15 Februari 2018
Penulis: Khumairoh, Oktaria
Asmarani
Editor: Sanya Dinda
Editor: Sanya Dinda
@Rani/bal
Dua bocah perempuan dan laki-laki menceburkan diri ke
dalam kolam renang. Dua orang dewasa di tepi kolam yang tampak seperti orang
tua mereka menyiapkan handuk dan membuka perbekalan. Gelak tawa mereka berpadu
dengan kecipak air. Dari kejauhan, seorang wanita paruh baya yang mengenakan
kemeja batik oranye dan merah marun baru saja melewati kolam renang. “Tempat
ini dijadikan seperti ini untuk menghilangkan jejak agar kita tidak ingat akan
sejarah kelam itu,” ujarnya sambil menggandeng seorang perempuan muda berjaket
jin di sebelahnya.
Wanita tua tersebut adalah Kadmi (72), seorang penyintas
kekerasan politik peristiwa ‘65. Bersama Sumilah (67), Endang (69), dan empat
penyintas lain, Kadmi menyusuri jejak-jejak masa lalu mereka di Plantungan pada
Sabtu (27-01). Langkah-langkah mereka diikuti muda-mudi yang ingin tahu seperti
apa bentuk dan kisah Kamp Plantungan.
Muda-mudi tersebut tergabung sebagai peserta tur “Plan! Zaman Now”. “Tur ini bertujuan memberikan pemahaman alternatif terkait kekerasan politik peristiwa ‘65 kepada generasi muda,” terang Tsabita, salah satu panitia acara.
Kamp Plantungan berada di Desa Plantungan, Kecamatan
Plantungan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Desa Plantungan terletak di bawah
kaki Gunung Prahu yang diapit oleh Gunung Butak dan Gunung Kemulan serta berada
dalam jajaran Pegunungan Dieng. Sebelah utara dan timur Plantungan berbatasan
dengan Kabupaten Batang yang dipisahkan oleh Kali Lampir.
“Saat pertama kami masuk sebagai tahanan di sini, alang-alangnya setinggi ini,” ujar Sumilah sembari menunjuk dadanya sebagai penanda tinggi alang-alang. Ketika tiba di Plantungan pada tahun 1971, Sumilah dan para tahanan lainnya memang harus menyiapkan sendiri tempat tinggal mereka. Persiapan itu dimulai dari membersihkan alang-alang maupun tanaman rambat lainnya.
Sumilah menjelaskan bahwa Kamp Plantungan memang tidak
didesain sebagai tempat pengasingan sejak awal. Bangunan yang digunakan sebagai
kamp sesungguhnya dibangun pada tahun 1870 oleh pemerintahan Hindia Belanda
sebagai rumah sakit militer. Kemudian, rumah sakit tersebut diubah menjadi
lepratorium di tahun 1929 dan beroperasi hingga tahun 1960. Setelah diadakan
perbaikan pada tahun 1969, pemerintah Indonesia menggunakan bangunan tersebut
sebagai penjara anak-anak. Barulah pada Juni 1971 pemerintah Indonesia
mengubahnya menjadi pusat rehabilitasi tahanan politik (tapol) G30S wanita
golongan B.
Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13/Kogam/7/1966,
tahanan golongan B adalah mereka yang terlibat secara tidak langsung dengan
perencanaan pengkhianatan terhadap negara. Mereka adalah kaum yang telah
mengetahui adanya gerakan pengkhianatan, menunjukkan sikap yang bersifat
menyetujui gerakan tersebut, atau menghambat usaha-usaha penumpasan gerakan
pengkhianatan. Mereka yang telah bersumpah kepada Partai Komunis Indonesia atau
organisasi masyarakat yang seasas aktivitasnya juga termasuk dalam golongan
ini.
