Reporter: Tony Firman | 20 Februari, 2017
Warga dusun Selopanggung membagi kisah soal seorang tawanan pada 1949 yang ditembak oleh tentara republik
- Pemerintah Kediri menunggu kebenaran secara ilmiah bahwa jenazah yang dikubur adalah pahlawan nasional Tan Malaka
- Bulan Februari tahun ini pihak keluarga besar Tan Malaka dari Sumatera Barat melakukan prosesi penjemputan makam Tan secara simbolis di Kediri, meskipun riset medis lewat uji DNA belum bisa membuktikan kerangka yang terkubur itu adalah Tan Malaka.
Sesampai Desa Selopanggung, kita perlu menyusuri jalan kecil menurun, melewati sejumlah anak tangga, untuk menuju pemakaman Dusun Ledok tempat jenazah yang diduga Tan Malaka bersemayam. Nama Ledok merujuk kontur lembah di kaki Gunung Wilis, sebuah gunung di Jawa Timur yang merentang enam kabupaten termasuk Kediri.
Lokasi pemakaman menepi dari areal permukiman, dirimbuni pepohonan, di tengah kawasan sawah terasering dan berdekatan dengan batu berukuran besar bernama Watu Jagul. Hanya ada beberapa makam bernisan. Selebihnya gundukan kuburan kecil, sesak dan berjejal.
Dusun yang sepi dan masih sulit terjangkau sinyal telepon seluler ini, sekitar 15 kilometer dari kota kecil Kediri, mendadak ramai pada 12 September 2009 ketika “orang-orang Jakarta” berdatangan ke areal makam dan membongkar salah satu pusara.
Sunaryo, 25 tahun, warga dusun yang rumahnya 400-an meter dari areal makam, mengingat peristiwa itu dan ia sendiri kaget soal keberadaan sebuah pusara yang bersebelahan dengan makam Mbah Selo—dipercayai warga sebagai leluhur mereka.
Mulanya warga dusun mengenali makam itu dengan tanda sebuah pohon wungu besar, berlubang, tetapi satu kali tumbang oleh angin kencang. Warga lantas meletakkan dua batu besar, berdekatan dengan makam Mbah Selo.
Peristiwa pembongkaran makam tersebut dituntun oleh penelitian ekstensif sejarawan Harry Albert Poeze selama 40 tahun yang mengikuti perjalanan Tan Malaka dan berakhir di dusun Selopanggung. Poeze mendatangi dusun itu dan mencatat kesaksian para orang tua yang mengarah pada keyakinan Poeze bahwa di areal makam dusun itu bersemayam jasad Tan Malaka.
Sebagian orang sepuh yang ditemui Poeze telah meninggal, termasuk Tolu yang menuturkan bahwa rumah kakeknya, Yasir, jadi tempat persembunyian para pasukan Tentara Republik Indonesia pada 1949. Tentara itu membawa tawanan yang diduga Sutan Ibrahim, nama lain Tan Malaka.
Ada juga seorang warga bernama Sopingi, yang kesaksiannya ditulis oleh Poeze dalam jilid terakhir Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia.
Saya bertemu dengan Sopingi di rumahnya, awal Februari lalu. Ia menuturkan kisah di masa remajanya ketika ia mencuri dengar orang-orang tua di waktu itu, pada masa agresi militer Belanda kedua pada 1949, agar merahasiakan seorang tawanan yang dibawa oleh pasukan tentara republik.
Warga dusun diperintahkan untuk berdiam di rumah semalaman, demikian Sopingi. “Dulu pesawat seperti capung, banyak sekali, terbang rendah. Aku tahu sendiri. Banyak orang membuat lubang, menjatuhkan diri ke lubang,” tambahnya.
Bertahun-tahun cerita itu dipendam, cuma jadi bisik-bisik di antara orang-orang tua, dan Sopingi mulai terbuka seusai Poeze menemuinya bersama perangkat desa. Poeze menanyakan pada Sopingi soal lokasi makam baru sesudah pasukan republik meninggalkan dusun. Ia menyebut keberadaan kuburan baru itu terletak di samping makam Mbah Selo.
