judul The
Dancer tanpa sensor. Rencananya, McGlynn akan menerbitkan The Dancer bersama
naskah terbungkam lain dari berbagai negara.
Tawaran dari
McGlynn disampaikan Tohari ke Gramedia. Jika Gramedia tidak mau menerbitkannya
tanpa sensor, Tohari akan mengambil semua naskahnya. Alhasil, trilogi tersebut
terbit ulang secara utuh di kemudian hari, tahun 2002. Beberapa bagian yang
hilang dikembalikan.
Pundra Rengga Andhita /Beritagar.id
Diciduk tentara
Tohari paham betul, usai trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk terbit kali pertama pada 1986, hanya tinggal menunggu
waktu masalah akan menghampiri. Benar saja. Matahari belum genap naik di atas
kepala, rumahnya didatangi tentara. Mereka mengantarkan surat perintah untuk
membawa Tohari.
Kebetulan Tohari sedang di Jakarta. Istrinya yang
menerima surat. Sambil meneteskan air mata, pikiran Syamsiah berkecamuk.
Tangannya gemetar memegang surat itu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana
kehidupan kelima anaknya tanpa Tohari.
Mendapati Tohari tidak di rumah, rombongan tentara itu
menanyakan posisi Tohari di Jakarta. Meski berat hati, tidak ada pilihan bagi
Syamsiah untuk menutupi. Tepatnya 2 Juli 1986, Tohari diciduk tentara. Ia
dibawa ke Kopkamtib, sejenis markas tentara kala itu.
Tohari dintegrogasi selama lima hari. Ia dipaksa mengaku
sebagai PKI. Berulang-ulang kali Tohari menegaskan, "Saya bukan simpatisan
PKI. Apalagi bagian dari PKI. Saya orang NU," kata Tohari berusaha
meyakinkan sang interogator.
Ia juga mengungkapkan ke mereka alasan yang mendorongnya
menulis Ronggeng
Dukuh Paruk. Tohari miris melihat orang-orang di kampungnya yang masih
terduga PKI ikut menjadi korban eksekusi. Sisi kemanusiaannya terpanggil.
Apalagi sedari kecil Tohari sudah diajarkan untuk mencintai sesama manusia.
Namun alasan itu tidak membuat mereka berhenti
mengintegrogasinya. Baru di hari kelima Tohari dilepas. Itu pun karena salah
satu dari mereka menyerahkan kertas, meminta Tohari untuk menulis,
"Sebutkan orang yang bisa kami hubungi untuk meyakinkan kami bahwa kamu
NU," kata interogator kepada Tohari.
Tanpa pikir panjang, Tohari mencantumkan nama Gus Dur,
lengkap beserta nomor teleponnya. Sontak, nama itu membuat mereka diam. Sikap
mereka langsung berubah menjadi lebih manis. Tohari diberikan nasi bungkus
sebelum diantarkan pulang.
"Saya sempat menantang mereka, silakan jika masih ingin menginterogasi saya," katanya mantap. Satu nama itu membuat urusannya selesai. Kedekatan Tohari dengan Gus Dur sudah lama, dimulai dari tahun 1981.
"Saya sudah bareng Gus Dur di Muktamar NU Situbondo (1984). Sudah bareng merumuskan penerimaan asas tunggal," kisahnya. Bahkan Gus Dur terhitung beberapa kali menginap di rumahnya.
Namun, meski urusan dengan tentara selesai, masih ada
kelompok lain yang harus dihadapi, yakni kalangannya sendiri, NU. Mereka
mempertanyakan alasan Tohari mengangkat topik ronggeng yang memiliki citra
buruk kala itu.
Meski berulang kali Tohari meyakinkan, Ronggeng
Dukuh Paruk itu sarat muatan dakwah tapi tetap saja tidak membuat
mereka puas. Menurut Tohari, Gus Dur pernah mengutarakan, di Indonesia ada dua
penulis bergelar pengarang porno. Hanya saja mereka berbeda cara mengatasi
tuduhan itu.
"Pengarang pertama memilih banting setir. Karyanya disisipi ayat. Kalau Tohari justru balik bicara: bukan novelnya yang porno tapi otakmu yang porno," kata Gus Dur dikisahkan oleh Tohari.
Tohari menilai mereka tidak mampu melihat pesan
tersembunyi yang ingin disampaikan lewat novel itu. Salah satu pesannya
terletak pada pergulatan batin Srintil yang akhirnya hijrah dari penari
ronggeng menjadi ibu rumah tangga.
Seorang pelacur sekalipun berhak mendapat kesempatan
kedua dalam hidupnya dan diterima kembali ke masyarakat. "Tuhan itu maha
pemaaf," kata Tohari.
Kalangan itu juga mempertanyakan sikap Tohari yang
terkesan mendukung kelompok kiri. Padahal Tohari sudah menegaskan bahwa itu
semata-mata atas dasar kemanusiaan.
"Saya keberatan disebut simpatisan PKI. Saya tidak masuk kasta politik. Saya murni NU. Domain saya sastra," tegasnya.
Lewat Ronggeng
Dukuh Paruk, Tohari ingin menyampaikan pesan agar semua manusia saling
mencintai sesamanya. Menurut dia, dendam hanya akan membumihanguskan
kemanusiaan.
Di kemudian hari, konsistensi Tohari menulis topik yang
menitikberatkan pada kemanusiaan mengantarkan dirinya mendapatkan banyak penghargaan,
dari dalam dan luar negeri. Ia sering diundang menjadi pembicara dalam forum
ilmiah nasional dan internasional.