Sebelum pindah ke Kamp Plantungan, mereka berasal dari
rumah tahanan yang ada di Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang, Ambarawa, dan
Surabaya. Buku Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011)
karya Amurwani Dwi Lestariningrum menyebutkan bahwa pemindahan sejumlah tapol
wanita ke Plantungan dilakukan pemerintah Indonesia agar para tapol menjadi
lebih terampil. Bekal keterampilan nantinya dapat digunakan ketika tapol
kembali ke kehidupan masyarakat luar. Selain itu, pemindahan tapol ke
Kamp Plantungan dapat memangkas anggaran belanja pemerintah.
Sumilah sendiri pernah ditahan di Penjara Wirogunan
(Yogyakarta) dan Penjara Wanita Bulu (Semarang) sebelum akhirnya diasingkan di
Kamp Plantungan tanpa peradilan. Ia dipenjara sejak November 1965 sampai dengan
November 1979.
“Saya ditahan sejak usia empat belas tahun hanya karena senang menari Genjer-genjer,” kenang Sumilah.
Pada mulanya, Sumilah adalah korban
“salah tangkap” aparat. Pasalnya, buron yang dimaksud adalah seorang guru SMP
yang tinggal di lain desa. Hal itu pun baru diketahuinya saat pindah ke
Plantungan, setelah ia melewati masa penahanan selama enam tahun.
Sumilah kemudian berkisah bahwa para tapol dikelompokkan
ke dalam beberapa unit kerja. Unit-unit tersebut adalah kesehatan, pertanian,
peternakan, membatik, menjahit, dan kerajinan. Pengelompokan didasarkan pada
keahlian dan keterampilan.
Sebelum mulai bekerja di unit masing-masing pada pukul
tujuh pagi, mereka harus menyiapkan makanan untuk diri mereka sendiri. Sejak
dini hari, para tapol menanak nasi, memasak sayur, dan menyiapkan lauk untuk
sarapan bagi kurang lebih lima ratus tahanan.
“Ada semacam grup piket untuk memasak di dapur, untuk sayur dan lauknya berasal dari ladang dan peternakan yang dikelola sendiri,” timpal Endang yang juga pernah mencicip hunian di Kamp Plantungan selama delapan tahun.
Kadmi, Sumilah, dan Endang kemudian melangkahkan kakinya
perlahan. Mereka berjalan di tepi hamparan rumput yang menghijau di sisi Barat
kawasan Plantungan. Sebuah surau berdinding hijau menjadi satu-satunya bangunan
yang masih berdiri tegak di hamparan itu. Dulu, di atas hamparan tersebut berdiri
rumah-rumah tahanan yang dikelompokkan dengan sistem blok. Terdapat enam blok
di Kamp Plantungan yakni Blok A, B, C, D, E, dan F. Kini, yang tersisa hanyalah
rangka dasar dari blok-blok tersebut.
Sumilah menyapa seorang pelapak yang berjualan di seberang
hamparan rumput itu. Pelapak yang bernama Mariyati tersebut juga pernah menjadi
saksi kehidupan para tapol di Kamp Plantungan. Saat itu, ia masih kanak-kanak
dan tinggal di Desa Plantungan. Sumilah menanyakan kabar Pak Lurah yang dulu
kerap berbaik hati kepada tahanan dengan memberikan sejumlah bahan makanan
menjelang pembebasan. Mariyati menjawab bahwa Pak Lurah yang dimaksud Sumilah
telah meninggal dunia sejak lama. Mendengar itu, Sumilah tertegun sejenak. Ia
kemudian bertanya perihal banjir bandang yang tak lagi ia ingat kapan
terjadinya.
“Banjir besar itu terjadi pada tahun 1990,” jawab Mariyati. Sumilah mengangguk mendengar jawaban itu.
Banjir bandang itu menghancurkan sebagian besar bangunan
kamp yang terletak di bawah dekat bibir sungai. Dalam bukunya, Amurwani
menuliskan bahwa sebenarnya beberapa bangunan yang ada di seberang Kali Lampir
masih tersisa beberapa buah setelah banjir bandang. Akan tetapi, karena suatu
hal, bangunan itu dimusnahkan. Sedangkan bangunan di sisi lain yang masih
tersisa tetap dimanfaatkan sebagai Tahanan Anak Negara.