Tumini, 64 tahun, dan suaminya Sangklah, 76 tahun, juga mendengar cerita yang berkembang dari orang tua mereka soal para tentara republik yang mengungsi ke salah satu rumah warga dan jumlah mereka berkurang setelah meninggalkan dusun. Warga mengetahui bahwa ada makam baru sesudah pasukan itu pergi.
Kari, ketua rukun tetangga berumur 57 tahun, menuturkan kisah yang ia dapat dari ayahnya yang lahir pada 1924 ketika mengalami peristiwa tersebut. Ceritanya mirip dengan sejumlah warga sepuh yang saya temui: ada pasukan republik yang bersembunyi dari kejaran Belanda di “zaman geger”, membawa seorang tawanan, dan pergi dengan jumlah orang yang berkurang.
Dalam bab “Makam Tan Malaka” di jilid 4, Poeze menulis Tan Malaka meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, yang ia presentasikan pula di Indonesia.
Atas dasar itu, upaya melakukan penelitian mencari makam Tan Malaka digelar. Poeze menceritakan, ia segera berkoordinasi dengan Departemen Sosial yang memang bertanggung jawab pada makam Pahlawan Nasional, gelar yang diberikan Presiden Sukarno kepada Tan pada 1963.
Pertemuan dengan Menteri Sosial, saat itu dijabat Bachtiar Chamsyah, pada 21 Juli 2007 mengarah pada proses kerja sama guna membimbing dan memimpin operasi penggalian, berdasarkan informasi yang diberikan oleh keluarga besar Tan Malaka dan penasihatnya.
Segala proses panjang ditempuh, dari izin pemerintahan pusat hingga daerah, pencarian dana, termasuk melibatkan keluarga besar Tan Malaka di Nagari Pandam Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Sejak publikasi Poeze yang mengatakan makam Tan Malaka di Selopanggung, sejumlah laporan dari pelbagai media cetak maupun online, dengan menerjunkan para jurnalis ke lapangan untuk mewawancarai warga setempat, melaporkan informasi soal cerita sebuah makam di dusun itu.
Hingga pada 2009 itulah untuk kali pertama proses pembongkaran makam yang diyakini kerangka Tan Malaka dilangsungkan. Ia melibatkan pula dokter spesialis forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, plus sejarawan Asvi Warman Adam yang bertindak sebagai penasihat tim penggalian makam.
Salah satu penggali kubur itu ialah Kari, ketua RT dusun. Kepada saya, Kari mengisahkan bagaimana ia menggali kuburan tersebut. “Pertama saya pacul itu ketemu tulang. Tulang itu aneh. Biasanya, kan, orang meninggal, posisi tulang otomatis terlentang, tidak berdiri,” katanya sembari memperagakan tangan terikat ke belakang dan kaki kanan terlipat ke belakang.
Harry Poeze, satu kali dalam kuliah umum di Universitas Jember pada 2014, menilai sejauh ini pemerintah masih ragu dan menunggu hasil tes DNA tentang kebenaran makam Tan Malaka tersebut, padahal tes sudah berjalan lebih dari lima tahun.
Meski proses uji DNA belum terang benar, tapi di areal pemakaman warga Dusun Ledok itu terpacak pusara bernisan, berpoles marmer dengan goresan tinta emas bertuliskan Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia dibubuhi tanggal kematian 21 Februari 1949, berpahat gelar Pahlawan Nasional.
Jajaran pemerintahan daerah di Kabupaten Kediri, ketika saya temui, masih belum yakin untuk segera merespons rencana pemindahan makam. Perkara utamanya, sebagaimana macet dalam uji DNA, belum pasti secara ilmiah kerangka tersebut adalah Tan Malaka atau bukan.
Eko Priyatno dari dinas kebudayaan Kediri mengatakan sampai saat ini ia belum menerima putusan mengenai kebenaran makam Tan Malaka di Selopanggung.
Lokasi pemakaman menepi dari areal permukiman, dirimbuni pepohonan, di tengah kawasan sawah terasering dan berdekatan dengan batu berukuran besar bernama Watu Jagul. Hanya ada beberapa makam bernisan. Selebihnya gundukan kuburan kecil, sesak dan berjejal.