Semua itu tidak membuatnya jumawa, ia justru makin
menunduk. Kini, di usianya yang senja, Tohari hanya ingin hidup damai dan
tenteram. Ia tidak lagi menulis novel. Sisa hidupnya dihabiskan untuk mengasuh
Pondok Pesantren Al Falah di desanya.
Sesekali, undangan menjadi pembicara tetap ia penuhi.
Tujuannya bukan hanya sebatas membagi ilmu tetapi juga meluruskan persepsi
orang terhadapnya: Tohari itu sastrawan dan budayawan yang NU tulen, bukan
simpatisan PKI.
Pundra Rengga Andhita /Beritagar.id
____________
Ahmad Tohari
Ahmad Tohari
Tempat, Tanggal Lahir:
Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, 13 Juni 1948
Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, 13 Juni 1948
Nama Istri:
Syamsiah
Syamsiah
Nama Anak :
L i s t i a,
S.Ag., M.Hum
W i d i a,
S.E., M.M.
DR. Ashar
Saputra, S.T., M.T.
Sita
Hidayah, S.Ant, M.A, (Kandidat PhD Univ. Freiburg,Jerman)
Dr. Din
Tahta Alfina (Kandidat Sp.A., Msc, FK.UGM)
Pendidikan :
Sekolah
Rakyat Tinggarjaya II 1954 – 1960
Sekolah
Menengah Pertama Negeri Purwokerto 1960-1963
Sekolah
Menengah Atas Negeri II Purwokerto 1963-1966
Fakultas
Kedokteran Univ. Ibnu Khaldun Jakarta 1967-1969 (tidak selesai)
Fakultas
Ekonomi Univ. Jenderal Soedirman (tidak selesai)
Pekerjaan :
Wartawan
(1970 – 1979)
Redaktur
Harian Merdeka, Jakarta (1979-1982)
Redaktur
Majalah Keluarga, Jakarta (1983-1985)
Redaktur
majalah Amanah (Jakarta 1986-1993)
Penulis
lepas untuk Harian Suara Merdeka, Republika, Kompas, Jawa Pos, Tempo
Pemimpin
Redaksi Majalah Banyumasan Ancas, Purwokerto (2010-sekarang)
Penyunting
Utama teks terjemah Al-Qur’an Bahasa Banyumasan
Penyunting
Kamus Bahasa Banyumasan-Bahasa Indonesia
Karya novel:
Di Kaki
Bukit Cibalak, 1979
K U B A H,
1980 (juga diterjemahkanke Bahasa Spanyol)
Ronggeng
Dukuh Paruk, 1981 (telah diterjemahkan ke Bahasa Jepang, Cina, Jerman, Inggris,
Belanda, Banyumas)
Lintang
Kemukus Dini Hari, 1984 (telah diterjemahkan ke Bahasa Jepang, Cina, Jerman,
Inggris, Belanda, Banyumas)
Jantera
Bianglala, 1985 (telah diterjemahkan ke Bahasa Jepang, Cina, Jerman, Inggris,
Belanda, Banyumas
Bekisar
Merah, 1990 (juga terbit dalam Bahasa Inggris)
Belantik,
1993 (diterjemahkan ke Bahasa Inggris)
Lingkar
Tanah Lingkar Air, 1991
Orang-orang
Proyek, 2002.
Kumpulan cerita pendek:
Senyum
Karyamin, 1987 (sudah diterjemahkan ke Bahasa Inggris)
Nyanyian
Malam, 1994
Mata yang
Enak Dipandang, 2015 (sudah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris)
Rusmi Ingin
Pulang
Kumpulan
esai:
Berhala Kontemporer,
1985
Mas Mantri
Gugat, 1996
Mas Mantri
Menjenguk Tuhan, 1997
Penghargaan:
Penghargaan
YAYASAN BUKU UTAMA Dep. P&K, 1981
Panghargaan
YAYASAN BUKU UTAMA Dep. P&K 1987
Fellow
Writer of The University of Iowa, 1991
Bhakti
Upapradhana, dariPemprof.Jateng, 1995
The South
East Asia Writes Award, Bangkok, Thailand 1995
Penghargaan
Sastra RANCAGE, 2002
Anugrah
Kebudayaan dari Wakil Presiden RI(HadiahSeni), 2010
PWI Jateng
Award, 2012
GATRA
BUDAYA, dari Pemkab Banyumas, 2013
Penghargaan
Ahmad Bakrie Award Kategori Bidang Kasusastraan, 2015.
Pengalaman Internasional:
International
Writing Programe, USA, 1990
Pembicara
sastra di Universitas Iowa, USA, 1991
Diskusi
novel Ronggeng Dukuh Paruk edisi Bahasa Belanda di Universitas Leiden, Belanda,
1996
Diskusi
novel Ronggeng Dukuh Paruk edisi Bahasa Jerman di Universitas Bonn, Jerman, 1997
Menghadiri
Majelis Sastera Asia Tenggara, Kuala Lumpur, 1999
Bedah Novel
The Dancer (Ronggeng Dukuh Paruk) di University of California Los Angeles dan
University of California Riverside, 2000
Menghadiri
peluncuran The Dancer (Ronggeng Dukuh Paruk) cetakan kedua di Singapura, 2009
Menghadiri
pertemuan WRITERS UNLIMITED, Den Haag Belanda, 2013
Peserta dan
pembicara pada LEIPZIG dan FRANKFURT INTERNATIONAL BOOK FAIR, 2015.
Sumber: Beritagar.Id
0 komentar:
Posting Komentar