@Ira/bal
Menurut penuturan Mariyati, pemerintah kemudian
mengalihfungsikan kawasan tersebut sebagai tempat wisata pada tahun 2000.
Dengan kondisi yang tenang dan asri, kawasan bekas kamp kerap didatangi oleh
wisatawan. Kini masyarakat lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Bumi
Perkemahan Jodipati Plantungan. Jika berjalan ke utara, terdapat kolam renang
kecil, dan area untuk berendam dalam air hangat yang dipagari hiasan berbentuk
hati. Para pengunjung seringkali duduk di depan hiasan tersebut dan berswafoto
bersama.
“Diubah seperti ini agar kesannya tidak pernah terjadi apa-apa,” sesal Kadmi sambil membenarkan posisi syal yang melilit lehernya. Ia mengatakan bahwa pemerintah memiliki upaya untuk menyembunyikan sejarah penyiksaan yang terjadi di negeri ini. Baginya, upaya ini terlihat dari cara pemerintah mengalihfungsikan kawasan-kawasan yang dulunya merupakan tempat penahanan tapol. Tempat ia ditahan dulu, Kamp Bantul, kini juga telah diubah menjadi kantor bank pemerintah dan ruko.
“Padahal dulu para tapol dipukuli, disetrum, dihajar sampai berdarah, bahkan banyak yang meninggal juga di Kamp Bantul,” ucapnya sembari menggelengkan kepala.
Ketiadaan wujud bangunan utuh Kamp Plantungan membuat
bingung Martinus dan Siti, dua peserta tur. Mereka agak sulit untuk
membayangkan peristiwa penahanan yang sempat terjadi di sana. Apalagi,
keterangan fisik terkait keberadaan kamp sebelum berubah menjadi tempat wisata
juga sama sekali tidak ada.
“Kupikir hanya tempat wisata pada umumnya,” seloroh keduanya.
Kamp Plantungan dan puing-puingnya bukan hanya sebatas
benda mati melainkan juga merupakan situs memori. Bagi Pierre Nora dalam
artikelnya, “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire” (1989), situs
memori (lieux dé memoire) merupakan sebuah kristalisasi atas sesuatu yang telah
terjadi di masa lalu. Beberapa contoh situs memori adalah museum, arsip,
pemakaman, festival, peringatan, perjanjian, monumen, dan tempat suci. Menurut
sejarawan Prancis ini, situs-situs tersebut sangat berhubungan dengan narasi
sejarah dan identitas suatu daerah. Keberadaan situs memori dapat membangkitkan
memori kolektif.
Menurut Ben Anderson dalam Imagined Community (1981),
memori kolektif menandakan narasi pengalaman masa lalu yang dibentuk oleh dan
atas nama kelompok tertentu. Dalam ingatan kolektif, mereka menemukan bentuk
identifikasi yang mungkin memberdayakan untuk diri dan orang lain. Memori
kolektif bersama institusi dan praktik yang mendukungnya dapat membantu
menciptakan, mempertahankan, dan mereproduksi “komunitas yang diimajikan” (imagined community). Adanya imagined
community dapat membuat individu mengidentifikasi dan memberi mereka rasa
sejarah, tempat, dan kepemilikan.
Plantungan saat ini tidak memiliki satu penanda utuh yang
dapat menjadi bukti bahwa tempat tersebut dulu merupakan kamp konsentrasi. Alih
fungsi lahan oleh pemerintah juga menambah kesulitan pengunjung untuk turut
merasakan dan mengingat memori para penyintas. Dalam On Collective Memory (1992),
Maurice Halbwachs menempatkan memori individu sebagai bagian atau aspek dari
memori kelompok yang terbentuk untuk mengartikulasi memori kolektif masyarakat.
Bagi sosiolog Prancis ini, kelompok dalam masyarakatlah yang bertanggung jawab
atas memori kolektif dan kerangka sosial untuk memori yang memfasilitasi itu.