Dusun yang sepi dan masih sulit terjangkau sinyal telepon seluler ini, sekitar 15 kilometer dari kota kecil Kediri, mendadak ramai pada 12 September 2009 ketika “orang-orang Jakarta” berdatangan ke areal makam dan membongkar salah satu pusara.
Sunaryo, 25 tahun, warga dusun yang rumahnya 400-an meter dari areal makam, mengingat peristiwa itu dan ia sendiri kaget soal keberadaan sebuah pusara yang bersebelahan dengan makam Mbah Selo—dipercayai warga sebagai leluhur mereka.
Mulanya warga dusun mengenali makam itu dengan tanda sebuah pohon wungu besar, berlubang, tetapi satu kali tumbang oleh angin kencang. Warga lantas meletakkan dua batu besar, berdekatan dengan makam Mbah Selo.
Peristiwa pembongkaran makam tersebut dituntun oleh penelitian ekstensif sejarawan Harry Albert Poeze selama 40 tahun yang mengikuti perjalanan Tan Malaka dan berakhir di dusun Selopanggung. Poeze mendatangi dusun itu dan mencatat kesaksian para orang tua yang mengarah pada keyakinan Poeze bahwa di areal makam dusun itu bersemayam jasad Tan Malaka.
Sebagian orang sepuh yang ditemui Poeze telah meninggal, termasuk Tolu yang menuturkan bahwa rumah kakeknya, Yasir, jadi tempat persembunyian para pasukan Tentara Republik Indonesia pada 1949. Tentara itu membawa tawanan yang diduga Sutan Ibrahim, nama lain Tan Malaka.
Ada juga seorang warga bernama Sopingi, yang kesaksiannya ditulis oleh Poeze dalam jilid terakhir Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia.
Saya bertemu dengan Sopingi di rumahnya, awal Februari lalu. Ia menuturkan kisah di masa remajanya ketika ia mencuri dengar orang-orang tua di waktu itu, pada masa agresi militer Belanda kedua pada 1949, agar merahasiakan seorang tawanan yang dibawa oleh pasukan tentara republik.
Warga dusun diperintahkan untuk berdiam di rumah semalaman, demikian Sopingi. “Dulu pesawat seperti capung, banyak sekali, terbang rendah. Aku tahu sendiri. Banyak orang membuat lubang, menjatuhkan diri ke lubang,” tambahnya.
Bertahun-tahun cerita itu dipendam, cuma jadi bisik-bisik di antara orang-orang tua, dan Sopingi mulai terbuka seusai Poeze menemuinya bersama perangkat desa. Poeze menanyakan pada Sopingi soal lokasi makam baru sesudah pasukan republik meninggalkan dusun. Ia menyebut keberadaan kuburan baru itu terletak di samping makam Mbah Selo.
Tumini, 64 tahun, dan suaminya Sangklah, 76 tahun, juga mendengar cerita yang berkembang dari orang tua mereka soal para tentara republik yang mengungsi ke salah satu rumah warga dan jumlah mereka berkurang setelah meninggalkan dusun. Warga mengetahui bahwa ada makam baru sesudah pasukan itu pergi.
Kari, ketua rukun tetangga berumur 57 tahun, menuturkan kisah yang ia dapat dari ayahnya yang lahir pada 1924 ketika mengalami peristiwa tersebut. Ceritanya mirip dengan sejumlah warga sepuh yang saya temui: ada pasukan republik yang bersembunyi dari kejaran Belanda di “zaman geger”, membawa seorang tawanan, dan pergi dengan jumlah orang yang berkurang.
Menurut Kari, yang ia dengar ceritanya dari ayahnya, ada suara tembakan pada tengah malam. “… Dua kali. Paginya, ya, tidak ada apa-apa, biasa. Cuma salah satu (tentara) itu bilang, ada yang meninggal tetapi masyarakat tidak usah ribut.”
“Orang-orang tua beberapa hari kemudian melihat ada bekas kuburan baru. Padahal warga sini ketika itu tidak ada yang meninggal. Lalu warga menanami kayu wungu sebagai penanda,” ujar Kari.
Pembongkaran Makam
Penelitian Harry Poeze, sejarawan Belanda yang riset ambisiusnya menjadikan dirinya sebagai seorang detektif atau juru kunci Tan Malaka, mengantarkan dia ke penggalan cerita Desa Selopanggung di kaki Gunung Wilis. Karya terbarunya yang membahas perjalanan Tan Malaka dari 1945-1949, plus peristiwa Madiun 1948, terbit pada 2007. Karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Yayasan Obor Indonesia dalam empat jilid selama 2010-2014.Dalam bab “Makam Tan Malaka” di jilid 4, Poeze menulis Tan Malaka meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, yang ia presentasikan pula di Indonesia.
Atas dasar itu, upaya melakukan penelitian mencari makam Tan Malaka digelar. Poeze menceritakan, ia segera berkoordinasi dengan Departemen Sosial yang memang bertanggung jawab pada makam Pahlawan Nasional, gelar yang diberikan Presiden Sukarno kepada Tan pada 1963.
Pertemuan dengan Menteri Sosial, saat itu dijabat Bachtiar Chamsyah, pada 21 Juli 2007 mengarah pada proses kerja sama guna membimbing dan memimpin operasi penggalian, berdasarkan informasi yang diberikan oleh keluarga besar Tan Malaka dan penasihatnya.
Segala proses panjang ditempuh, dari izin pemerintahan pusat hingga daerah, pencarian dana, termasuk melibatkan keluarga besar Tan Malaka di Nagari Pandam Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Sejak publikasi Poeze yang mengatakan makam Tan Malaka di Selopanggung, sejumlah laporan dari pelbagai media cetak maupun online, dengan menerjunkan para jurnalis ke lapangan untuk mewawancarai warga setempat, melaporkan informasi soal cerita sebuah makam di dusun itu.
Hingga pada 2009 itulah untuk kali pertama proses pembongkaran makam yang diyakini kerangka Tan Malaka dilangsungkan. Ia melibatkan pula dokter spesialis forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, plus sejarawan Asvi Warman Adam yang bertindak sebagai penasihat tim penggalian makam.
Salah satu penggali kubur itu ialah Kari, ketua RT dusun. Kepada saya, Kari mengisahkan bagaimana ia menggali kuburan tersebut. “Pertama saya pacul itu ketemu tulang. Tulang itu aneh. Biasanya, kan, orang meninggal, posisi tulang otomatis terlentang, tidak berdiri,” katanya sembari memperagakan tangan terikat ke belakang dan kaki kanan terlipat ke belakang.
Kari juga mendapati serpihan kerangka gigi. “... Saya laporkan langsung dan diambil … dibawa ke Jakarta.” Serpihan dan tulang inilah yang dibawa untuk diuji forensik DNA dengan mencocokkan sampel darah dari keluarga besar Tan Malaka.Namun, sejak 2009, belum ada kabar pasti soal identifikasi yang solid apakah benar makam yang dibongkar itu diyakini kerangka Tan Malaka.
Harry Poeze, satu kali dalam kuliah umum di Universitas Jember pada 2014, menilai sejauh ini pemerintah masih ragu dan menunggu hasil tes DNA tentang kebenaran makam Tan Malaka tersebut, padahal tes sudah berjalan lebih dari lima tahun.
“Peluang untuk menunggu hasil tes DNA sangat kecil, dan kemungkinan tidak bisa diterapkan untuk membuktikan jasad itu adalah Tan Malaka karena hingga kini pembuktian tes DNA ... belum membuahkan hasil,” ujarnya dikutip dari Antara Jatim.Faktor lingkungan daerah sungai di areal pemakaman berperan penting mengaburkan proses identifikasi DNA yang terkandung dalam serpihan gigi dan tulang itu. Kasus ini biasa disebut “bog body”.
Meski proses uji DNA belum terang benar, tapi di areal pemakaman warga Dusun Ledok itu terpacak pusara bernisan, berpoles marmer dengan goresan tinta emas bertuliskan Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia dibubuhi tanggal kematian 21 Februari 1949, berpahat gelar Pahlawan Nasional.