Dalam hal ini, memori milik para penyintas berperan penting bagi memori
kolektif masyarakat. Jika bangunan yang menjadi kristalisasi memori penyintas
sudah lenyap, narasi para penyintas mengenai keseharian mereka di Kamp
Plantungan menjadi tidak lengkap.
Walaupun begitu, Sumilah merasa bersyukur banjir bandang
datang ketika ia dan sejawat tahanan lainnya sudah dibebaskan. Ia menambahkan
bahwa ketika mereka masih ditahan, banjir memang seringkali mampir ke Kamp
Plantungan. Akan tetapi, banjir tersebut tidak pernah mencelakakan mereka.
“Saya merasa kami selalu dilindungi Tuhan ketika ditahan di sini, bahkan sampai waktunya dibebaskan,” katanya dengan pelan.
Dalam bukunya, Amurwani menyebutkan bahwa penyelesaian
para tapol golongan B di Indonesia mulai dilaksanakan pada 1975. Kedatangan
Palang Merah Internasional ke Kamp Plantungan dan Kamp Pulau Buru telah
mendorong pemerintahan Soeharto untuk segera melakukan pembebasan para tapol.
Amnesti Internasional dan British Campaign for the Release of Indonesian
Political Prisoners juga berperan besar dalam pembebasan para tapol.
Pemerintah mempunyai beberapa persyaratan dalam
pembebasan tapol golongan B. Persyaratan tersebut berkaitan dengan kadar
ideologi, kedudukan dalam organisasi, kelakuan selama di tempat tahanan, serta
kondisi fisik, dan umur tapol yang bersangkutan. Pembebasan dilakukan secara
bertahap yakni pada tahun 1977, 1978, dan 1979.
@Rani/bal
Memandang ke arah batu-batu besar yang dicat warna-warni,
Sumilah mengenang saat-saat ia dibebaskan. Tempat yang ia pandangi dulunya
merupakan kawasan Blok F, lokasi apel terakhirnya di Plantungan. Sumilah pulang
bersama 274 tapol lainnya pada 19 November 1979. Mereka diberangkatkan dengan
bus dan dibubarkan secara resmi di Alun-Alun Kota Semarang dimana keluarga dan
kerabat telah menunggu mereka.
Sumilah mengaku tidak pernah menceritakan kisahnya selama
di tahanan kepada ibu dan ayahnya, bahkan sampai mereka meninggal dunia. Ia
tidak ingin membuat orang tuanya terbebani dengan kisah kelamnya.
“Berbeda dengan anak saya, ia mendengarkan semua cerita saya karena ia perlu mengerti apa yang terjadi,” ucapnya sambil menepuk bahu anaknya yang kini telah dewasa.
Pil pahit penderitaan sebagai tapol selama empat belas
tahun tanpa peradilan telah ditelan habis oleh Sumilah. Setelah bebas pun ia
tetap harus merasakan pahit sebab ia telah ditandai oleh pemerintah sebagai
eks-tapol (ET). Tanda ET pun terbubuh di KTP-nya selama bertahun-tahun dan
seringkali membatasi ruang geraknya. Walaupun begitu, ia tidak mendendam kepada
takdir dan oknum yang membuatnya menderita selama bertahun-tahun.
“Tidak ada kebencian, semua sudah berlalu,” ujarnya dengan senyum yang menampakkan giginya yang jarang.
Tur ke Plantungan adalah suatu upaya agar masyarakat bisa
mengetahui fakta sejarah kekerasan politik peristiwa ‘65.
“Fakta itu tidak berdasar satu sumber dari rezim pemenang sejarah saja tetapi berdasar suara-suara yang selama ini tidak diperhitungkan,” tutur Tsabita.
Kadmi juga
berharap kehadiran para penyintas dapat membawa penerangan bagi generasi muda
terkait isu ‘65. “Semoga tua kami ini berguna untuk anak-anak muda semua,”
katanya sambil tertawa.
0 komentar:
Posting Komentar