Rencana Pemindahan Makam
Sejak akhir tahun lalu, dan mulai dekat dengan 21 Februari, rencana santer dari pihak keluarga Tan Malaka menginginkan makam itu dibawa pulang ke kampung halaman Tan. Ada juga pendapat sejarawan yang menyarankan kuburan di Selopanggung yang diyakini Sutan Ibrahim itu dikubur secara layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata.Jajaran pemerintahan daerah di Kabupaten Kediri, ketika saya temui, masih belum yakin untuk segera merespons rencana pemindahan makam. Perkara utamanya, sebagaimana macet dalam uji DNA, belum pasti secara ilmiah kerangka tersebut adalah Tan Malaka atau bukan.
Eko Priyatno dari dinas kebudayaan Kediri mengatakan sampai saat ini ia belum menerima putusan mengenai kebenaran makam Tan Malaka di Selopanggung.
“Kita kalau yang namanya data harus sudah lihat. Karena ini sejarah enggak boleh dikaburkan,” katanya, saat saya menemuinya pada awal Februari.Dinas sosial Kediri bahkan minta saya mendatangi dinas komunikasi dan informatika Kediri. Saya menemui Krisna Setiawan, kepala dinas itu, yang mengatakan pihaknya juga masih menunggu kepastian data.
Bagaimana jika kementerian sosial meminta pemindahan makam?
“Itu sudah wilayah Kemensos. Kalau secara prinsipil, Pemkab Kediri mesti jelas dulu terkait fakta sejarah,” ujarnya.Warga dusun bahkan berkata kepada saya tak ingin makam yang diyakini Tan Malaka itu dipindahkan.
“Apa boleh sama orang sini?” kata Sopini. Tumini juga mengatakan hal sama. “Semua tidak setujulah,” ujarnya. “Di sini sudah lama sekali, kok.” Begitupun Sangkrah, alasannya: “Kematian Tan Malaka setelah kematian Soeharto. Soeharto belum mati, Tan Malaka belum dicari di sini.”Kari, ketua RT, tak mempermasalahkan jika Tan Malaka seorang pejuang kiri dan komunis—ideologi dalam perjuangan politik di Indonesia yang dicap dengan begitu buruk padahal sumbangsihnya sangat vital dalam kemerdekaan Indonesia.
Kari mengaku bahwa pihak keluarga Tan sudah melayangkan permintaan agar makam itu dipindah. Namun, hasil musyawarah warga sepakat menolak. Mereka terlanjur merasa memiliki sejarah makam itu bersama sejarah dusun sejak orang-orang tua mereka lahir dan membesarkan mereka.
Bagi mereka, sosok Tan Malaka sama dengan leluhur mereka. Mereka merasa memiliki, jauh sebelum penelitian Poeze mengantarkannya ke dusun tersebut. Kecintaan dan kebanggaan mereka bahkan bertambah manakala mengetahui sosok yang dikubur itu, yang selama ini diselubungi misteri lewat penuturan orang-orang tua mereka, ternyata seorang Pahlawan Nasional yang langsung diangkat oleh “Pak Karno,” presiden Indonesia.
Meski kepemilikan jenazah diserahkan penuh kepada pihak keluarga, tetapi nama besar “pahlawan” Tan bagi warga memiliki arti besar. Ia punya nilai meluas bagi “rakyat Indonesia”. Ia sebuah kebanggaan.
Sosok yang menulis risalah politik pada 1924 berjudul Menuju Republik Indonesia itu diketahui ditembak oleh Letnan Dua dari Tentara Republik Indonesia bernama Sukotjo. Menurut Harry Poeze, tidak ada perintah tembak mati dari atasan Sukotjo atau pimpinan tentara Indonesia. Sukotjo pernah memimpin Kota Surabaya pada 1965 hingga 1974.
Sosok revolusioner Tan Malaka adalah babak sejarah Indonesia yang sengaja dihilangkan. Pemikirannya tertuang lewat pelbagai risalah dan buku di sela-sela pelarian dari kejaran Belanda dan mendekam dalam penjara. Rezim Orde Baru makin menenggelamkannya. Pemikiran dan tindakan Tan disepikan dari kurikulum sejarah resmi.
Pada 21 Februari tahun ini Tan telah terbaring selama 68 tahun.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar